Jalan Panjang Menuju Universitas

Jon Afrizal, Jambi

REINALDI, warga Talang Mamak kini berkuliah di Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Kota Jambi. Ia berasal dari Dusun Semerantihan Desa Suo Suo Kabupaten Tebo Provinsi Jambi, yang berada di konsesi PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT), areal restorasi ekosistem ke-14 yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Dusun ini ditempati oleh 206 jiwa. Ini adalah kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Penghidupan warga indigenous people itu sangat bergantung kepada hutan. Seperti, meramu tumbuhan dan buah hutan sebagai obat, misalnya. Mereka adalah "penjaga paru-paru dunia". Jika hutan rusak, maka kualitas udara bersih yang selama ini kita hirup, akan sangat menurun. Jauhnya jarak dan beratnya medan yang harus mereka tempuh ke "kehidupan modern" tidaklah sebanding dengan jasa mereka terhadap banyak orang di kota-kota yang menikmati udara bersih. Tapi, hanya sedikit dari mereka yang tersentuh pendidikan. Saat ini, hanya dua orang warga Talang Mamak di Dusun Semerantihan yang mengenyam pendidikan di tingkat universitas. Reinaldi adalah yang pertama. Ia telah berkuliah di fakultas itu selama tiga semester. Melalui program beasiswa, Warsi, sebuah non government organization (NGO) lokal pun mengusulkan Reinaldi untuk berkuliah di Universitas Jambi. "Saya sedang berusaha untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik lagi," kata Reinaldi.

Meskipun berada di pinggir taman nasional, Reinaldi dan anak-anak Talang Mamak memang telah mengenal pendidikan. Walaupun, untuk SD hanya kelas jauh saja. Sementara untuk tingkat SMP, mereka harus ke Desa Suo Suo, dan SMA harus ke Muaro Tebo, ibukota kabupaten Tebo. Jumlah anak usia adalah SD (47), SMP (8), SMA (1) dan Universitas (2). Semua mendapat dukungan dari PT ABT. Meskipun dengan skala yang berbeda-beda. Keseriusan Reinaldi ini yang membuat ia mendapat perhatian Warsi dan PT ABT, dan mengusulkan agar ia berkuliah di universitas negeri. Pagi itu, ketika aku berkunjung ke Dusun Semerantihan ibu dari Reinaldi, Tiayu (60), telah pulang dari hutan untuk mencari hasil hutan di sekitar dusun. Kedua matanya terlihat menahan tetesan air mata yang hendak jatuh, ketika aku menunjukkan photo-photo Reinaldi di kampusnya. "Reinaldi hanya pulang enam bulan sekali," katanya, sama seperti ibu lainnya yang menanggung rindu kepada anaknya yang sedang merantau. Ayah dari Reinaldi, Sadek (65), adalah seorang pekebun karet. Ia memiliki 300 batang pohon karet dengan luasan 1 hektare yang disadap setiap hari dan dijual seminggu sekali ke Desa Suo Suo.

Berkuliah adalah sebuah konsekwensi baru yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh mereka. Terlebih untuk biaya berbagai macam kebutuhan kuliah dan untuk kehidupan sehari-hari di Kota Jambi. "Berat. Saya harus mengeluarkan biaya Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu per pekan untuk kebutuhan Reinaldi," katanya. Jika ingin mengirimkan uang ke Reinaldi, Sadek memberikan uang cash ke Dinaldi, dan Dinaldi lah yang kemudian mentransfer ke rekening teman Reinaldi. Sebab Reinaldi belum memiliki tabungan sendiri. Sebelum mentransfer uang, Sadek ataupun Reinaldi akan berhubungan dengan Dinaldi, pendamping masyarakat Talang Mamak dari PT ABT, yang berada di camp PT ABT, atau sekitar 60 menit perjalanan dari Dusun Semerantihan. Sebab sinyal wifi hanya ada di camp PT ABT. Sementara Dusun Semerantihan belum tersentuh sinyal telepon seluler ataupun internet. Tapi, ia berpikir ini semua untuk masa depan yang lebih baik lagi. Sebab, ia tidak ingin Reinaldi hanya menjadi penyadap karet seperti dirinya saja. Sementara, harga karet saat ini adalah Rp 6 ribu per kilogram. Ia mampu menjual sebanyak 100 kilogram per bulan. "Saya berharap, setelah tamat kuliah nanti, Reinaldi dapat membantu perekonomian keluarga," katanya. Untuk berkuliah, pihak fakultas telah membantu dengan cara meng-gratis-kan SPP. Selain itu, PT ABT pun telah pula membantu sebesar Rp 1, 2 juta per semester.

Tetapi, tetap butuh perhatian dari banyak pihak. Sebab, setiap orang punya hak untuk berkuliah. Terlebih, mereka adalah indigenous people. Gindok (30), Kepala Dusun Semerantihan, mendukung semangat Reinaldi. Ia yang juga adalah kakak kandung Reinaldi meletakan harapan yang besar terhadap Reinaldi. "Reinaldi harus dapat memperbaiki kehidupan dusun kami," katanya. Yang terpikir bagi orang-orang dusun, setelah tamat kuliah, adalah, berkerja dengan berpakaian seragam yang rapi. Juga memiliki penghasilan tetap, dan menjadi orang yang terpandang.

Reinaldi sendiri, telah pula mempraktekkan ilmu yang ia dapatkan di dusunnya. Sebelum memasuki dunia kuliah, ia telah membantu guru di dusun untuk mengajar. Pun kini, setiap pulang ke dusun, ia semakin giat mengajar di sekolah dasar di dusunnya. SD di dusun itu hanya memiliki dua guru. Satu guru yang tinggal menetap di sana, dan satu guru yang berasal dari Desa Suo Suo, yang sesekali datang. Sama seperti kelas jauh pada umumnya. Persoalan klasik yang belum bergeser jauh, sejak kali pertama aku ke dusun ini, di kitaran 2014 lalu. "Saya bercita-cita ingin berkerja di perusahaan. Membantu perekonomian keluarga dan mencerdaskan masyarakat," bergiang di telingaku ucapan Reinaldi. Menjelang petang, kami meninggalkan dusun itu. Dengan pikiran penuh dengan kompleksitas persoalan tentang listrik, internet, gaya hidup sehat, jalan berlumpur, keterpinggiran dan keinginan untuk maju dari setiap anak-anak dusun. Agar mereka sama seperti anak-anak usia sekolah lainnya : mendapatkan pendidikan.* (Photo: Jon Afrizal)