“Minanga Tamwan”, Dimana?
Hak Asasi Manusia
July 21, 2025
Jon Afrizal

Prasasti Kedukan Bukit. (credits: Public Domain)
“Selamat! Tahun Saka telah lewat 604. Pada hari ke sebelas paro-terang bulan Waisakha Dapunta Hiyang naik di sampan mengambil siddhayatra. Pada hari ke tujuh paro-terang bulan Jyestha Dapunta Hyang marlapas dari Minanga tamwan membawa bala dua laksa dengan lengkap perbekalan dua ratus cara/peti di sampan dengan berjalan seribu tiga ratus dua belas berjalan kaki datang ke mata jap (Mukha Upang). Sukacita pada hari ke lima paro-terang bulan …. lega gembira datang membuat wanua … Sriwijaya jaya, siddhayatra sempurna …” Prasasti Kedukan Bukit
KATA Minanga tamwan pertama kali muncul di Prasasti Kedukan Bukit, abad ke-6 Masehi. Tentunya, sebuah prasasti tidak dapat berdiri sendiri, dalam penafsirannya.
Sebab butuh prasasti-prasasti sejaman atau mungkin dari jaman sebelumnya, untuk mendukung sebuah tafsiran dari larik-larik sebuah prasasti.
Namun, peninggalan era lampau, terkadang, menjadi privilege tersendiri dari sebuah wilayah, pada saat ini. Meskipun, harus diakui bahwa penggunaan sebuah bahasa adalah menunjukan pada suatu jaman tertentu.
Maka, bahasa yang digunakan di abad ke-6 M, tentu tidaklah sama dengan bahasa yang kita gunakan saat ini.
Prasasti (inskripsi), mengutip Kemdikbud, adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama. Kata “prasasti” berasal dari bahasa Sanskerta. Artinya, adalah: pujian.
Tetapi, dalam kegunaannya, prasasti kerap dianggap sebagai piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang atau tulisan. Adapun, isinya, adalah tentang; keputusan pengadilan terkait perkara perdata (jayapatra), sebagai tanda kemenangan (jayacikna), tentang utang-piutang (suddhapatra), dan, tentang kutukan atau sumpah.
Hampir seluruh temuan prasasti era Srivijaya berkait dengan kutukan atau sumpah. Seperti seorang pemimpin, yang mengancam sekelompok orang, melalui kutukan atau sumpah, misalnya.
Kutukan atau sumpah, adalah satu ciri dari kebudayaan Melayu. Bahkan, hingga hari ini, masih ditemui, seseorang yang mempercayai atau menggunakan kutukan terhadap orang lain.
Kutukan atau sumpah, dipercayai dapat mencelakai seseorang, dan berhubungan dengan nasib buruk yang akan menimpanya di masa depan.
Maka, adalah wajar, jika kelompok Orang Kubu Bukit Duabelas di Provinsi Jambi, hingga saat ini masih mempercayai komponen itu. Komunal ini pun berusaha menangkal segala kutukan dan sumpah, dengan menggenakan kalung atau gelang “Sebalik Sumpah”.
Butuh sebuah ilmu untuk menafsirkan makna dan maksud dari susunan larik-larik sebuah prasasti. Ilmu itu disebut: epigraf. Epigraf adalah cabang dari kajian sastra dan arkeologi.
Tujuan dari penggunaan epigraf, adalah untuk melakukan rekonstruksi terhadap sejarah, melalui bacaan prasasti.

