Eksepsi Bahusni : Desa Sumber Jaya Membela Diri
Daulat
June 22, 2023
Jon Afrizal/Sengeti
Bahusni, Ketua Serikat Tani Kumpe (SKT) di depan gedung PN Sengeti, Selasa (20/6). (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)
“Lihatlah ibu-ibu itu. Mereka hanya orang desa dengan berbekal pengetahuan bercocok tanam dan berkebun. Dan saya tidak sedang berjuang untuk kepentingan diri saya sendiri. Tapi, untuk mereka.”
WAWANCARA antara kami — aku dan Bahusni bin Hamzah terputus. Ketika Bahusni harus pulang, kembali ke Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpe Ulu Kabupaten Muarojambi, yang sesak dengan konflik lahan sepanjang 20 tahun terakhir ini.
Lelaki paruh baya itu harus kembali ke desa tempat ia lahir dan dibesarkan. Tempat Serikat Tani Kumpe (SKT) yang sedang memperjuangkan hak mereka atas lahan desa. Yang, entah bagaimana, telah dinyatakan sebagai Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL), meskipun tidak terdata di aplikasi android “Sentuh Tanahku” keluaran Kementrian ATR/BPN.
Sekali lagi, aku mengingat petikan wawancara yang terputus itu. Sembari menolehkan kepalaku untuk melihat para ibu yang tegar berdiri di depan pagar pintu masuk gedung Pengadilan Negeri(PN) Sengeti. Mereka layaknya setiap sosok ibu, yang berjuang untuk membesarkan anak-anak mereka.
Mereka juga membawa serta anak-anaknya yang masih kecil. Sebab adalah tidak mungkin membiarkan anak-anak mereka tinggal seorang diri di rumah.
“Mereka tidak masuk sekolah hari ini,” Mak Do berkata lirih. Ketika aku mewawancarainya, sepasang matanya hanya menatap ujung sendal jepit yang ia pakai.
Gerak tubuh yang menunjukan rasa kecewa, curiga dan waspada. Sebagai gambaran umum dari warga Desa Sumber Jaya yang telah terlalu sering mendapatkan perlakuan sewenang-wenang.
Suami dari Mak Do adalah anggota Serikat Tani Kumpe (SKT), kelompok yang mandatnya diberikan kepada Bahusni oleh warga desa, untuk mengambil kembali lahan yang sejak dulu adalah milik desa mereka, di landscape desa mereka.
“Mengapa kami harus meminta lahan kami sendiri? Lahan yang sejak dulu telah menjadi bagian dari desa kami? Yang bahkan kami pun tidak pernah diajak berunding untuk diperjualbelikan? Yang kemudian perusahaan – entah siapa mereka, kami tidak kenal – mengaku itu adalah lahan mereka?” ia bertanya kepadaku.
Kali ini, sorot matanya tajam menatapku. Seperti meminta penjelasan, kenapa konflik ini terjadi pada mereka.
Siang itu, Selasa (20/6). Ia beserta anaknya, Supik, akan kembali ke Desa Sumber Jaya. Tempat mereka lahir dan dibesarkan. Tempat mereka merasakan tekanan dari pihak luar, yang bahkan untuk apapun urusan mereka pada administrasi negara, mereka harus ditanyai tentang keterlibatan mereka di areal 322 hektare yang berkonflik itu.
Konflik agraria di Desa Sumber Jaya, tidak sama seperti konflik-konflik lahan yang terjadi di Provinsi Jambi, yang pernah ku liput. Mereka bukanlah pendatang tiba-tiba. Bukan juga seseorang yang sengaja datang ataupun melalui perantara untuk mencari lahan di desa itu.
Mereka adalah warga asli atau penduduk lokal, yang didesak keadaan. Mereka terpaksa menuntut kembali, me-reclaim dan menduduki kembali areal yang seharusnya dapat mereka gunakan untuk kepentingan desa secara bersama-sama.
