Sunggal, Penguasaan Lahan Berujung Perang

Hak Asasi Manusia

November 12, 2024

Jon Afrizal

Datuk Badiuzzaman Surbakti, penguasa Urung Serbanyaman (Kerajaan Sunggal), sekitar tahun 1870. (credits: KITLV)

RAJA Sunggal, Datuk Sri Diraja Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti, menikahkan adiknya bernama Puteri Nan Baluan Beru, dengan Sri Paduka Gocah Pahlawan dari Kesultanan Deli pada tahun 1632. Pernikahan ini adalah bentuk dukungan dari Kerajaan Sunggal untuk berdirinya Kesultanan Deli.

Status Kerjaan Sunggal, dalam perkawinan ini, adalah Kalimbubu (mertua). Dan Kesultanan Deli adalah Anak Boru (menantu).

Dalam adat Batak, Kalimbubu memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Dimana secara adat, Anak Boru harus “melayani” Kalimbubu.

Namun, justru dukungan itu berbalik. Kesultanan Deli berpihak kepada pemerintah Hindia Belanda, untuk mendapatkan keuntungan. Sehingga terjadilah “Perang Sunggal” pada tahun 1872 hingga 1895.

Kerajaan Sunggal (Urung Serbanyaman) berada di wilayah Deli yang telah masuk Islam. Kini, wilayah ini termasuk ke dalam wilayah Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan.

Datuk Badiuzzaman Surbakti lahir di Sunggal pada tahun 1845. Ia adalah putra dari perkawinan Datuk Abdullah Ahmad Sri Indera Pahlawan Surbakti dengan Tengku Kemala Inasun Bahorok.

Surbakti disebut juga sebagai Karokaro Surbakti. Ini adalah salah satu marga Batak Karo yang termasuk ke dalam induk marga Karokaro. Wilayah ulayat marga Surbakti meliputi wilayah Surbakti, Torong, Gajah, Jumaraja, Pancurbatu, Kutalimbaru, hingga ke Langkat.

Arsip Belanda menyebut Perang Sunggal sebagai Batak Oorlog (Perang Batak). Penyebutan ini, mungkin, karena arena pertempuran dalam perang ini berada di pegunungan yang didiami oleh masyarakat Batak – Karo.

Meskipun, seharusnya, dapat juga disebut dengan “Perang Karo”.

Perang Sunggal, mengutip narasisejarah, terjadi karena ambisi Kesultanan Deli untuk menguasai lahan orang-orang Sunggal. Ini terjadi setelah meningggalnya Datuk Abdullah Ahmad Surbakti, raja Sunggal, pada 1857, ayah dari Datuk Badiuzzaman Surbakti.

Setelah ayahnya mangkat, dalam usia 12 tahun, Datuk Badiuzzaman Surbakti pun menjadi penguasa Urung Serbanyaman (Sunggal).

Belanda ternyata ingin menguasai daerah Deli. Ini terjadi setelah Tractaat Siak yang ditandatangani oleh Sultan Siak dan pemerintah Hindia Belanda pada 1 Februari 1858.

Perjanjian itu menyebutkan, bahwa beserta daerah-daerah taklukkannya sampai batas Tamiang yang berbatasan dengan Aceh, berada di bawah perlindungan pemerintah kolonial Belanda.

Sementara itu, Perjanjian Kesultanan Deli dengan pihak Belanda pun mempertegas kekuasaan Belanda terhadap wilayah Deli. Namun, Kesultanan Deli ikut memanfaatkan perjanjian itu untuk dapat memperluas lahan milik mereka. 

Masjid Raya Datuk Badiuzzaman Surbakti di Jalan PDAM Sunggal nomor 1, Kota Medan. Masjid ini dibangun oleh Datuk Badiuzzaman Surbakti pada tahun 1885 (1306 Hijriah). (credits: google maps)

Akibatnya, Belanda memiliki hak untuk dapat mendirikan perkebunan di lahan Kesultanan Deli. Pemodal Jacob Nienhuys pun mulai menanam tembakau di Deli pada tahun 1863.

Nienhuys mendapat konsesi tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu adalah 0,70 hektare) di dekat Sungai Deli dari Sultan Deli, Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam Shah, sultan Deli ke-8.

Nienhuys mendirikan Deli Maatschappij. Dengan lama konsesi mencapai 22 tahun, dan yang kemudian menjadi 99 tahun.

Luasnya tanah yang diberikan Sultan Mahmud Al Rasyid kepada Nienhuys meliputi wilayah Mabar, Pulau Berayan, Gelugur, Kesawan, Sukaraja, Sungai Mati, Kampung Baru dan Deli Tua dan terus bertambah luasnya dari tahun ke tahun.

Karl J. Pelzer dalam buku Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863-1947 meyatakan orang-orang Suku Karo merasa telah dilanggar tanah adatnya.

