Panglima Perang Datuk Darah Putih Dari Kumpe

Daulat

August 27, 2023

Tunggal Rajani

Keramat Datuk Darah Putih di Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpe Ulu Kabupaten Muarojambi. ( photo credit : Tunggal Rajani/amira.co.id)

Kisah perlawanan rakyat terhadap invasi Belanda di Provinsi Jambi sering kali tidak tercatat dengan rapi. Meskipun, bukti-bukti tentang itu masih ada hingga saat ini. Seperti keramat (makam), dan nama-nama tempat yang disebutkan dalam kisah. Sangat disayangkan, jika kisah dan nama-nama mereka yang berada di front line perjuangan rakyat hanya menjadi legenda saja. Legenda yang hanya hidup di ingatan para orang-orang tua di dusun saja. Berikut adalah kisah tentang perlawanan rakyat Djambi; Panglima Perang Datuk Darah Putih.

DATUK Darah Putih dikepung beberapa orang serdadu Belanda. Tebasan pedang mengenai bagian lehernya. Darah mengucur dari lehernya. Darah yang berwarna putih.

Demikian kisah tentang perang antara pasukan kerjaan Djambi yang dipimpin panglima perang Datuk Darah Putih dengan pasukan Belanda, di Selat Malaka (Strait of Malacca). Diperkirakan masanya adalah pada tahun 1700-an, ketika pasukan Belanda sedang mengincar rempah (: lada hitam) di sekitar Moeara Kompei atau kawasan Kumpe Ulu dan Kumpe Hilir, saat ini.

Dengan perkiraan, bahwa masa itu adalah sebelum masa Singo Kumpe atau Raden Mat Tahir yang dipercaya oleh Sultan Thaha Syaifuddin, dan memukul mundur pasukan Belanda dari Kompei.

Datuk Darah Putih, demikian ia diberi gelar, karena, menurut penuturan penduduk, darahnya berwarna putih, atau, ia memiliki darah putih (leukosit) lebih banyak dari darah merah (eritrosit) .

Datuk, adalah orang yang disegani. Ia memiliki kesetiaan yang luar biasa kepada kerajaan Djambi. Ia adalah pemberani, pantang menyerah, pintar  dan memiliki pertimbangan yang matang.

Persoalan yang tidak dapat dibantah, bahwa hingga saat ini, aji-ajian, mantra dan jimat masih dikenal di kalangan masyarakat. Kesaktian yang, kadang, di luar nalar manusia biasa.

Hari itu, ia dipanggil menghadap raja. Raja, menitahkan Datuk Darah Putih untuk membentuk pasukan perang yang berdedikasi tinggi terhadap kerajaan. Sebab, kerajaan Djambi sedang dalam kepungan invasi perdagangan secara silih berganti: Inggis dan Belanda.  

Dibutuhkan waktu sekitar satu tahun lamanya, untuk menseleksi dan melatih 100 orang prajurit tangguh, sesuai amanat yang diemban Datuk Darah Putih.

Lalu, sistem intelejen pun digunakan untuk mengetahui gerak-gerik musuh. Seorang agent memberikan laporan bahwa pasukan Belanda telah dekat, dan akan menyerang melalui arah laut.

Laut, di sini, seperti phrasa dalam kasanah bahasa Jambi, dapat diartikan sebagai laut yang sesungguhnya, dan juga sungai besar. Sehingga, yang dimaksud dalam kisah ini adalah  Selat Malaka dan Sungai Batanghari, sebagai kesatuan hulu dan hilir, dimana air Sungai Batanghari akan menghilir menuju ke Selat Malaka.

Agent menyatakan bahwa pasukan Belanda sedang berada di Selat Melaka. Sehingga pasukan pun disiapkan, dan pasukan akan mencegat musuh di Pulau Berhala.

Sebuah perang besar, sebab hampir seluruh pasukan dikerahkan, dan yang tersisa di Kompei hanyalah pasukan inti pengamanan raja saja.

Yang juga ikut tinggal, termasuk istri Datuk Dara Putih yang sedang hamil besar dan menunggu masa persalinan. Yang berharap Datuk secepatnya pulang. Meskipun, dalam hati, istinya berjanji, apapun yang terjadi, anak yang dilahirkannya harus meneruskan bakat dari Datuk Raja Putih.

