Tringgiling, Jangan Diburu

Ekonomi & Bisnis, Lingkungan & Krisis Iklim

April 13, 2023

Jon Afrizal/Muara Tebo

(Video melengkapi artikel ini)

HUTAN butuh keseimbangan. Jika pembunuh hama alami, seperti tringgiling (: manis java) sudah tidak ada, maka tugas para conservationist dan forester untuk memulihkan hutan yang rusak tentu akan bertambah berat

Satwa dengan panjang 50 centimeter dan memilki berat 10 kilogram ini adalah predator bagi hama semut dan rayap di hutan. Tringgiling yang dapat mengubah bentuk tubuhnya menjadi bulat bundar jika terancam ini, bertugas untuk memakan semut dan rayap yang berada di pohon.

Jika tidak dimakan, maka pohon pun akan rusak keropos dan tumbang. Sehingga, perilaku tringgiling ini dapat me-regenerasi pohon-pohon yang ada terus menerus.

Tringgiling umumnya hidup di hutan dataran rendah. (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)

Seekor tringgiling Jawa, begitu sebutan untuk satwa ini yang tidak hanya hidup di Pulau Jawa saja, dapat memakan hingga 70.000 ekor semut dan rayap per hari. Dapat dibayangkan, jika tringgiling tidak ada, maka hama semut dan rayap tidak dapat dibasmi secara alami, dan dapat meningkatkan resiko pohon-pohon tumbang karena lapuk dimakan rayap dan semut setiap saat.

Selain itu, perilaku tringgiling dikenal suka menggali tanah di hutan untuk mencari semut atau serangga lainnya. Perilaku ini membuat tanah di hutan menjadi ge mbur, dan memperlancar siklus biogeokimia  hutan.

Tapi sisik tringgiling yang bagus, menjadi penyebab satwa ini terus diburu untuk diperdagangkan di pasar gelap internasional. Sepatu boot para cowboys adalah alasan kenapa tringgiling sering diburu. Tentunya dengan bahasa marketing seperti “classic”, misalnya.

Sisik tringgiling kadang juga dijadikan obat tradisional. Sebab sisiknya mengandung zat analgesik.

Pulau Sumatera, tepatnya Provinsi Jambi, dengan kawasan hutan yang luas, adalah areal bagi peburu tringgiling. Di awal 2000-an kasus perburuan tringgiling cukup marak di sini, satu diantaranya adalah di Kabupaten Tebo.

Aku pun menyusuri areal penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) di Kabupaten Tebo, yakni area restorasi ekosistem PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT), beberapa waktu lalu. Yakni tempat yang dulu diyakini sebagai kawasan perburuan tringgiling.

Tiga unit camera trap PT ABT yang dipasang di lokasi yang saling berjauhan telah merekam keberadaan tringgiling di kawasan hutan negara ini pada beberapa bulan terakhir.

Meskipun secara detail belum diketahui jumlah individu tringgiling di sana, pun juga di hutan-hutan lainnya di Provinsi Jambi. Tapi, sebagai perbandingan, data dari  WWF menyebutkan 35.632 individu tringgiling dari Indonesia telah diperdagangakan ke luar negeri pada tahun 1999 hingga 2017.

Dari mulut penduduk lokal, harga per kilogram tringgiling dapat mencapai angka Rp 1,2 juta pada awal 2000-an lalu.  Tapi karena berkurangnya permintaan, harga tringgiling hanya Rp 300 ribu per kilogram pada dua tahun terakhir ini.

Menurunnya harga itu, boleh jadi karena pemerintah Indonesia terpaksa untuk menyetujui bahwa tringgiling masuk ke dalam CITES pada tahun 2017, dengan konsekwensi tidak boleh untuk diperdagangkan secara legal, kecuali tringgiling yang berasal dari penangkaran.

Dalam penyusuran perdagangan tringgiling, kami pun sampai ke seorang pengepul tringgiling buruan. Sebut saja namanya Topa. Peburu umumnya menjual satwa dilindungi itu kepada Topa.

Sayangnya, Topa yang rumahnya berada di pinggir kawasan tidak dapat ditemui karena sedang ke Kota Rimbo Bujang.

Dua hari setelah kunjungan ke rumahnya, kami pun kembali mencari Topa. Nihil, ia tetap belum pulang ke rumah.

Tapi, ada hal yang cukup mengejutkan yang kami temukan. Sadek (65), warga dusun Semerantihan yang berada di bagian tengah blok 2 PT ABT. Sadek mengatakan pernah melihat tringgiling di depan rumahnya pada awal bulan November 2022.

“Tringgiling itu membulatkan tubuhnya seperti bola, dan menggelinding di jalanan dusun kami,” kata Sadek.

Sebelum ada larangan, Sadek sering berburu tringgiling. Tapi, katanya, untuk kebutuhan sendiri dan bukan komersil.

“Daging tringgiling manis dan lembut,” katanya.

Keluarganya acap memasak tringgiling. Diolah menjadi gulai, dengan sedikit santan dan sayuran.

“Tapi sekarang saya tidak berani lagi. Karena sudah dilarang,” katanya.

Berdasarkan penuturan warga dusun, terdapat dua jenis tringgiling. Jenis pertama berkulit kecoklatan dan hidup di rongga pohon.

Sedangkan jenis kedua berwarna lebih muda atau cenderung metalik. Untuk jenis ini, umumnya hidup di tanah.

“Kedua jenis ini sama-sama memakan semut dan rayap,” katanya.

Kecemasan terkait populasi tringgiling yang semakin menurun adalah wajar, mengingat kerusakan hutan akibat penebangan dan perambahan, serta tidak adanya aktor pengendali hama semut dan rayap, akan memperparah kondisi hutan.

Tringgiling merupakan satwa yang dilindungi, berdasarkan UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Dan, dalam beberapa tahun terakhir ini pihak berwajib masih tetap menangkap para pedagang tringgiling di Provinsi Jambi. Dengan artian, perburuan terhadap tringgiling masih tetap terjadi hingga hari ini, dan entah samapai kapan.*

avatar

Redaksi