Translokasi Satwa, Apakabar?

Lingkungan & Krisis Iklim

February 29, 2024

Jon Afrizal

Lukisan “Orang-Outang, sive Homo Sylvestris” karya Singe D’Angola, 1748. (: sciencephoto)

AKSI pindah-memindah (translokasi) satwa, dari satu tempat ke tempat yang lain, diyakini beberapa pihak dapat memperbaiki ekosistem bumi. Tetapi, pada saat Krisis Iklim saat ini, yang juga diikuti oleh krisis-krisis yang lainnya, seperti juga Keadilan Iklim, aksi itu memerlukan banyak pertimbangan.

Yang, tentunya, tidak sebatas hanya berpikir untuk, ehm, memindahkan satwa ke “tempat yang kosong” saja. Sebab, harus ada tindakan yang meyakinkan, agar tujuan konservasi, dimana manusia adalah sebagai aktor utama, tidak malah menyebabkan terjadinya kondisi un-conservation.

Persoalan ini pun menjadi bahasan pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC COP28) di Dubai beberapa waktu lalu. Dimana menurut Climate Change & Migratory Species (CMS), perubahan iklim telah memberikan dampak yang sangat buruk bagi banyak hewan yang bermigrasi dan kemampuan mereka untuk menyediakan layanan ekosistem yang vital bagi manusia.

Menurut laporan CMS, ditemukan dampak langsung dari perubahan iklim terhadap banyak spesies yang bermigrasi. Seperti pergeseran wilayah jelajah, perubahan waktu migrasi, dan berkurangnya keberhasilan perkembangbiakan dan kelangsungan hidup.

Sebagai bagian integral dari ekosistem tempat mereka tinggal, spesies migran mendukung jasa ekosistem penting yang memitigasi dampak perubahan iklim dan meningkatkan ketahanan terhadap bahaya iklim.

Laporan ini pun menekankan perlu untuk segera bertindak untuk membantu spesies migrasi yang rentan beradaptasi dengan perubahan iklim. Tindakan seperti pembentukan jaringan kawasan lindung yang komprehensif dan terhubung dengan baik.

Juga dibutuhkan langkah-langkah konservasi berbasis kawasan yang efektif sangat penting untuk mendukung pergerakan spesies dalam menanggapi perubahan iklim. Sementara intervensi langsung dari manusia, seperti translokasi populasi spesies yang rentan, akan diperlukan dalam beberapa kasus.

Laporan ini juga menjelaskan, terdapat bukti kuat bahwa peningkatan suhu global telah mempengaruhi sebagian besar kelompok spesies yang bermigrasi, dan dampaknya sebagian besar bersifat negatif.

Contohnya, peningkatan suhu menyebabkan perubahan dalam reproduksi dan kelangsungan hidup krill dan berdampak negatif pada mamalia laut dan burung laut yang mengandalkan krill sebagai sumber makanan utama.

Tak hanya itu, terdapat juga bukti kuat bahwa perubahan iklim berdampak pada distribusi spesies yang bermigrasi dan waktu migrasi. Secara khusus, peningkatan suhu mendorong pergeseran wilayah jelajah dan migrasi serta perkembangbiakan yang lebih awal.

Pada beberapa spesies, seperti burung yang menyeberang, terdapat risiko bahwa hal ini akan menyebabkan ketidaksesuaian antara waktu berkembang biak dan waktu ketika spesies mangsa paling banyak.

Bukan hanya itu, perubahan ketersediaan air menyebabkan hilangnya lahan basah dan berkurangnya aliran sungai, yang kemungkinan besar akan berdampak pada migrasi ikan dan burung air.

Peristiwa ekstrem terkait iklim seperti tanah longsor juga menyebabkan kerusakan habitat yang parah. Hal itu telah terjadi di beberapa lokasi penangkaran burung laut.

Berikutnya, laporan itu juga menemukan terdapat bukti kuat bahwa burung laut dan mamalia laut yang bermigrasi akan terdampak oleh perubahan arus laut. Hal itu disinyalir akan mengubah sifat dan fungsi banyak ekosistem laut dan darat.

Lalu, bagaimana kita menyikapi keterlanjuran translokasi spesies, terutama di Provinsi Jambi, yang kadung  membuat benturan antar satwa yang didatangkan versus manusia yang juga adalah juga pendatang?

Sejauh ini, belum didapat solusi jitu terkait konflik antar pendatang itu. Sehingga, butuh “Analisa dan Tindakan” lanjutan agar translokasi spesies, sebagai upaya konservasi, juga membuat manusia sebagai aktor utama konservasi, tidak terpinggirkan.*

avatar

Redaksi