Saat Gajah Menjadi Agresif
Lingkungan & Krisis Iklim
July 23, 2024
Jon Afrizal
Kotoran gajah yang ditemukan di Desa Rantau Benar Kecamatan Renah Mendaluh Kabupten Tanjungjabung Barat Provinsi Jambi, pertengahan Juli 2024. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
TELAH satu bulan terakhir ini, warga Kecamatan Renah Mendaluh Kabupaten Tanjungjabung Barat Provinsi Jambi, memiliki pekerjaan baru: menghalau gajah. Sebanyak 12 individu gajah berkeliaran di desa-desa mereka. Sejak dari Muaro Danau, Rantau Benar, Sungai Pauh hingga Merlung.
Selama ini, tentunya, mereka hanya mendengarkan cerita-cerita para orangtua saja, tentang gajah yang melintas di desa-desa mereka.
Yup, sewaktu terbukanya Jalan Lintas Timur Sumatera (JLTS) di awal tahun 90-an, jalan darat ke Kota Kuala Tungkal pun terbuka. Diantara kecamatan Betara dan Pematang Lumut, dipasangkan marka jalan dan petunjuk besar dan banyak sekali. Bahwa “Hati-Hati Areal Perlintasan Gajah”.
Sebuah kengerian tersendiri bagiku, yang sesekali ke Kota Kuala Tungkal, kala itu. Dan, dengan jalanan berkelok dan sepi sejak dari Simpang Tuan (sekarang disebut KM 35) hingga Betara, selalu terlintas, ketakutan, bagaimana jika aku melintasi daerah ini pada malam hari, dan bagaimana jika berpapasan dengan kawanan gajah yang beriringan melintasi ruas jalan.
Tentunya, tidak seperti ilustrasi pada cerita kartun “Bona Gajah Kecil Berbelalai Panjang” di majalah Bobo, seperti yang biasa ku baca sewaktu kecil dulu.
Kini jejak itu masih tersisa. Di Kecamatan Betara, masih terdapat desa bernama Desa Gajah Terjun. Sebuah kearifan lokal untuk memberikan nama terkait kejadian pada suatu waktu di suatu daerah.
Meskipun, gajah, bagi penduduk di sana, faktanya kini, tidak pernah dijumpai lagi.
Sama seperti penduduk asli di Kecamatan Renah Mendaluh. Pada sesi wawancara dengan penduduk, selalu ternyatakan bahwa, “Dulu, menurut cerita orang-orangtua, gajah pernah melintas kemari.”
“Dulu” dan “orangtua”. Anggap saja, satu keturunan di atas mereka yang masih hidup saat ini. Jika yang berkata adalah kelahiran tahun 1960-an, maka orang tua mereka kelahiran tahun 1940-an.
Tanaman sawit yang berubah menjadi pakan gajah, di Desa Rantau Benar. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Dan pada masa orangtua mereka masih hidup, dan masih muda, kisah-kisah tentang perlintasan gajah itu terjadi.
Mari, kita bentangkan peta terkait wilayah ini. Dan bagaimana kontur daerah ini, yang lebih banyak perbukitan, telah menjadi tempat bagi hidupnya gajah Sumatera. Gajah yang melawan hukumnya sendiri, yakni hidup di dataran atau hutan sekunder atau semak belukar.
Sementara, warga di Provinsi Riau, yakni di Kabupaten Indragiri Hulu, terhitung mulai dari Serengseng, Kritang hingga menuju ke Siberida, masih mengenal gajah. Mereka menyebutnya “Datuk Gedang.”
Berbeda dengan orangtuaku, yang kebetulan pernah tinggal di Muarotebo sewaktu jembatan ke Kota Muarotebo belum ada, dan hanya ada pelayangan. Ia bahkan tidak mengenal istilah “Datuk Gedang”. Datuk, baginya, atau bagi banyak warga Jambi, adalah sebutan untuk Harimau Sumatera.
