Cerita Pebalok : Kini Bersahabat Dengan Hutan
Inovasi, Lingkungan & Krisis Iklim
March 27, 2023
Junus Nuh/Muara Tebo
HUTAN, pada masa awal reformasi, seperti di Provinsi Jambi, adalah komoditas yang diperebutkan. Jika sebelumnya hanya pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH) saja yang punya izin menebang kayu, maka pada medio 1998 hingga 2002 banyak pihak yang tidak memegang izin juga ikut menebang kayu di hutan.
Saat itu dikenal dengan istilah “illegal logging”. Kendati demikian, setiap pelaku illegal logging memiliki spesifikasi masing-masing. Mereka tidak sembarang menebang kayu, tetapi hanya kayu yang dipesan oleh agen di desa saja.
Tersebutlah Herman (52), mantan pelaku illegal logging di kawasan hutan di Kabupaten Tebo. Ia hanya memilih kayu jenis meranti (: dipterocarpaceae) untuk ditebang.
Ketika ia membuka kisahnya, sewaktu itu di tahun 2005. Ia dan 20 orang “anak ongkak”, sebutan untuk pelaku penebangan kayu di hutan, memiliki “site” di pinggir Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT).
“Para pelaku seperti telah berbagi wilayah. Terlebih jika itu adalah areal HPH, kami pasti menghindar,” kata Herman, di akhir November 2022.
Herman hanya menebang pohon meranti dengan diameter di atas 60 centimeter. Sebab ukuran ini sangat terkait dengan kubikasi kayu yang akan dijual.
Ia dan 10 orang pekerja akan memasuki kerapatan hutan hujan dengan kemiringan hingga 40 derajat. Jika lebih dari itu, ia tidak berani.
“Susah untuk mengeluarkan kayu dari lokasi,” katanya.
Untuk satu kali kerja, ia menghabiskan waktu sekitar satu pekan hingga 10 hari lamanya di dalam hutan. Tentu saja butuh biaya besar untuk “sangu” berupa beras, sarden kalengan atau mie instan.
“Sekitar Rp 1 juta untuk satu kali kerja,” katanya.
Hasilnya, adalah sekitar 20 meter kubik kayu meranti. Yang lalu dijual ke agen di desa dengan harga Rp 650.000 per kubik.
Banyak rintangan yang dihadapi. Mulai dari areal yang sulit hingga bertemu si raja hutan. Belum lagi urusan “petak umpet” dari pengawasan petugas.
“Terdapat sejenis aturan tak tertulis. Jika kami hanya mengambil kayu, maka cukup ambil kayu saja. Terkait satwa, kami tidak akan melakukan perburuan,” katanya.
Pernah suatu ketika, seekor harimau berada tepat di belakang mereka. Kala itu siang hari dan mereka sedang menebang kayu dengan menggunakan chainsaw.
Rasa takut jelas ada. Sebab ini adalah wilayah si Datuk Belang (: panthera tigris). Sekitar 15 menit sang Datuk mengawasi mereka, seperti orang ber-dehem atau mengaum pelan.
Entah keberanian darimana yang datang, akhirnya, Herman berkata, “Datuk, jangan ganggu kami. Kami hanya sedang mencari uang untuk anak bini.”
Tak berapa lama, si Datuk pun pergi berlalu.
Bagi masyarakat Melayu, Harimau adalah satwa yang dihormati. Banyak terkisah cerita rakyat tentang sosok penguasa hutan itu.
Sebagai tokoh yang dihormati, Herman pun tak habis pikir jika ada yang memburu satwa yang dilindungi ini.
“Akan dapat sial (petaka) di kemudian hari,” katanya.
Aktifitas illegal logging ia jalani sekitar lima tahun lamanya. Berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Sama seperti pengalaman para “pebalok” lainnya, untung tak tampak dan hanya hutang yang bertambah dari hari ke hari.
“Saya berhenti bebalok pada tahun 2010,” katanya.
Ia pun kemudian mengorganisir masyarakat untuk mendapatkan hak legal. Hingga ketika PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT) ditunjuk sebagai pemegang konsesi restorasi ekosistem, ia pun menerima usulan skema kemitraan perhutanan sosial.
Caranya adalah dengan membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH), yakni KTH Bukit Keramu Alam.Lalu, ia dan 18 anggota kelompok pun mendapat hak untuk mengelola lahan seluas 80 hektare.
“Kami sudah bosan dengan kegiatan illegal. Jika memungkinkan, kenapa tidak. Toh negara telah mengakui hak kami. Meskipun tidak untuk memiliki lahan,” katanya.
Selain tanaman hutan, lahan yang dikelola Kelompok Tani Jutan (KTH) Bukit Keramu Alam ini kini ditanami dengan berbagai macam jenis tumbuhan. Seperti aren, jengkol, pete, durian dalan lainnya. Dalam dua tahun ke depan, jengkol dan durian telah dapat dipanen.
Community Development PT ABT, Habibie mengatakan hingga saat ini terdapat empat KTH yang telah menandatangani nota kerjasama. Yakni KTH Bukit Keramu Alam, Alam Tani Sejahtera, Alam Bukit Sejahtera, dan Sungai Rotan Maju.
Total anggota adalah sekitar 100 orang.
Habibie mengatakan KTH adalah resolusi konflik yang dipilih PT ABT. Sebab konflik berkepanjangan akan merugikan banyak pihak, dan juga tidak baik bagi upaya restorasi hutan itu sendiri.
“Persoalan utama dalam kerjasama perhutanan sosial di sini, adalah komunikasi antar perusahaan dengan masyarakat,” kata Habibie.
Pihaknya harus ekstra hati-hati untuk menjelaskan kepada masyarakat yang telah bosan dengan janji-janji perusahaan sebelum hadirnya PT ABT. Menjelaskan perbedaan HPH dengan restorasi ekosistem tidaklah gampang.
“Terlebih ketika mendengar istilah PT (perusahaan), masyarakat cenderung antipati,” katanya.
Selain urusan janji-janji manis perusahaan sebelumnya, mereka juga berurusan dengan para cukong tanah.
“Janji-janji untuk mendapatkan lahan telah lama mereka dengar. Tetapi, masyarakat butuh bukti. Jika terbukti, maka mereka pun akan berkerjasama,” kata Habibie.
Rusaknya hutan adalah persoalan lama yang hingga kini belum terselesaikan. Bicara data di atas kertas, tentu tidak dapat dibandingkan dengan kondisi realita di lapangan.
Areal restorasi ekosistem ke-14 ini adalah buffer zone TNBT. Dengan tingkat kerusakan yang mencapai 30 persen dari total luasan ketika PT ABT ditunjuk sebagai pemegang konsesi, senyatanya tidaklah gampang untuk memperbaiki hutan yang telah dirusak.
Tetapi, jika dibiarkan tetap rusak, maka justru TNBT yang akan dirusak.
“Skema restorasi ekosistem sangat jauh berbeda dengan HPH. Kami tidak memanfaatkan hasil hutan berupa kayu untuk kepentingan komersil,” kata Habibie.*