RSPO Dan Konflik Sawit Di Indonesia
Resonansi
January 24, 2025
Otto Hospes*

Rumah warga yang tergenang banjir di Desa Suban Kecamatan Batang Asam Kabupaten Tanjungjabung Barat, Provinsi Jambi, Minggu (19/1). Banjir ini adalah efek lanjutan konversi hutuan menjadi perkebunan sawit. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
PADA tahun 2009, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) membuat mekanisme penyelesaian konflik. Tujuannya adalah untuk membantu masyarakat pedesaan dalam mengatasi keluhan mereka terhadap perusahaan kelapa sawit yang menjadi anggota RSPO.
Tetapi, masih menjadi tada tanya besar, tentang sejauh mana mekanisme penyelesaian konflik RSPO ini menawarkan alat yang mudah diakses, adil, dan efektif bagi masyarakat di Indonesia untuk menyelesaikan konflik dengan perusahaan.
Dalam basis data kami yang berisi 150 kasus konflik, 64 konflik melibatkan perusahaan anggota RSPO. Dengan kata lain, ini adalah kasus-kasus yang berpotensi dibawa oleh masyarakat setempat ke RSPO.
Namun, kami menemukan bahwa masyarakat yang ingin mengajukan pengaduan ke RSPO hanya 17 konflik. Yakni 26,6 persen dari total 64 konflik yang melibatkan perusahaan anggota RSPO.
Dalam enam dari 17 kasus ini masyarakat gagal mengajukan pengaduan. Hanya dalam 11 kasus masyarakat benar-benar berhasil melaporkan pengaduan mereka ke RSPO.
Catatan RSPO, sebagaimana disimpan dalam pelacak kasus mereka, menunjukkan bahwa total 85 kasus di Indonesia dilaporkan ke RSPO antara tahun 2009 dan akhir tahun 2020.
Ini relatif kecil dari total jumlah konflik yang muncul selama periode ini di Indonesia.
Pada tahun 2017 saja, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terdapat 208 konflik perkebunan yang terjadi. Dengan mayoritas merupakan konflik alih fungsi lahan untuk perluasan perkebunan kelapa sawit.
Kami mencatat 138 pengaduan dari 85 kasus konflik yang disampaikan ke sistem pengaduan RSPO hingga Desember 2020, saat kami menyelesaikan pengumpulan data kami.
Kategori terbesar (37 persen) berkaitan dengan pengabaian hak atas tanah. Kategori terbesar berikutnya adalah pengaduan tentang buruknya implementasi pengaturan pembagian keuntungan (30,4 persen).
Klaim ini terkait dengan lahan. Dimana masyarakat setempat menuntut perkebunan plasma (skema petani kecil) karena mereka mengklaim lahan yang digunakan oleh perusahaan perkebunan sawit adalah tanah adat mereka.
Demikian pula, masyarakat setempat meminta dana tanggungjawab sosial perusahaan dari perusahaan sawit. Karena lahan yang digunakan oleh perusahaan berada di dalam batas desa mereka.
Alasan utama terbatasnya penggunaan mekanisme RSPO ini adalah kompleksitas pendaftaran kasus. Seorang pengadu harus mengisi formulir daring untuk mendaftarkan kasus, atau mengunduh formulir untuk dikirim ke Sekretariat RSPO.
Pengadu juga harus membuat surat pengaduan, merinci pelanggaran spesifik prinsip dan kriteria RSPO yang dilakukan oleh anggota RSPO. Lebih jauh, pengadu harus memberikan dokumen bukti yang dipindai untuk mendukung pengaduan.
Kami menemukan bahwa cukup banyak komunitas tersandung pada rintangan pertama ini.
Seperti disebutkan di atas, dari 17 kasus yang diidentifikasi dimana komunitas mencoba mengajukan pengaduan ke RSPO. Penduduk desa gagal mendaftarkan pengaduan mereka dalam sistem pengaduan RSPO dalam enam kasus.
Meskipun, mereka harus berjuang untuk memenuhi semua persyaratan prosedural dan informasi RSPO.
Dalam studi kami terhadap 150 konflik di Indonesia, kami menemukan bahwa penduduk pedesaan di Indonesia mengalami kesulitan dengan kompleksitas prosedur conflict resolution mechanism (CRM) RSPO. Sehingg, lebih cenderung memilih mekanisme lain.