Batu bertulis di Candi Muara Takus. (credits: Tropen Museum)
Sejarawan dan budayawan Indonesia, R Soekmono, berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan Minanga tamwan, adalah: pertemuan dua sungai, yakni Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri di sekitar situs Candi Muara Takus, Provinsi Riau. Seperti yang tertulis pada buku “Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2”.
Namun, pendapat R Soekmono, sepertinya, di masa kini kerap disanggah, oleh beberapa orang atau kelompok, dengan teori-teori sejarah yang membingungkan.
Lalu, terdapat sebuah desa, tepatanya Desa Minanga Tengah di Kecamatan Semendawai Barat, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Provinsi Sumatera Selatan.
Beberapa orang meyakini, bahwa Datu Sriwijaya lahir di sini. Pun, jika kata “Datu” merujuk pada pemimpin kerajaan, tidak dapat dipastikan pemimpin Srivijaya yang mana yang lahir di sini.
Dan, pendapat yang paling sering terdengar, tentu saja, bahwa Minangatamwan adalah sama dengan Minangkabwa (Minangkabau).
Dan, dapat saja kata “Minanga” kemudian berubah tutur menjadi menjadi “Binanga”. Yakni sebuah kawasan yang terdapat pada sehiliran Sungai Barumun di Provinsi Sumatera Utara.
Padahal, juga terdapat sebuah daerah, dengan menggunakan nama yang sama. Yakni, Desa Minanga di Kecamatan Pusomaen, Kabupaten Minahasa Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara.
Begitulah, jika privilege yang menjadi dasar dari pengkajian sejarah. Dan, rekonstruksi sejarah akan semakin jauh dari tepat, jika tidak ingin dikatakan semakin membingungkan bagi banyak orang.
Srivijaya, mungkin saja, tidak akan tertulis di buku-buku sejarah nasional, jika George Coedes, tidak menuliskannya pada tahun 1918 hingga 1920, di koran-koran berbahasa Belanda.
Pun, sangat sedikit tulisan-tulisan era lampau, yang menulis tentang Srivijaya, kecuali dari catatan perjalanan bangsa-bangsa asing, terutama Tiongkok.

Komplesk Percandian Muara Takus. (credits: Public Domain)
Wang P’u pada tahun 961 di masa Dinasti Tang menulis catatan berjudul “T’ang-Hui-Yao”. Catatan ini menjelaskan bahwa “Minanga untuk pertama kalinya mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 645, dan Minanga adalah pusat kerajaan melayu Suvarnadvipa yang telah ada pada tahun 645 M”.
Sementara, pada Prasasti Kedukan Bukit, disebutkan bahwa “Dapunta Hyang bergerak pada hari ke 7 bulan Jyestha dari Minanga dengan 20 ribu pasukan dan sampai/sukses menaklukkan wilayah tempat prasasti itu ditemukan pada hari ke 5 bulan (Asada)”.
Dan, akan menjadi persoalan juga, bahwa: Minanga sebagai asal dari Dapunta Hyang, tidaklah sama dengan Suvarnadvipa. Sebab, Dapunta Hyang lah yang kemudian mendirikan Suvarnadvipa.
Lantas, pada “Hikayat Raja-Raja Pasai” (1350 M) yang berbahasa Melayu klasik, dan kakawin “Nagarakretagama” (1365 M), disebutkan nama “Minangkabau”.
Tentu saja, jarak waktu yang terbentang sangat jauh. Prasasti Kedukan Bukit yang berbahasa Melayu kuno adalah di abad ke-6 M, dan, “Hikayat Raja-raja Pasai” dan “Nagarakretagama” adalah sekitar 7 abad kemudian.
Memang, sejarah selalu butuh penafsiran baru, dengan keilmuan yang terus diperbarui. Tapi, sebelum kita semua dapat menentukan dimana tepatnya Minagatamwan, adalah lebih baik untuk kembali ke pendapat R Soekmono.
Sebab, terlalu banyak penafsiran dan terlalu banyak keahlian pada saat ini, malah semakin membingungkan publik.
Jika menurut R Soekmono, kita akan dibawa ke “Candi Muara Takus”. Yakni sebuah situs candi Buddha Mahayana di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Situs ini berjarak sekitar 135 kilometer dari Kota Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau.
Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74 meter. Tembok ini terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok sekitar 80 centimeter, dan di luar arealnya terdapat tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer.
Pada kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi. Yang, dengan dialek lokal disebut sebagai; Candi Sulung, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka.
Dan, harus juga dilihat, bahwa tembok-tembok ini mengelilingi kompleks percandian, hingga ke tepi Sungai Kampar Kanan. Sama, jika mengikuti arahan dari R Soekmono terkait Minanga tamwan.
Adapun Sungai Kampar, adalah penggabungan dari dua anak sungai, yakni; Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri. Sungai Kampar, dengan panjang mendekati 800 kilometer, berhulu di Bukit Barisan dan menghilir menuju ke menuju ke Selat Malaka.
Mungkin, saja, di masa depan, dapat diketahui lebih akurat, dan detail terkait letak tepatnya Minanga tamwan. Sebab, sejarah, selalu butuh bukti dan validasi.*

