Gasib, Siak, Dan Pekan Baharu
Budaya & Seni
January 30, 2025
Jon Afrizal/Pekanbaru

Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalif Syaifudin (Syarif Kasyim II), di dalam kereta kuda, antara tahun 1915 hingga 1925. (credits: Universiteit Leiden)
“Tersebut masyhur kisah kerajaan Gasib,
Negri yang megah
Raja dan rakyat sangar semangat
Bersatu dalam bahagia dan gundah.” Syair Puteri Kaca Mayang
BAB Al-Qawa’id atau kitab hukum Kesultanan Siak Sri Indrapura membagi wilayah admistatif kesultanan menjadi 10 propinsi negeri. Yakni; Siak, Tebing Tinggi, Merbau, Bukit Batu, Bangko, Tanah Putih, Kubu, Pekanbaru, Tapung Kiri, dan Tapung Kanan.
Propinsi Negeri Pekanbaru, yang kini adalah ibukota Provinsi Riau, dipimpin oleh Hakim Polisi Negeri Pekanbaru bergelar Datuk Syahbandar. Sedangkan untuk urusan keagamaan, ditunjuk Hakim Syari’ah bergelar Imam Negeri Pekanbaru.
Adapun batas-batas propinsi negeri Pekanbaru, yakni “Dari Sungai Lukut mengikut sebelah kanan mudik Sungai Siak sampai Kuala Tapung Kanan dan dari Sungai Pendanau sebelah kiri mudik Sungai Siak sampai ke Kuala Tapung Kiri dan naik ke darat lalu ke Teratak Buluh dan ketiga kampung yaitu Lubuk Siam, Buluh Cina dan Buluh Nipis sehingga sampai ke Tanjung Muara Saka watasan dengan Pulau Lawan dan sampai ke Permatang Mangkinang watasan Kampar Kiri di Negeri Gunung Sahilan dan sampai ke Sungai Air Gemuruh Tanjung Pancuran Batang watasan dengan Negeri Tambang dan sebelah darat sampai berwatasan dengan Negeri Kampar Kanan dan Lima Kota.”
Pekanbaru sangat terkait dengan Kesultanan Siak. Dimana, kota ini bermula pada masa sultan Siak keempat, yakni Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, bergelar Tengku Alam (1766 -1780).
Tengku Alam menetap di Senapelan. Ia, lalu membangun istananya di Kampung Bukit, yang berdekatan dengan Senapelan. Letaknya, saat ini, adalah di sekitar Mesjid Raya Pekanbaru.
Selanjutnya, Tengku Alam membangun sebuah pasar (pekan) di Senapelan. Kemudian, putra Tengku Alam, bernama Raja Muda Muhammad Ali melanjutkan pembangunan pasar di tempat yang baru. Dengan menggesernya ke sekitar pelabuhan saat ini.
Lalu, pada hari Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau tanggal 23 Juni 1784 Masehi, diadakan musyawarah datuk-datuk empat suku. Yakni Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar.
Hasil dari musyawarah itu menyebutkan bahwa Senapelan diganti namanya menjadi: Pekan Baharu.
Maka, tanggal inilah yang ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru.

Satu sisi Kota Pekanbaru. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Terdapat pula cerita lisan yang berkembang dikalangan masyarakat lokal. Kisah itu tentang seorang puteri dari Raja Gasib, di Kuala Gasib, Siak. Puteri itu bernama Puteri Kaca Mayang.
Sebagai budaya lisan, kisah ini patut dicermati. Sebab dapat digunakan sebagai awalan untuk menyhingkap sejarah yang lebih besar lagi.
Adapun makam Puteri Kaca Mayang, berada di dekat muara Sungai Gasib. Sejauh ini, peneliti masih melakukan penelitian terhadap benda-benda arkeologi di sekitar Kuala Gasib.
Jika dikaitkan dengan sejarah tekstual, maka masa ini adalah sebelum era berdirinya Kesultanan Siak Sri Indrapura.
Mengutip melayupedia, kerajaan Gasib ada pada abad 14 hingga 15 Masehi. Kerajaan ini pernah ditaklukan oleh Kerajaan Melaka, hingga Melaka ditaklukkan Portugis tahun 1551, dana nama kerajaan ini tidak terdengar lagi.
Raja Aceh berniat hendak meminang Puteri Kaca Mayang. Tapi niat itu ditolak raja.
Akhirnya, Raja Aceh, menyerang kerajaan Gasib dan menculik Puteri Kaca Mayang. Panglima Gimpam, pemimpin angkatan perang kerajaan, berusaha menyelamatkan Puteri Kaca Mayang.
Meskipun berhasil, tetapi di tengah jalan hendak pulang, tepatnya di Sungai Kuantan, Puteri Kaca Mayang jatuh sakit. Hanya jasadnya saja yang dibawa ke istana.
Setelah kematian Puteri Kaca Mayang, raja dan seluruh istana sedih berkelanjutan. Panglima Gimpam diminta memimpin kerajaan.
Tetapi, Panglima Gimpam tidak mau. Ia, selanjutnya meninggalkan Gasib dan membuka sebuah perkampungan baru, yang kemudian dinamakan: Pekanbaru.

Pekanbaru Dan Sungai Siak, tahun 1920. (credits: Universiteit Leiden)
Sementara, makam Panglima Gimpam, berada di Hulu Sail, sekitar 20 km dari kota Pekanbaru.
Adapun Kesultanan Siak Sri Indrapura didirikan oleh Raja Kecik. Ia adalah putra dari Sultan Mahmud Syah II Johor pada tahun 1723 di Buantan, Siak.
Sebelumnya, Raja Kecik bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah, yang terlibat dalam perebutan tahta Kerajaan Johor.
Hikayat Siak menyebutkan bahwa Raja Kecik adalah anak dari hubungan tak resmi Sultan Mahmud Syah II dengan Encik Apong. Encik Apong adalah pelayan Sultan Mahmud Syah.
Mereka berhubungan pada malam Jum’at tepat sebelum sang sultan meninggal dunia. Namun, hingga usia 7 tahun, tak seorang pun yang mengetahui tentang siapa sebenarnya Raja Kecik.
Karena sesuatu dan lain hal, Laksamana dan Raja Negara mengungsikan Raja Kecik dengan bantuan Nakhoda Malim. Oleh Nakhoda Malim, Raja Kecik dibawa ke Jambi dan diberi nama Tuan Bujang. Setelah ke Jambi, Raja Kecik dibawa ke Pagarruyung, dan diasuh oleh Putri Jamilan.
Raja Kecik, lalu, menyerang Johor pada Februari hingga Maret tahun 1718. Tetapi, Raja Kecik menegmbara ke pedalaman Riau pada tahun 1722. Disana, di daerah bernama Buantan, ia mendirikan negeri baru.
Ia adalah pemimpin negeri itu, dengan nama: Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah. Negeri itu selanjutnya dikenal dengan nama Kesultanan Siak.
Adapun sultan Siak terakhir, adalah Sultan Syarif Kasim II. Ia menyatakan Kesultanan Siak dan wilayahnya bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1945.*

