Pebalakan Di Areal Perhutanan Sosial?
Lingkungan & Krisis Iklim
June 10, 2024
Jon Afrizal/Bram Itam, Tanjungjabung Barat
Kayu-kayu alam yang telah digesek dan siap untuk dijual yang ditemukan di areal Perhutanan Sosial Gapoktahut Malgis Jayo. (photo credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
KONDISI Hutan Lindung Gambut (HLG) Bram Itam yang terletak di Kabupaten Tanjungjabung Barat sangat miris. Kawasan pertahanan bagi pesisir timur Sumatera ini terus diringsek pebalakan sejak satu tahun terakhir ini. Rumitnya, pebalakan ini justru terjadi mulai dari areal perhutanan sosial (PS) menuju ke HLG Bram Itam.
Kawasan Hutan Lindung Gambut (HLG) Sungai Bram Itam merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi lindung pada Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Sungai Batara-Sungai Mendahara.
Saat ini, areal seluas 5.000 hektare dari total 15.050 hektare luas kawasan HLG Sungai Bram Itam telah mengalami alih fungsi menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Kondisi ini terjadi karena masyarakat di sekitar HLG Sungai Bram Itam membutuhkan lahan garapan. Demikian mengutip menlhk.go.id, pada siaran pers tertanggal 25 Januari 2019.
Padahal, sesuai dengan Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung pada kawasan dengan fungsi lindung dilarang untuk melakukan kegiatan budidaya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung.
Alih fungsi terbanyak adalah untuk sawit (elaeis guineensis). Sebelum alih fungsi terjadi, maka, pebalakan; dengan mengkomersilkan kayu-kayu alam pun terjadi. Tidak tertutup kemungkinan telah terjadi pula jual-beli lahan.
Cukup ribet untuk membandingkan teori dan praktek. Faktanya, izin perhutanan sosial (PS) yang bersebelahan dengan HLG pun, ternyata, juga diringsek pebalakan.
Berdasarkan keputusan menteri KLHK nomor: SK.10370/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2023 tertanggal 18 September 2023 telah diberikan hak pengelolaan hutan kemasyarakatan seluas kurang lebih 284,71 hektare pada kawasan lindung kepada Gapoktanhut Malgis Jayo Desa Sungai Baung Kecamatan Pengabuan Kabupaten Tanjungjabung Barat.
Penebangan kayu dalam upaya land clearing untuk penanaman sawit di areal Perhutanan Sosial Gapoktahut Malgis Jayo. (photo credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Mengutip menlhk.go.id, hutan kemasyarakatan (hkm) adalah satu dari lima skema Perhutanan Sosial (PS). PS sendiri, adalah, sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utamanya. Dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya.
Kelima skema PS itu adalah: hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.
Faktanya, justru, di areal hutan kemasyarakatan ini yang terjadi tindak pebalakan. Dan, bagaimana mungkin, dan tidak seharusnya terjadi, sebuah areal yang telah memiliki izin PS, justru tidak dijaga dan malah dibabat oleh pebalak.
Temuan Amira di lapangan, telah terdapat beberapa titik pebalakan. Disebut pebalakan, karena telah menebang kayu-kayu alam. Padahal, tujuan dari PS adalah menjaga hutan dan memanfaatkannya dengan bijaksana, dan bukan malah untuk merusaknya.
Amira telah mengunjungi empat lokasi Gapoktanhut Malgis Jayo, dimana tiga lokasi telah didirikan pondok atau posko atau sejenisnya. Tidak dijumpai orang yang menjaga pondok-pondok itu, meskipun terdapat kendaraan roda dua di sana.
Pada setiap pondok terpampang plakat yang menyatakan bahwa kawasan ini adalah areal kerja Gapoktanhut Malgis Jayo.
Di sekitar pondok-pondok itu, ditemukan kayu-kayu alam telah ditebangi. Selanjutnya, kayu-kayu alam itu digesek, dan berbentuk papan dan kayu persegi empat.
Beberapa tumpukan papan dan kayu persegi empat disusun di sekitar pondok-pondok itu. Kayu dan papan itu akan hilang pada keesokan harinya.
Tak berapa jauh dari pondok, terdengar suara “sesuatu tengah dihempas ke batang pohon”. Seperti suara anak ongkak yang sedang bekerja menebang pohon dengan menggunakan kampak.
Photo-photo yang menyertai reportase ini adalah bukti dari kondisi ini.
Desa Sungai Baung Kecamatan Pengabuan berbatasan langsung dengan HLG Bram Itam. Desa ini juga berbatasan dengan Desa Delima Kecamatan Tebing Tinggi. Selain itu, juga berbatasan dengan konsesi PT Wira Karya Sakti (WKS).
Banyak jalan untuk keluar dari lokasi. Sehingga, sangat mungkin pengangkutan kayu illegal yang dilakukan pada malam hari ini, tidak melalui jalan koridor PT WKS, dan tidak diketahui oleh security perusahaan.
