Negara-Negara Yang Bangkrut Karena Utang
Ekonomi & Bisnis
August 15, 2025
Farokh Idris

Ilustrasi seseorang yang sedang mengalami bangkrut. (credits: Pexels)
KATA “bangkrut” adalah serapan dari Bahasa Inggris, yakni “bankrupt”. Mengutip Cambridge Dictionary, bankrupt artinya, adalah: seseorang yang tidak dapat membayar utang, dan seseorang yang telah memiliki kendali atas masalah keuangan yang diberikan orang lain oleh pengadilan dan hukum, dan kepada orang yang menjual properti anda untuk membayar utang seseorang.
Secara umum, bangkrut, berarti: tidak punya uang.
Ternyata, kondisi bangkrut tidak hanya dialami oleh orang per orang dan perusahaan saja. Beberapa negara pun, dalam catatan sejarah, pernah menghadapi kebangkrutan akibat gagal membayar utang luar negeri, dan lebih dari satu kali.
Berikut adalah negara-negara, yang mengutip bloombergtechnoz, yang pernah mengalami bangkrut, karena utang luar negeri.
Pertama, Sri Lanka. Sri Langka menghadapi krisis ekonomi parah pada tahun 2022, dan menyatakan diri bangkrut.
Ini terjadi karena Sri Lanka gagal membayar utang luar negeri senilai USD 51 miliar, atau sekitar IDR 816 triliun.
Kondisi ini, yang diakui oleh Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe, adalah sebagai satu krisis terburuk dalam sejarah Sri Lanka.
Lalu, pemerintah Sri Lanka mengambil langkah mengajukan bailout (dana talangan) dari International Monetary Foundation (IMF). Kemudian, dilakukan restrukturisasi utang dan kontrol inflasi.
Diperkirakan, Sri Lanka akan benar-benar pulih dari kebangkrutan pada tahun 2026 nanti.
Kedua, Lebanon. Lebanon mengalami krisis ekonomi dan konflik sosial, sejak 2020.
Pada tahun 2020, Lebanon dinyatakan bangkrut setelah gagal membayar utang sebesar USD 90 miliar atau sekitar IDR 1.440 triliun. Jumlah ini setara dengan 170 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara Lebanon.
Krisis ini diperburuk oleh pengumuman pajak baru, termasuk biaya penggunaan WhatsApp, yang memicu protes besar-besaran.
Catatan World Bank, krisis yang dialami Lebanon ini sebagai satu yang terburuk dalam 150 tahun terakhir.
Pada tahun 2021, nilai mata uang Lebanon anjlok hingga 90 persen, dan membuat masyarakat kehilangan daya beli. Hingga saat ini, kondisi Lebanon masih jauh dari pemulihan akibat konflik bersenjata yang berkepanjangan.
Ketiga, Islandia. Islandia mengalami kebangkrutan pada tahun 2008.
Islandia memiliki utang luar negeri sebesar USD 85 miliar atau sekitar IDR 1.360 triliun. Jumlah ini adalah 10 kali lebih besar dari PDB mereka.
Tiga bank terbesar di negara ini pun bangkrut, dan memicu depresi ekonomi.
Dengan strategi pemulihan yang tepat, Islandia berhasil mengembalikan stabilitas ekonomi. Pada tahun 2014, ekonomi mereka tumbuh 1 persen lebih besar jika dibandingkan sebelum krisis, dan pada tahun 2023 pertumbuhan ekonomi mencapai 5 persen.
Keempat, Argentina. Argentina mengalami krisis utang terbesar pada tahun 2001.
Hutang Argentina mencapai USD 145 miliar atau sekitar IDR 2.320 triliun. Krisis ini disebabkan oleh kebijakan mempertahankan nilai tukar tetap peso terhadap dollar AS.
Akibatnya, utang publik menjadi tidak terkendali. Korupsi merajalela, dan semakin memperparah situasi.

Ilustrasi mata uang. (credits: Pexels)
Meskipun, dengan berbagai langkah penyembuhan, ada tanda-tanda perbaikan ekonomi. Seperti proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 4,2 persen pada 2025, misalnya.
Argentina masih menghadapi tantangan, yakni inflasi tinggi dan tingkat pengangguran yang signifikan.
Kelima, Rusia. Rusia mengalami krisis mata uang Rubel pada tahun 1998.
Tahun 1998, adalah kebangkrutan yang ke-sembilan kalinya bagi Rusia. Krisis ini dipicu oleh dampak krisis keuangan Asia dan penurunan harga minyak dunia. Yang membuat utang Rusia mencapai USD 17 miliar atau sekitar IDR 270 triliun.