Yakni; komunitas masyarakat lebih cenderung mengandalkan mediasi informal yang disediakan oleh politisi dan birokrat setempat (109 kasus, atau 73 persen dari total 150 kasus konflik), atau pada tingkat yang lebih rendah, pengadilan Indonesia (40 kasus, atau 27 persen dari kasus).
Bahwa, realitanya, penggunaan mekanisme pengaduan RSPO bukanlah pilihan pertama yang dipertimbangkan masyarakat untuk mengatasi konflik dengan perusahaan.

“Pohon Konflik”. (credits: gsdrc)
Bahkan, kami menemukan bahwa bukan hal yang aneh jika konflik berlangsung lebih dari 10 tahun. Dimana CRM RSPO hanya dianggap sebagai pilihan terakhir setelah serangkaian upaya untuk menyelesaikan konflik.
Pola yang dominan adalah, bahwa masyarakat memulai dengan demonstrasi. Kemudian beralih ke negosiasi bilateral dan mediasi pihak ketiga. Dan, mereka hanya mempertimbangkan CRM RSPO sebagai pilihan terakhir.
Ini menunjukkan bahwa penduduk pedesaan Indonesia menganggap prosedur RSPO adalah “menakutkan dan menantang” untuk dinavigasi. Beberapa persyaratan prosedural, seperti persyaratan yang disebutkan bagi organisasi masyarakat untuk terdaftar secara resmi, berdampak negatif pada aksesibilitas mekanisme RSPO.
Dari 85 kasus yang didokumentasikan dalam pelacak kasus RSPO, non government organization (NGO) terlibat aktif dalam 63 kasus (74,1 persen).
Dalam kebanyakan kasus, NGO pada akhirnya mengajukan pengaduan atas nama penduduk desa: dalam 48 dari 85 kasus dalam pelacak kasus RSPO, dimana NGO termasuk di antara pengadu utama.
Penduduk desa sangat jarang menjadi satu-satunya pengadu: individu-individu yang mengajukan pengaduan dalam enam kasus dan perwakilan masyarakat dalam empat kasus lainnya.
Basis data kami yang berisi 150 konflik menunjukkan bahwa dalam banyak kasus masyarakat memperoleh dukungan dari NGO: dalam 94 kasus (yaitu: 62,7 persen), masyarakat menerima sejumlah dukungan dari NGO.
Dukungan ini sangat sederhana dan terbatas pada pengintegrasian masyarakat ke dalam jaringan NGO pendukung, dan lalu menginformasikan mereka tentang hak masyarakat atas tanah, dan tugas-tugas organisasi.
Dukungan NGO yang luas untuk membantu dan memungkinkan masyarakat menangani konflik dengan perusahaan jarang terjadi.
Berdasarkan pengamatan ini, preferensi untuk mekanisme alternatif dan relatif tidak adanya dukungan NGO yang luas, memberikan penjelasan untuk temuan kami bahwa hanya sekitar 17,2 peren dari 64 konflik yang melibatkan perusahaan RSPO dari 150 konflik yang akhirnya dilaporkan ke RSPO.

Kampanye Sawit melalui “The Palm Oil Story”. (credits: European Palm Oil Alliance)
Simpulannnya, akses ke CRM RSPO sulit bagi masyarakat setempat. Persyaratan administratif CRM RSPO pun membatasi akses ini.
Dalam kondisi ini, mereka membutuhkan bantuan dari pihak eksternal. Seperti aktivis NGO, untuk mendaftarkan kasus mereka dan mengikuti prosesnya.
Di Indonesia, terdapat berbagai jenis forum penyelesaian konflik. Yang, setidaknya secara teori, dapat digunakan oleh masyarakat pedesaan untuk menyelesaikan konflik dengan perusahaan sawit.
Selain pengadilan negeri, penduduk desa dapat menggunakan fasilitasi dan mediasi oleh NGO atau pejabat pemerintah.
Masyarakat pedesaan telah menggunakan semua forum ini. Tetapi efektivitasnya, terutama pengadilan negeri, dalam menyelesaikan konflik sawit, sangat rendah.
