Tiada Jalan Menuju Rumah Tuan Kadi

Lifestyle

January 4, 2024

Jon Afrizal/Pekanbaru

Rumah Tuan Kadi yang tidak memiliki jalan, melainkan hanya hamparan tanah. Kontras, terdapat taman indah di depan rumah bersejarah itu. (photo credits : Zulfa Amira Zaed/amira.co.id)

SIANG itu, hari menunjukkan pukul 14.00 WIB. Ketika sepasang kaki ini melangkah menuju kawasan tua di Senapelan, Kota Pekanbaru.

Sungai Siak, airnya sedang naik. Ini adalah sungai yang terdalam di Sumatera, dengan kedalaman yang sempat mencapai 30 meter pada masa lalu. Sehingga wajar jika sungai ini dilalui oleh kapal-kapal besar.

Tepat dibawah jembatan Siak III atau yang bernama resmi jembatan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah, terdapat sebuah rumah bernomor 92.

Itu adalah rumah Tuan Qhadi, atau orang yang bernama Haji Zakaria bin Haji Abdul Muthalib. Rumah itu, adalah tempat singgah Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin atau Sultan Syarif Kasim II, yakni sultan Siak terakhir, setiap kali berkunjung dari Mempura, Siak Sri Indrapura ke Pekanbaru.

Sementara Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah, adalah sultan kelima dalam urutan sultan-sultan Siak Sri Indrapura.

Dikisahkan, setiap kali berkunjung ke Senapelan, Sultan Syarif Kasim II singgah selama beberapa hari di rumah itu. Dalam dialek lokal, pemilik rumah itu disebut Tuan Kadi.

Dalam bahasa Arab, Qadi atau Khadi adalah seorang hakim yang membuat keputusan berdasarkan syariat Islam. Dengan mengacu kepada istilah itu, karena tidak terdapat catatan lengkap tentang ini, maka Tuan Kadi Haji Zakaria adalah orang yang dituakan sehingga Sultan Syarif Kasim II pun percaya untuk menginap dirumahnya.

Sehingga dapat dikatakan, rumah itu adalah sejenis rumah istirahat bagi sultan. Atau, ini adalah rumah hinggap, yang berasal dari kata inap dalam bahasa Melayu.

Sultan sendiri menggunakan sebuah kapal uap yang disebut Kapal Kato untuk menempuh perjalanan dari Mempura ke Pekanbaru. Dengan jarak tempuh sekitar tiga jam perjalanan menyusuri Sungai Siak.

Kapal itu, hingga kini masih berada di istana Kesultanan Siak Sri Indrapura. Tidak terawat, dan berkarat.

Kawasan Senapelan sendiri, adalah kota tua. Dari kawasan inilah Kota Pekanbaru berkembang hingga menjadi seperti saat ini.

Rumah Tuan Kadi, terletak beberapa meter dari pinggir sungai siak. Rumah itu tidak mutlak menghadap ke sungai, tetapi mensejajari sungai.

Di depan Rumah Tuan Kadi, kini telah dibangun sebuah taman dan pelataran. Dan terdapat tulisan besar “Taman Tuan Kadi –  Sungai Siak”.

Sama seperti rumah-rumah di kampung, setiap rumah umumnya memiliki halaman depan.

Tepi lantai taman itu tidak menepi ke tangga Rumah Tuan Kadi. Terdapat tanah yang tidak di-semen. Sehingga, jika hujan turun, maka tanah itu akan becek, dan siapapun yang melintasinya akan membawa sisa tanah yang menempel di alas kakinya ke Rumah Tuan Kadi.

Sehingga, konsep rumah kampung harus dimodifikasi sesuai jamannya. Yakni dengan cara memberi jalan setapak menuju tangga Rumah Tuan Kadi.

Agar sejarah tidak terkotorkan oleh tanah becek yang menempel di alas kaki kita. Tersebab, saat ini, seremoni lebih dianggap ketimbang asali. Begitulah. 

Aku genapkan dengan menaiki enam anak tangga untuk memasuki rumah bersejarah ini. Tidak ada penjaga, ataupun sejenisnya.

Ketika memasuki pintu rumah, ku ucapkan salam sesuai agama dan adat setempat. “Assalamualaikum.”  

Terpampang photo Sultan Syarif Kasim II di dinding berwarna biru muda. Photo yang berwarna hitam putih itu, jelas memperlihatkan kewibawaannya. Kewibawaan seorang raja.

Itu adalah ruang tamu Tuan Kadi. Dengan kursi-kursi dan meja-meja yang masih terawat rapi.

Di satu meja, terdapat buku tentang Sultan Syarif Kasim II, dan juga buku tamu bagi para pengunjung. Jika memang para pengunjung jujur menuliskan nama dan asal, maka terdapat nama-nama dan asal negara dari benua Eropa.

Dan, mereka melewati tanah yang sama, dengan yang ku lalui untuk menuju ke Rumah Tuan Kadi. Sungguh, betapa mudahnya kita melupakan sejarah.

Terdapat dua buah kamar atau mungkin ruangan. Satu diantaranya, menurut penuturan penduduk lokal, adalah kamar tidur yang biasanya ditempati Sultan Siak. Sebelumnya, terdapat tempat tidur berkelambu, di ruangan kamar yang jendelanya menghadap langsung ke sungai Siak itu.

Kini, ruangan itu telah beralih fungsi; menjadi sejenis gudang penyimpanan entah apa.

Yang dapat ku nikmati, adalah saksi-saksi bisu berupa photo-photo hitam-putih dan gambar-gambar yang berbingkai yang dipakukan ke dinding. Satu yang paling menarik bagiku, adalah gambar berukuran kecil yang merupakan ilustrasi dari istana Siak dan Rumah Tuan Kadi.

Kedua ilustrasi dibingkai dalam satu pigura. Ilustrasi yang menggambarkan hubungan keduanya.

Rumah panggung ini berbahan kayu meranti, jenis kayu yang kuat, yang terdapat di Pulau Sumatera. Penuturan penduduk lokal, rumah ini dibangun oleh Haji Nurdin Putih sekitar tahun 1895. Ia adalah mertua dari Haji Zakaria.

Diperkirakan, bangunan tangga dibuat setelah itu. Sebab tertera angka “23:7” dan “1928”, yang berkemungkinan adalah tanggal, bulan dan tahun dibuatnya bangunan tangga penghubung ke rumah inti.

Dan juga tertera huruf “PKB” di sisi tangga. Tetapi tidak diketahui apa artinya. Banyak kemungkinan arti, terlebih jika mengaitkannya dengan kata “Pekan Baru”.

Sama seperti rumah-rumah panggung di negeri Melayu pada umumnya, terdapat sebuah tempat air tepat di depan tangga. Biasanya, air digunakan untuk membasuh kaki sebelum menaiki anak tangga dan memasuki rumah. Sehingga kaki pengunjung rumah bersih terbasuh air, dan tidak ada kotoran yang menempel di telapak kakinya saat menaiki rumah.

Tetapi, meskipun air-nya masih ada, tempat air ini tidak difungsikan lagi. Sebab tidak ada gayung yang dapat digunakan untuk mengambil air dari sana.

Padahal, ini adalah tradisi. Yang masih dapat diaktualkan agar pengunjung dari luar kawasan memahami tata cara Melayu; terutama ketika bertamu. Serta mengikuti adat istiadat yang berlaku di bumi yang dipijaknya.

Mengunjungi Rumah Tuan Kadi, adalah juga mengingat tentang diri. Tentang betapa rapuhnya kita, untuk tetap mengingat sejarah lampau.*

avatar

Redaksi