Sama seperti kebudayaan Melayu Jambi pada umumnya, batas-batas wilayah antar dusun, yang kemudian berubah menjadi desa, ditentukan oleh batas-batas alam. Seumpama, ditandai dengan pohon Bungur, misalnya. Dan, hingga kini masih banyak yang mengingat dan menerapkan pola itu.
Seorang ibu dari Desa Sumber Jaya memberikan semangat kepada Bahusni, setelah pembacaan eksepsi di PN Sengeti, Selasa (20/6). (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)
Penduduk setiap desa memahami batas-batas ini, dan enggan untuk melanggarnya. Tidak seorang pun penduduk dari masing-masing desa boleh menggarap melampaui batas itu.
Jika warga ingin mencari sesuatu, semisal tumbuhan obat atau menebang pohon untuk membuat pondok, maka harus meminta izin kepada perangkat desa, tetua desa, melalui mekanisme adat desa setempat.
Pada kasus, misalnya, jika pun ada warga desa yang melakukan jual beli dengan pihak luar, tanpa sepengetahuan perangkat desa dan tetua desa, maka jual beli itu dianggap tidak sah. Karena tidak melalui mekanisme berunding dan duduk bersama.
Celako Kampung, demikian sebutan bagi mereka yang hanya mencari keuntungan bagi diri sendiri, dan merugikan atau bahkan tidak peduli dengan nasib masyarakat desa.
Bahusni membela diri atas dakwaan pasal 107 huruf a undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Serta, pasal 107 huruf d undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pada pembacaan eksepsi hari itu, ia terlihat rapi dengan mengenakan kemeja lengan panjang berwarna hitam pekat. Ia didampingi pengacara dari organisasi bantuan hukum Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Riki Hermawan.
“Status tanah yang diklaim PT FPIL masih sebatas IUP-B, maka jelas secara hukum perusahaan seharusnya tidak dapat mengelola atau beraktifitas di atasnya,” demikian kata Bahusni.
Bahusni bin Hamzah membacakan 14 lembar kertas eksepsi dengan tenang di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Sengeti. Sementara di luar halaman gedung PN Sengeti, puluhan warga Desa Sumber Jaya memberikan dukungan moril dengan membaca shalawat nabi.
Terbentuk atmosfir yang membuat bulu-bulu halus di kuduk-ku bergidik. Ketika lantunan shalawat dibacakan dengan tenang. Ketika mereka sedang berjuang mengambil kembali lahan yang berada di desa mereka, yang seharusnya menjadi hak mereka. Ku saksikan, beberapa warga terlihat menahan tetes air mata yang hampir jatuh dari pelupuk mata.
“Allah Maha Tahu atas perjuangan kami ini,” kata Pak Ngah, warga desa yang lain.
Bagi warga desa, Bahusni adalah sosok yang mencerahkan. Bahusni yang berani mengambil sikap tegas untuk memperjuangkan nasib mereka. Bahusni, yang setiap bepergian selalu membawa bundelan berkas-berkas berisi tanda tangan – tanda tangan terkait penyelesaian konflik lahan ini.
“Sepertinya kami tengah dibuat sibuk dengan persidangan. Tapi tetap belum menyelesaikan pokok dari persoalan. Yakni penyelesaian konflik lahan,” kata Pak Ngah.
Riki Hermawan mengatakan Bahusni tidak memenuhi unsur pidana dakwaan pasal 107 huruf a undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Yakni : melakukan, menyuruh melakukan atau turun serta melakukan, secara tidak sah, mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan.
“Sebab telah ada musyawarah masyarakat bersama Pemerintah Desa Sumber Jaya pada tanggal 4 Oktober 2021,” kata Riki Hermawan.
Sehingga, katanya, tim penasehat hukum terdakwa meminta kepada majelis hakim agar surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan nomor registrasi perkara :PDM-16/SGT/04/2023 batal demi hukum, atau tidak dapat diterima.*