Pongo Pulang Kemana?
Lingkungan & Krisis Iklim
December 31, 2023
Jon Afrizal/Kota Jambi
Kera besar pongo abilii. (: indonesiatourism)
TIGA ekor pongo abelii sitaan dari Thailand akan dilepasliarkan di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) Provinsi Jambi. Sebelumnya, ketiga pongo ini akan direintroduksi di Santuari Danau Alo, Tanjungjabung Barat.
Ketiga ekor mawas (: yang berasal dari kata “malas”) itu terdiri dari dua jantan dan satu betina. Yakni Bryant (4), Nobita (7), dan Shisuka (7).
“Ini adalah upaya penyelamatan satwa liar dilindungi,” kata Kepala Balai BKSDA Jambi, Donal Hutasoit saat merilis ketiga satwa itu di Terminal Kargo Bandara Sultan Thaha Jambi, Jumat (22/12).
Repatriasi ini, katanya, adalah komitmen bersama antara Pemerintah Indonesia dan Thailand untuk memerangi perdagangan satwa liar. Repatrasi satwa pemakan buah dan ranting kayu ini telah lima kali dilakukan sejak 2006 lalu. Dengan total 71 ekor.
Sementara untuk Provinsi Jambi sendiri, ini adalah repatriasi kedua dari Thailand. Sebelumnya, pada tahun 2020, dua ekor pongo abelii yang bernama Ung Aing dan Natalee, telah dilepasliarkan di TNBT.
Menurut data BKSDA Provinsi Jambi, kerjasama dengan Frankfurt Zoological Society (FZS) sejak tahun 2003 ini, telah melepasliarkan 204 ekor pongo. Yang terdiri dari 98 betina dan 106 jantan. Serta, terpantau lahir sebanyak 21 ekor di TNBT.
Manager Sumatera Orangutan Conservation Project Frankfurt Zoological Society (FZS), Andani mengatakan pola hidup mawas ini telah berubah setelah dipelihara oleh manusia. Sehingga, butuh waktu sekitar 3 hingga 5 tahun untuk men-satwa-kan kembali babon ini.
Supaya mawas ini dapat kembali menjadi satwa, yang alamiahnya adalah memakan buah dan ranting dengan cara memanjat pohon, dan menghabiskan waktunya di pohon.
Tetapi, persoalan-persoalan seperti pengenalan dan pemetaan wilayah oleh kera besar ini tentu harus dipikirkan juga. Dengan waktu yang berkisar 5 tahun per ekor, upaya reintroduksi yang memakan banyak waktu dan biaya ini haruslah berhasil.
Sebab, persoalan seperti kondisi wilayah, tentu tidak gampang dipahami oleh hewan berbulu panjang, yang oleh warga lokal disebut binatang hantu ini. Tentu saja, karena pongo abilii bukanlah penduduk lokal lansekap Bukit Tigapuluh.
Kera besar ini umumnya berasal dari hutan hujan Indonesia dan Malaysia, terutama di Pulau Kalimantan dan Sumatra. Pada awalnya, genus pongo dianggap hanya terdiri dari satu spesies. Tapi sejak tahun 1996, dibagi menjadi dua spesies: yakni pongo pygmaeus, dengan tiga subspecies yang berada di Pulau Kalimantan, dan pongo abelii di Pulau Sumatera.
Pemilihan lansekap Bukit Tigapuluh sebagai rumah bagi satwa ini, tentu saja telah dikaji sesuai disiplin ilmu konservasi. Tetapi, ehm, sepertinya belum dikaji dari sisi budaya lokal atau yang sering dikenal dengan sebutan local wisdom dalam dunia konservasi.
Sebab, berdasarkan sejarah dan cerita lisan Melayu Jambi, tidak pernah terdengar seseorang menceritakan tentang satwa ini, di sini. Artinya, secara budaya, satwa ini tidak dikenal, dan tidak pernah ada di sini.
Sehingga benturan kerap terjadi. Seperti beberapa kasus dimana satwa pemanjat batang pohon rindang ini mengambil tanaman buah milik warga lokal.
Jelas saja, pongo tidak memahami hak milik apalagi sertifikat tanah. Sehingga, konflik antar warga dan pongo dapat saja terjadi.
Pada tahun 2006, misalnya, seekor pongo bernama Leuser ditembak warga di Desa Mangupeh, Kabupaten Tebo. Karena tidak memahami hak milik dan sertifikat tanah, Leuser, dinyatakan warga, sering menjarah buah-buahan warga.
Sebanyak 62 peluru senapan angin bersarang di tubuh kera jantan ini. Dan hanya 11 peluru yang berhasil diangkat. Oleh para dokter, Leuser dinyatakan cacat seumur hidup, di bagian mata sebelah kiri, akibat ditembus peluru senapan angin.
International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyatakan kera besar ini berstatus terancam punah, dan memasukkannnya pada red list pada tahun 2016. Dengan alasan, telah terjadi penurunan drastis dari populasi ini sebesar 50 persen, sejak tahun 1992 dan hanya tersisa 14.600 ekor saja.
Adalah Abdullah Munsyi, penulis hikayat autobiografi dan travelog, atau dikenal dengan Munsyi Abdullah, yang berasal dari Pulau Pinang (Penang) Malaysia. Karya-karyanya diterbitkan antara tahun 1790 hingga 1888.
Pada satu hikayatnya, Munsyi menulis “…dua ekor mawas yang dinamai oleh orang putih ‘orang hutang’…”. Ini adalah cikal bakal mendunianya mawas ini.
Lalu, Alfred Russel Wallace pada buku “The Malay Archipelago : The Land of the Orang-Utan and the Bird of Paradise” yang terbit pada tahun 1869 pun mulai mempopulerkan pengunaan istilah “orang utan”.
Beberapa ahli konservasi mengatakan solusi terbaik dari penyelamatan pongo adalah menjaga habitatnya. Tetapi, habitat yang mana dan dimana, tentu harus dipikirkan. Dan, ini tidak semudah ucapan “memulangkan mereka kembali ke rumahya.”
Butuh sosialisasi terus menerus. Sebab, tidak pernah ada cerita lisan tentang pongo di lansekap Bukit Tigapuluh.*