Dengan perkiraan, dua hari dari laporan agent bahwa pasukan musuh akan sampai di Kompei, maka waktu perjalanan satu hari dari Kompei Pulau Berhala dimanfaatkan pasukan Datuk Darah Putih dengan tiga kapal (: tongkang) perangnya. Benteng pertahanan pun dibuat di Pulau Berhala, yang berada di sebelah timur kerajaan Djambi.

Tentu saja benteng pertahanan yang dibuat sangat memanfaatkan kondisi Pulau Berhala, yang dikelilingi batu-batu besar dan debur ombak yang keras, yang membuat pasukan musuh sulit mendekat.

Pagi menjelang siang, saat berperang mengadu kekuatan pun tiba. Yel-yel penyemangat keluar dari mulut 100 prajurit. Pantang kembali sebelum menang.

Pertempuran pecah di atas air laut, di Selat Malaka. Tiga kapal perang dengan panji-panji kerajaan Djambi menyerang kapal musuh. Tombak dan pedang, yang dipegang masing-masing prajurit.

Ketika kapal bertemu kapal, para prajurit berlompatan menuju kapal musuh. Menghunuskan senjata tajam. Sementara Datuk Darah Putih, sebagai panglima, menggenggam keris di tangan kanan, memimpin pasukan kerajaan Djambi.

Di sini, terungkap bahwa, siapapun yang menggenggam keris di tangannya, pada masa itu, adalah pemimpin, dan orang yang di-sakral-kan.

Dikisahkan, Selat Malaka waktu itu bergenang darah pasukan Belanda yang tidak siap untuk menghadapi gempuran pasukan Datuk Darah Putih. Kemenangan pasukan kerajaan Djambi telah di tangan.

Tetapi, tugas pasukan belum selesai. Beberapa hari setelah pertempuran pertama, pasukan Belanda menyerang balik dengan jumlah yang lebih banyak.

Pasukan kerajaan Djambi kewalahan karena kekurangan kekuatan. Meskipun pasukan masih gigih berperang.

Dalam pertempuran kedua ini, Datuk Raja Putih dikepung beberapa orang serdadu Belanda. Tebasan pedang mengenai bagian lehernya. 

Darah, lalu, mengucur dari lehernya. Darah yang berwarna putih.

Untuk mengurangi rasa sakit, ia meminta parajuritnya mencari batu sengkalan. Batu berbentuk pipih itu digunakan untuk menutupi bagian leher yang terkena tebasan pedang.

Meskipun perang laut berhasil dimenangkan, tetapi kondisi sulit dialami Datuk Darah Putih.

Pasukan pulang ke Kompei dengan kondisi paradoks; kemenangan dan luka parah yang dialami panglima perang.

Setelah sampai di Kompei, luka yang dialami Datuk Darah Putih tak kunjung sembuh. Ia jatuh sakit. Semakin parah dari hari ke hari.

Sebelum Datuk Darah Putih dan pasukannya sampai di Kompei, isteri Datuk Darah Putih telah melahirkan. Ia melahirkan seorang anak laki-laki.

Datuk Darah Putih memeluk anak laki-laki itu, yang baru berusia dua hari, dan mencium keningnya. Ia pun berpesan kepada isterinya, untuk merawat anak itu dengan baik.

Waktu pun telah tunai bagi Datuk Darah Putih. Ia menghembuskan nafas terakhir. Wafat.

Kisah tentang Datuk Darah Putih terhenti di sini. Meskipun berkemungkinan besar, keturunannya hadir dan ada hingga saat ini.

Tetapi, sama seperti kisah-kisah perlawanan rakyat di Djambi pada umumnya, anak keturunannya tidak meng-aku diri. Sebab menyandang nama besar orang terdahulu adalah berat.

Keramat Datuk Darah Putih, yang menjelaskan terjadinya kejadian ini, hingga hari ini masih dapat ditemui. Ia dimakamkan secara Islam, di Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpe Ulu Kabupaten Muarojambi. Di bawah rindangnya pohon yang berusia puluhan tahun.*

avatar

Redaksi