Banyak Perusahaan Perkebunan Sawit Tidak Berizin

Ekonomi & Bisnis

April 27, 2025

Jon Afrizal/Kota Jambi

Hamparan perkebunan sawit di Provinsi Jambi. (credits: PTPN6)

SEBANYAK 67 perusahaan perkebunan sawit (Elaeis guineensis) yang beroperasi di Provinsi Jambi yang tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Perusahaan-perusahaan itu terdata berada di tujuh kabupaten.

Ke-67 perusahaan itu, secara rinci; tujuh perusahaan di Kabupate Merangin, 26 perusahaan di Sarolangun, 7 perusahaan di Bungo, 6 perusahaan di Tanjungjabung Barat, 4 perusahaan di Tanjungjabung Timur, 8 perusahaan di Tebo, 5 perusahaan dan di Muaro Jambi, dan 4 perusahaan lagi beroperasi lintas kabupaten.

“Kami mendorong Pemerintah Provinsi Jambi dan pihak yang berwenang untuk memperketat pengawasan dan melakukan penindakan terhadap perusahaan yang beroperasi tanpa izin yang lengkap dan jelas,” kata Direktur Perkumpulan Hijau, Feri Irawan, baru-baru ini.

Pihaknya pun mendesak untuk dilakukan audit menyeluruh terhadap izin-izin usaha perkebunan di Provinsi Jambi. Juga, membuka “daftar perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki HGU” agar publik dapat ikut mengawasi.

Lalu, mewajibkan perusahaan-perusahaan itu untuk memenuhi kewajiban kebun plasma bagi masyarakat.

Sebab, katanya, jika pelanggaran ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin eksploitasi sumber daya dan ketimpangan ekonomi akan semakin meluas.

Monumen Sawit di Kebon Raya Bogor, tempat empat biji kelapa sawit dari Mauritius dan Hortus Botanicus, ditanam. (credits: Wiki Commomns)

HGU adalah izin resmi yang dikeluarkan oleh negara bagi perusahaan untuk mengelola lahan dalam jangka waktu tertentu. Tanpa HGU, perusahaan tidak memiliki dasar hukum yang sah dalam menguasai dan mengelola lahan perkebunan.

Sehingga, perusahaan yang tidak memiliki HGU diduga melakukan operasional secara illegal.

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan “Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2022” menyebutkan, bahwa perkebunan sawit di Provini Jambi terus mengalami bertumbuhan. Pada tahun 2013 hanya 657.929 hektare, dan bertumbuh menjadi 1.190.813 hektare pada tahun 2022.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan, persoalan klasik perkebunan sawit di Indonesia bukan hanya perkara kerusakan lingkungan atau deforestasi semata. Tapi juga persoalan konflik agraria akibat penggusuran dan perampasan tanah masyarakat yang selama ini diakibatkan oleh operasi perusahaan perkebunan.

“Jika ditarik selama pemerintahan Presiden Joko Widodo sebelumnya (2015-2023), konflik agraria akibat perkebunan sawit mencapai 1.131 letusan konflik,” katanya, mengut KPA.

Perkebunan sawit, katanya, adalah sektor yang paling banyak menyumbang angka konflik agraria di Indonesia.

Pada 2023, terjadi 108 letusan konflik agraria di sektor perkebunan, dimana 88 kasus disebabkan oleh perkebunan dan industri sawit. Angka ini mengalami kenaikan dari tahun 2022 dengan jumlah konflik sebanyak 99 letusan.*

avatar

Redaksi