Swasembada Beras; Revolusi Hijau ala Orde Baru
Lingkungan & Krisis Iklim
August 24, 2024
Jon Afrizal
Padi (oryza sativa). (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
INDONESIA pernah mengalami masa “keemasan” pertanian. Yakni di masa Orde Baru, dimana apapun dapat dilakukan untuk mengingkatkan produksi pertanian.
Masa itu dikenal sebagai jaman Revolusi Hijau.
Mengutip Jihan Nasywa Azahra dalam tulisan Revolusi Hijau Masa Orde Baru, Revolusi Hijau di Indonesia merupakan periode penting dalam sejarah pertanian yang terjadi pada masa Orde Baru, sekitar tahun 1960-an hingga 1980-an. Program ini diluncurkan dengan tujuan utama untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya beras, untuk mencapai swasembada pangan dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Revolusi Hijau adalah penggunaan teknologi pertanian yang lebih canggih untuk meningkatkan produksi pangan. Revolusi Hijau, awalnya, adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut sebuah program peningkatan produksi pangan per hektar lahan yang dimulai pertama kali di Meksiko pada 1940-an.
Lalu, Ford dan Rockefeller Foundation mengawali Revolusi Hijau dengan pengembangan padi di Meksiko pada tahun 1950, dan Filipina pada tahun 1960.
Revolusi hijau menekankan pada Serelia, yang mencakup berbagai komoditas seperti gandum, jagung, dan padi. Serealia, adalah tanaman yang menghasilkan biji-bijian.
Revolusi Hijau di Indonesia tidak hanya berfokus pada padi, tetapi juga tanaman pangan lainnya seperti jagung, kedelai, dan ubi jalar. Program ini juga mendorong mekanisasi pertanian dengan penggunaan traktor dan alat-alat pertanian modern lainnya.
Revolusi Hijau berhasil meningkatkan produksi beras secara signifikan. Pada tahun 1984, misalnya, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras untuk pertama kalinya, dengan produksi mencapai 27,7 juta ton.
Pada Pembangunan Lima Tahun Ke Empat (Pelita IV), yakni tahun 1984 hingga 1989, Indonesia memiliki empat pilar utama Revolusi Hijau. Yakni penyediaan air melalui sistem irigasi, cara terbaik untuk menggunakan pupuk kimia, penerapan pestisida sesuai dengan intensitas serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas tinggi.
Pada tahun-tahun penggalakan Revolusi Hijau, yakni tahun 1950-an hingga 1980-an, Revolusi Hijau membawa perubahan besar dalam praktik pertanian di banyak negara berkembang, terutama di Asia.
Mengutip Kompas, melalui Revolusi Hijau, petani dikenalkan dengan penggunaan pupuk buatan, pestisida, bibit unggul, peralatan pertanian modern dan sistem budidaya pertanian yang baru.
Zuminati Rahayu dalam tulisan Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial Ekonomi Petani Wanita di Kabupaten Sleman tahun 1970-1984 menyebutkan bahwa Revolusi Hijau pada awalnya diperkenalkan oleh Norman Barloug pada tahun 1968. Ia penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970.
Norman Barloug adalah adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini. Ia mampu mengembangkan varietas unggul Haigh Yielding Variety (HYV) pada tumbuhan utama pangan seperti padi, gandum, jagung dan lainnya.
Sementara, penerapan Revolusi Hijau di Indonesia, yang terjadi pada masa Orde Baru, yakni antara tahun 1970-an hingga 1980-an. Dimana pemerintahan Orde Baru melakukan investasi besar-besaran terhadap sektor pertanian.
Pemerintah Orde Baru pun membangun dan mengembangkan program-program modernisasi pertanian yang bertujuan untuk menigkatkan produksi pertanian Indonesia.
Mengutip Noer Fauzi dalam buku Petani dan Penguasa, digunakn empat upaya untuk peningkatan produksi pertanian kala itu. Seperti; intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabibilitasi.
Upaya rekayasa itu ternyata menciptakan peningkatana kesejahteraan petani. Juga menguatnya perekonomian pedesaan. Termasuk meningkatkan ketahanan pangan nasional, dan membuka kesadaran masyarakat pedesaan akan pentingnya adaptasi teknologi. Juga, pengembangan infrastruktur.
Namun, selalu ada dampak negatif. Yakni, ketergantungan petani terhadap pupuk kimia dan pestisida yang tidak ramah lingkungan. Hilangnya keanekaragaman hayati. Dan, degradasi lahan.
Serta, munculnya kesenjangan di antara petani dalam hal penggunaan teknologi modern dalam usaha tani yang belum merata.
Dan, juga, telah melahirkan kapitalisasi dalam sektor pertanian.
Menurut catatan Jihan Nasywa Azahra, petani tidak hanya mengalami ketergantungan terhadap pupuk kimia saja. Tetapi juga mengalami kesenjangan sosial karena peraturan pasca-revolusi hijau yang sangat menghambat pertanian.
Peraturan yang ketat membuat mereka sulit mendapatkan pupuk subsidi. Akibatnya, mau tidak mau, petani harus membayar harga yang lebih tinggi untuk pupuk nonsubsidi.
Ketika lahan pertanian rusak dan perlu ditanam ulang, masalah juga muncul. Hasil panen antara petani kaya dan petani miskin pun sangat jauh berbeda. Petani kaya dapat bertahan dengan pasokan stok pangan. Tetapi, petani miskin harus menjual hampir seluruh hsail panennya untuk menutupi proses penanaman.
Sehingga, kesenjangan pun terjadi. Dimana petani miskin hanya bertahan dengan sisah hasi panen untuk makan sehari-hari.
Kemiskinan, muncul, dan membuat petani bergantung pada belas kasihan kerabat, saudara, sesama petani, tetangga, hingga patron (tuan tanah dan tengkulak) hanya sekedar untuk makan sehari.
Tidak jarang mereka juga harus merelakan untuk mengambil uang tabungan, hingga meminjam kepada orang kaya atau lembaga keuangan, seperti bank dan koperasi.*