Areal Perhutanan Sosial Gapoktahut Malgis Jayo dilihat dari udara. (photo credits: citizen journalist/amira.co.id)
Pembentukan Gapoktanhut Malgis Jayo pun terkesan membingungkan. Sekdes Desa Sungai Baung, Supangat ketika diwawancarai via telephone selular mengatakan telah terjadi pergantian ketua Gapoktan Malgis Jayo yang beranggotakan 59 orang ini. Yakni dari Muhammad Sabani ke Muhammad Syafii.
Terdapat tiga alasan, katanya, yakni karena Muhammad Sabani tidak mengetahui tapal batas. Dan, karena tidak adanya jalinan kerjasama antar pengurus dalam hal administrasi dan keuangan dan kegiatan kelompok di lapangan. Serta, areal yang diajukan ternyata tumpangtindih dengan kelompok lain yang telah ada sebelumnya.
Surat dengan tulisan tangan itu dibubuhi tandatangan dan materai IDR 10.000, tertanggal 9 Mei 2024.
“Pengunduruan diri itu sah,” kata Supangat menegaskan.
Beberapa warga Desa Sungai Baung, ketika ditanyai, bahkan tidak mengetahui perihal Gapoktanhut Malgis Jayo ini. Mereka mengaku tidak pernah diajak, dan tidak juga menjadi anggota Gapoktanhut.
“Kami tidak mengerti kelompok apa itu. Anggotanya kebanyakan orang dari luar desa kami,” kata Ridwan, bukan nama sebenarnya.
Mengutip peraturan Menlhk nomor P.89/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018 tentang pedoman kelompok tani hutan, pada bab 1 pasal 1 disebutkan, bahwa Gabungan Kelompok Tani Hutan (Gapoktanhut) adalah gabungan dari beberapa Kelompok Tani Hutan (KTH) untuk meningkatkan usaha.
Sementara, pada bab 2 pasal 4 disebutkan keeanggotaan KTH paling sedikit 15 orang. Dan, terdapat unsur pelaku utama yang berdomisili dalam satu wilayah administrasi desa/kelurahan dan dibuktikan dengan kartu tanda penduduk (KTP); dan melakukan kegiatan di bidang kehutanan.
Sejauh ini, juga tidak diketahui berapa KTH yang telah menjadi anggota Gapoktanhut Malgis Jayo.
Sementara pada pasal 4 huruf 2 disebutkan, yang dimaksud dengan kegiatan di bidang kehutanan itu adalah; hutan tanaman rakyat (HTR), Hutan Kemasyakaratan (hkm), Hutan Rakyat (HR), pembibitan tanaman kehutanan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan tanaman kehutanan, agroforestry/agrosilvopasture/agrosilvofishery, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar, pemungutan hasil hutan bukan kayu, pemanfaatan hutan bakau dan hutan pantai, konservasi tanah dan air, rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan/atau, perlindungan dan konservasi alam.
Tetapi, dari seluruh tujuan baik itu, tidak satupun yang menyebutkan bahwa diperbolehkan untuk menebang kayu alam di kawasan hutan pada malam hari dengan tujuan komersil. Artinya, telah terjadi kurangnya pengawasan dari Gapoktanhut Malgis Jayo, karena areal mereka telah di-balak.
Mengutip Catatan Akhir Tahun 2023 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) konflik agraria di sektor kehutanan adalah satu dari delapan konflik struktural yang terjadi di Indonesia. Yakni; perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir dan pulau-pulau kecil, agribisnis, pembangunan infrastruktur, property, dan fasilitas militer.
Pada tahun 2023, telah terjadi sebanyak 17 kejadian konflik agraria di sektor kehutanan dengan luas mencapai 77.487 hektare, dan korban terdampak sebanyak 10.900 kepala keluarga (KK). Konflik ini berada di 28 desa di berbagai wilayah di Indonesia.
Peristiwa letusan konflik yang dilaporkan mengacu pada kejadian penggusuran dan tindakan kekerasan serta kriminalisasi yang memicu konflik.
Konflik agraria terjadi akibat klaim sepihak terhadap wilayah hutan negara maupun konsesi kehutanan. Dan juga, tumpang tindihnya klaim terhadap hutan lindung oleh negara di atas pemukiman dan kampung-kampung masyarakat.
Secara total, KPA melaporkan telah terjadi sebanyak 241 letusan konflik pad atahun 2023 lalu. Konflik ini terjadi di areal seluas 638.188 hektare, dan tersebar di 346 desa dengan korban terdampak sebanyak 135.608 KK.
Ternyata, maksud baik pemerintah untuk mewujudkan reforma agraria melalui Perhutanan Sosial ternyata malah terlupakan, dan telah tercipta areal pebalakan. Padahal, jika merunut pada kejadian bencana alam, bahkan sebelum terjadinya pebalakan di areal Gapoktanhut Malgis Jayo, penduduk di wilayah hilir sungai Bram Hitam kerap merasakan bencana banjir pada musim penghujan. Banjir terakhir tercatat pada akhir 2023 lalu.
Jika pebalakan ini tetap dibiarkan, maka kerusakan HLG Baram Itam akan semakin parah. Dan, yang utama, efek buruk dari banjir pun akan semakin sering mendatangi penduduk.
Sungguh, sangat tidak bijaksana.*