Dalam situasi seperti itu, CRM RSPO harusnya dapat menjadi alternatif bagi penduduk desa yang mencari keadilan.
Dengan menggunakan berbagai sumber data dan beberapa kriteria untuk menilai Mekanisme Resolusi Konflik RSPO, kami menyimpulkan bahwa mekanisme ini dalam prakteknya bias terhadap perusahaan dan merugikan kepentingan masyarakat dalam tiga cara berbeda.
Pertama, kami menemukan bahwa aksesibilitasnya buruk bagi masyarakat. Kompleksitas prosedur dan persyaratan informasi yang sangat banyak dianggap atau dialami oleh masyarakat sebagai rintangan besar yang membuat mereka enggan dan benar-benar menghentikan mereka mengakses CRM RSPO.
Kedua, proses penanganan pengaduan yang sebenarnya tidak melibatkan perlakuan yang sama terhadap masyarakat dan perusahaan. Ketika terjadi kegagalan dalam memberikan informasi yang diminta: perusahaan diberi waktu yang cukup, namun waktu bagi masyarakat sangat sempit.
Ketiga, pemantauan RSPO terhadap hasil seringkali tidak memadai. Akibatnya, perusahaan sering kali lolos dengan menghindari penerapan arahan RSPO kepada perusahaan dan perjanjian bilateral perusahaan dengan masyarakat.
Keterbatasan ini memperkuat lemahnya hak atas tanah masyarakat pedesaan di Indonesia yang sebelumnya telah lemah.
Akibat dari ketiga bias ini, adalah, kapasitas aktual mekanisme RSPO untuk menyediakan penyelesaian yang berarti bagi keluhan masyarakat pedesaan masih sangat terbatas. Akses yang tidak merata terhadap keadilan ini tidak terlalu membantu dalam menyelesaikan konflik antara perusahaan dan masyarakat atas tanah, tetapi justru memperparah konflik yang terjadi.
Dalam konflik atas lahan dengan perusahaan sawit, masyarakat seringkali tidak memiliki dokumen resmi yang menjamin hak dan akses mereka terhadap tanah. Persyaratan dokumen resmi yang sama oleh CRM RSPO berarti bahwa konflik mereka dengan perusahaan sawit menjadi berkepanjangan.
Sehingga, menjadi wajar, masyarakat kalah dalam pertempuran dengan perusahaan baik di tingkat konsesi maupun di arena non-yudisial alternatif RSPO.
Tidak mengherankan, CRM RSPO, yang dipuji oleh masyarakat internasional dan dipamerkan oleh industri sawit, ternyata kurang populer sebagai mekanisme penyelesaian konflik bagi masyarakat di Indonesia.
Karena prosedur yang rumit dan persyaratan informasi yang cukup besar, masyarakat lebih memilih mekanisme lain untuk mencoba dan menyelesaikan konflik mereka dengan perusahaan.
Bagi masyarakat Indonesia, CRM RSPO bukanlah pilihan yang tepat. Dengan kata lain, ini berarti ruang bagi mereka untuk berunding di forum semakin terbatas.
Yang sekali lagi menunjukkan alasan mengapa masyarakat berkonflik dengan perusahaan, dan akar penyebab konflik: mereka harus menghadapi lemahnya hak atas tanah yang aman.
Karena mereka tidak memiliki dokumen yang tepat, khususnya dokumen yang mendefinisikan hak atas tanah mereka berdasarkan hukum dan peraturan Indonesia. Akibatnya, mereka memiliki posisi tawar yang lemah dalam penyelesaian sengketa.
Karena hak dan akses yang tidak aman terhadap tanah masyarakat pedesaan di Indonesia, tantangan yang dihadapi masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan kelapa sawit sangat besar, bahkan sulit diatasi.
Jalan menuju terwujudnya akses yang setara terhadap keadilan melalui CRM RSPO hanya dapat dimulai ketika badan non-yudisial ini menyadari bahwa kurangnya dokumen resmi dan hak serta akses yang aman terhadap tanah adalah satu akar penyebab konflik antara masyarakat dan perusahaan sawit.*
*Profesor Administrasi Publik dan Kebijakan di Wageningen University & Research