Bahasa adalah produk budaya, dan budaya telah menciptakan sebuah suku bangsa. Rumit bagi kita, untuk menyangkal ingatan kolektif ini.
Dan, bagaimana kita menghubungkan nokta-noktah cerita ini, ketika membentangkan peta wilayah Provinsi Jambi dan Provinsi Riau.
Lalu, Bukit Tigapuluh, yang adalah kawasan perbukitan di wilayah Kabupaten Tebo, Tanjungjabung Barat, Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir pun ditetapkan pemerintah menjadi Taman Nasional, pada tahun 1995, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 539/KPTS-II/1995.
Dengan luasan 143.143 hektare, yang menjadi 20 kawasan prioritas global untuk konservasi harimau oleh pakar spesies pada tahun 2006 dan juga dijadikan sebagai daerah perlindungan untuk proyek pelepas-liaran orang utan.
Sebuah taman nasional yang unik, yang memiliki hutan produksi sebagai “bufferzone”nya. Dan, dengan kontur perbukitan, sangat tidak cocok untuk gajah Sumatera, betapapun kuat manusia memaksa mereka untuk hidup di sana.
Maka, hiduplah para gajah di landscape Bukit Tigapuluh, dan bukan di zona inti. Artinya, gerakan gajah untuk mencari makan adalah tetap berada di kawasan aslinya.
Tetapi, adakah perhitungan terkait dengan tumbuh kembangnya manusia-manusia yang selalu beranak pinak ini?
Maka, dusun-dusun di areal itu tetap dihuni oleh manusia-manusia yang terus bertambah dalam jumlah jiwa.
Lantas, gajah yang terdesak, tergiring ke sana kemari mengikuti naluri perut lapar dan mencari tempat tenang. Berpindah dari satu tempat dimana mereka diusir, ke tempat lainnya, yang bertemu juga dengan manusia yang mengusir mereka.
Mari, kita bicara tentang hak untuk hidup, di sini. Hak untuk hidup bagi apapun jenis mahluk hidup.
Satwa telah memiliki perlindungan melalui Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Lantas, secara ilmu pertanian, apapun yang mengganggu tanaman adalah hama. Maka, jadilah gajah sebagai hama bagi tanaman manusia. Dan, rumit sekali untuk menyatakan bahwa tidak ada aturan yang tertulis soal bagaimana penanggulangan tanaman yang “diserang” oleh satwa, dan apa hukumannya bagi satwa yang mengganggu tanaman.
Maka, konflik menjadi terbuka. Antara satwa-manusia-tanaman.
Lalu, adakah pemakluman terhadap persoalan ini?
Ketika landscape tempat gajah hidup terus tergerus dengan begitu banyak lahan-lahan baru? Memang, manusia adalah aktor utama konservasi. Tetapi, adakah terpikir bahwa manusia juga butuh dukungan para satwa, agar “rantai makan” tetap seperti sedia kala?
Ketika satu spesies hilang, maka, spesies yang lain akan bertambah lebih banyak. Dan persoalan konflik, atau apapunlah istilah yang lebih soft, sangat tidak mungkin untuk menjadi berlipat ganda.
Jika, Perhutanan Sosial, tentunya adalah penyelesaian konflik antar manusia. Dan, mari sama-sama kita mahfumi, belum ada kebijakan real time terkait penyelesaian konflik antar manusia-satwa-tanaman.
Dan sudah seharusnya, kita memiliki banyak sanctuary. Bagi banyak satwa dengan areal jelajah yang mencapai ratusan kilometer per ekor per musim.
Dan, setelah membentangkan peta Provinsi Jambi dan Riau, mari kita biarkan orang-orang pintar untuk berpikir secara cerdas dan nalar. Soal bagaimana memperlakukan satwa secara animalis, dan memberlakukan tanaman secara agraris, dan memberlakukan manusia secara humanis.*