Krisis ini telah menyebabkan inflasi melonjak hingga 80 persen, dan bursa saham kehilangan nilainya hingga 75 persen. Rusia hanya mampu melunasi sebagian kecil utangnya kepada IMF.
Tetapi, pada tahun 2024, ekonomi Rusia menunjukkan pemulihan dengan pertumbuhan sebesar 4,2 persen. Pertumbuhan ini terjadi karena peningkatan sektor manufaktur dan minyak.
Keenam, Meksiko. Meksiko megalami krisis utang pada tahun 1982.
Meksiko dinyatakan bangkrut, karena gagal membayar utang sebesar USD 80 miliar atau sekitar IDR 1.280 triliun. Krisis ini dipicu oleh depresiasi peso sebesar 50 persen, dan ekspansi fiskal besar-besaran oleh pemerintah.
Dampak kebangkrutan Meksiko ini meluas ke negara-negara Amerika Latin lainnya. Dan memicu krisis utang regional.
Tapi, Meksiko telah mendapatkan pelajaran berharga.
Hari ini, Meksiko menjadi negara dengan ekonomi terkuat ke-12 di dunia. Ini terjadi, karena Meksiko berfokus pada sektor manufaktur dan investasi asing.
Masih ada negara-negara lain, mengutip CNBC, yang juga pernah mengalami kebangkrutan.
Ketujuh, Zimbabwe. Zimbabwe mengalami hiperinflasi pada tahun 2008.
Zimbabwe tercatat memiliki utang hingga USD 4,5 miliar atau sekitar IDR 71,55 triliun. Situasi semakin diperparah dengan jumlah pengangguran yang naik hingga 80 persen.
Terjadi hiperinflasi di Zimbabwe mengalami hiperinflasi, dan uang “tidak ada arti”. Sehingga, warga lebih memilih menggunakan sistem barter untuk bertransaksi, ketimbang menggunakan uang.
Kedelapan, Venezuela. Venezuela mengalami bangkrut pada tahun 2017.
Presiden Venezuela, Nicolas Maduro menyatakan bahwa pemerintahannya tidak mampu membayar seluruh utang kepada beberapa negara piutang. Ini terjadi karena penurunan harga minyak dunia.
Nicolas Maduro pun mengambil langkah dengan mencetak uang lebih banyak. Akibatnya, Venezuela memiliki utang mencapai USD 150 miliar atau sekitar IDR 2.385 triliun. Padahal, negara ini hanya memiliki dana sebesar USD 10 miliar di bank.
Kesembilan, Yunani. Yunani mengalami krisis finansial serius pada 2012.
Ini menyebabkan Yunani tidak mampu membayar utang sebesar USD 138 miliar atau sekitar IDR 2.194 triliun.
Situasi semakin memburuk pada tahun 2015. Yunani menyatakan bangkrut akibat utang yang terus meningkat hingga mencapai USD 360 miliar atau sekitar IDR 5.724 triliun.
Uni Eropa melalui Mekanisme Stabilitas Eropa mengucurkan dana sebesar EU 7,5 miliar pada tahun 2026. Agar Yunani dapat membayar sebagian utangnya.
Yunani pun mulai menerapkan berbagai langkah penghematan untuk menstabilkan ekonominya. Hari ini, ekonomi Yunani mulai menunjukan pemulihan dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 8,3 persen.
Terakhir, Ekuador. Karena alasan “tidak bermoral”, Ekuador menyatakan tidak mau membayar utang dari hedge fund asal Amerika Serikat (AS) pada 2008 lalu.
Ekuador, sebenarnya, mampu untuk membayar utang sebesar USD 10 miliar atau sekitar IDR 159 triliun. Tapi pemerintah Ekuador lebih memilih untuk tidak membayar hutang, dan mengklaim hutang negara di masa lalu disebabkan aksi korupsi pada pemerintahan sebelumnya.
Ekonomi Ekuador terpuruk saat harga minyak jatuh pada tahun 2014. Untuk menutupi defisit fiskal, pemerintah berhutang ke luar negeri dengan biaya yang tinggi.
Sejak tahun 2014 hingga 2017, hutang Ekuador naik secara signifikan dan melebihi batas aman 40 persen dari total PDB-nya.
Kebangkrutan dan upaya penyembuhan ekonomi dari keenam negara ini, membuktikan, bahwa pengelolaan keuangan yang bijak adalah kunci sukseenya sebuah negara. Dan, bagaimana kebijakan dan langkah-langkah yang bijaksana dan strategis, dapat memperbaiki keadaan ekonomi.*

