Menghitung Emisi Industri Minyak Sawit
Ekonomi & Bisnis
June 11, 2025
Jon Afrizal

Pekebun sawit mandiri, di Kabupaten Tebo. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
PROTOKOL Gas Rumah Kaca digunakan untuk mengitung emisi. Pola penghitungan yang dikembangkan oleh World Resources Institute (WRI) dan World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) ini membantu perusahaan untuk membangun persediaan emisi mereka.
Mengutip Dialogue Earth, penghitungan ini juga merupakan persyaratan bagi perusahaan yang mencari pengakuan atas target mereka oleh Science Based Targets initiative (SBTi).
Sehingga, protokol ini mengkategorikan emisi perusahaan menjadi tiga ruang lingkup.
Ruang lingkup 1 mengacu pada emisi langsung dari sumber milik perusahaan dan dikendalikan. Seperti; pembakaran di boiler, dan emisi kendaraan.
Ruang Lingkup 2 mencakup emisi tidak langsung dari energi yang dibeli yang dikonsumsi oleh perusahaan.
Sedangkan Ruang Lingkup 3 mencakup emisi tidak langsung lainnya di seluruh rantai nilai, termasuk ekstraksi dan produksi bahan yang dibeli, transportasi, dan penggunaan produk dan layanan yang dijual.
Di bawah SBTi, jika emisi Lingkup 3 perusahaan kurang dari 40 persen dari total emisi mereka, maka mereka hanya diminta untuk melaporkan emisi lingkup 1 dan 2. Namun, untuk sebagian besar bisnis di sebagian besar industri, Lingkup 3 menyumbang lebih dari 70 persen jejak karbon mereka.
Perusahaan sawit yang beroperasi baik di hulu dengan perkebunan dan pabrik, dan, hilir dengan refining dan produksi oleokimia dianggap “terintegrasi secara vertikal” dalam rantai pasok. Pelaporan emisi gas rumah kaca mereka untuk Lingkup 1 dan 2 sering dibagi menjadi bagian hulu dan hilir.
Tetapi menghitung dan melaporkan emisi Lingkup 3 sangat menantang karena kompleksitas rantai pasok dan kurangnya keterlacakan di sektor minyak sawit. Emisi Lingkup 3 memerlukan intensifitas manajemen risiko rantai pasok, keterlibatan dengan pemasok dan pemangku kepentingan lainnya, dan upaya penjangkauan.

Konversi lahan menjadi perkebunan sawit, di Kabupaten Tebo. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Sementara SBTi umumnya hanya membutuhkan target yang ditetapkan untuk Lingkup 3 ketika mereka menyumbang 40 persen atau lebih dari total emisi perusahaan, emisi Lingkup 3 di industri sawit sering dikecualikan dari persediaan gas rumah kaca karena kesulitan mengumpulkan data.
Industri ini menghadapi tantangan keterlacakan yang signifikan karena keterlibatan begitu banyak pabrik independen, dealer, dan jutaan petani kecil. Saat ini, tidak ada satu pun produsen minyak sawit yang menerbitkan emisi Lingkup 3 dalam persediaan gas rumah kaca mereka, meskipun beberapa telah mulai memetakannya.
Untuk perusahaan anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), kalkulasi PalmGH membantu perusahaan melacak emisi yang terkait dengan perubahan penggunaan lahan, manajemen lahan gambut, pupuk, pabrik minyak sawit yang efisien, dan lainnya.
Kalkulasi ini juga mencakup perhitungan untuk karbon yang diasingkan dari hutan yang dilestarikan dalam konsesi dan dari sawit itu sendiri. Dan juga menghitung emisi gas rumah kaca bersih dengan mengurangi karbon yang diasingkan dari karbon yang dipancarkan.
Upaya ini tampaknya memiliki dampak, dengan minyak sawit bersertifikat RSPO ditemukan menghasilkan sekitar 35 persen lebih sedikit emisi daripada minyak sawit yang tidak bersertifikat per kilogram minyak olahan.
Perbedaannya dikaitkan dengan faktor-faktor seperti penggunaan lahan gambut, misalnya. Yang, seharusnya, anggota RSPO cenderung tidak menanam di gambut, hasil panen mereka cenderung memiliki hasil yang lebih tinggi, dan, pengelolaan pabrik sawit yang efisien dimana mereka berada di depan teknologi penangkapan metana.
Inisiatif Hutan, Tanah dan Pertanian (FLAG) SBTi dan panduan Greenhouse Gas yang akan datang tentang sektor tanah dan pemindahan GRK akan menyediakan kerangka kerja tambahan untuk sektor padat lahan untuk memperhitungkan emisi, penghapusan dan penyimpanan karbon.
Inisiatif ini diharapkan dapat melengkapi kalkulasi emisi RSPO, yang memungkinkan perusahaan untuk memperkirakan emisi bersih mereka, menetapkan target berbasis sains, dan bekerja menuju nol bersih.
Mengutip Our World In Data, produksi minyak sawit dunia telah meningkat pesat sejak tahun 1960an. Antara 1970 hingga tahun 2020, produksi minyak sawit dunia meningkat sekitar 40 kali lipat. Produksi global berubah dari hanya 2 juta ton menjadi sekitar 80 juta ton.
Dua negara kunci yang mendorong produksi sawit, adalah; Indonesia dan Malaysia.
Selama periode tahun 2001 hingga tahun 2016, perkebunan sawit adalah pendorong terbesar deforestasi, sebesar 23 persen. Dan mencapai puncaknya pada periode tahun 2008 hingga tahun 2009, ketika terjadi deforestasi di Indonesia sebesar 40 persen. Tetapi, sejak masa itu menurun menjadi kurang dari 15 persen.
Sebanyak 75 persen dari perkebunan ini ditanam di lahan yang sebelumnya berhutan pada tahun 1973. Meskipun, tidak semua perkebunan ini adalah pendorong langsung dari konversi ini.
Deforestasi langsung untuk minyak sawit memainkan peran yang lebih besar di Malaysia, sekitar 60 persen. Sedangkan di Indonesia, sekitar 16 persen.*