Mengutip matapadi, di dalam akte konsensi pada Tractaat Siak 1858 yang menjadi landasan hukum Nienhuys, tidak ada penjelasan bahwa tanah-tanah yang sudah menjadi pemukiman (kampung) atau perladangan, masuk sebagai tanah yang dikonsensikan.

Realitanya, tanah-tanah itu pun turut pula terampas dan dijarah para pengusaha perkebunan Belanda itu. Tentu dengan dalih mereka telah mendapat perlindungan hukum dari Sultan Deli.

Sejak awal melakukan usaha membuka perkebunan, para investor beranggapan bahwa tanah-tanah itu milik Sultan Deli. Mereka menganggap tidak memiliki permasalahan yang akan berdampak secara kultural, dengan masyarakat Karo.

Sedangkan Sultan Deli, menganggap semua tanah wilayah kekuasaannya adalah hak miliknya. Sehingga dapat diberikan atau disewakan kepada siapapun sesuai dengan kehendaknya.

Berdasarkan pernikahan antara pihak Kerajaan Sunggal dan Kesultanan Deli, maka dalam konteks ini, Kesultanan Deli dianggap telah durhaka karena berupaya menundukkan Sunggal sebagai wilayah bawahan. Dan juga diketahui, bahwa sebagian wilayah Deli adalah wilayah yang diberikan oleh Kerajaan Sunggal sebagai ikatan kekerabatan di masa sebelumnya.

Datuk Badiuzzaman Surbakti pun mengangkat senjata, yang didukung oleh pamannya, Datuk Mahini Surbakti (Datuk Kecil). Lawannya adalah Belanda, dan dalam hal ini, juga, Kesultanan Deli.

Masyarakat Sunggal mendukungnya, dan terciptalah militansi dalam memerangi Belanda. Markas mereka berada di Kampung Gajah atau Sitelu Kuru Tanah Karo.

Memahani kondisi, Datuk Badiuzzaman Surbakti melakukan perang gerilya, dan menghindari kontak senjata secara langsung.

Perjuangan Datuk Badiuzzaman Surbakti mendapat dukungan dari pejuang Karo yang lain. Kiras Bangun, namanya. Ia dijuluki Garamata (Bermata Merah).

Bujuk rayu dan tipu muslihat pun dilakukan pemerintah kolonial. Pada tahun 1894, pemerintah Hindia Belanda menawarkan perdamaian kepada Kerajaan Sunggal.

Datuk Badiuzzaman diajak berunding dengan Gubernur Jenderal Carel Herman Aart van der Wijck di Batavia. Namun, justru, kala itu, gubernur jendral menyatakan rakyat Sunggal harus meminta maaf atas perlakuan mereka yang telah berani melawan pemerintah Hindia Belanda.

Datuk Badiuzzaman Surbakti, yang sewaktu itu didampingi adiknya, Datuk Alang Mohamad Bahar, dan sekretarisnya Datuk Mahmood, serta ajudannya Da’im, menolak tunduk.

Akibatnya, pada tanggal 20 Januari 1895 dengan Besluit Gubernur Jenderal Belanda nomor 3, mereka dihukum buang seumur hidup, setelah sebelumnya ditahan di penjara Bengkalis.

Datuk Badiuzzaman Surbakti dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Dan adiknya Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti dibuang ke Banyumas, Jawa Tengah. Hingga akhir hayatnya, keduanya berada di pembuangan dan meninggal di sana.

Makam Datuk Badiuzzaman Surbakti berada di kompleks pemakaman Pamoyanan, Cianjur.

Sejatinya Perang Sunggal belum lah usai. Perlawanan tetap berlanjut, dipimipin oleh Nabung Surbakti. Ia dan pasukannya, berperang melawan Belanda di Taluk Banua dan di Tanah Karo.

Ia gugur dalam peperangan, pada tanggal 14 Agustus 1915. Jasadnya dimakamkan di Kampung Kuala, Kecamatan Tiga Binanga, Kabupaten Karo.

Prof. H. Ahmad Samin Siregar, mengutip humbahas, mengatakan “Perang Sunggal” adalah peristiwa sejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaannya. Perang ini adalah perjuangan rakyat Sunggal dalam mempertahankan tanah tumpah darahnya dari penguasaan tangan penjajahan Belanda.

Wilayah Sunggal (Serbanyaman) yang sangat subur ketika itu ingin dikuasai oleh perusahaan perkebunan Belanda untuk ditanami tembakau. Penguasaan itu tanpa seizin raja dan rakyat Sunggal sehingga timbullah peperangan.

Perang ini merupakan salah satu perang yang terbesar sehingga pemerintah Hindia Belanda harus mengeluarkan “Medali Khusus” untuk menghargai para pemimpin perang ini dari pihak mereka. Hal itu diketahui dari catatan yang terdapat di Museum KNIL, Bronbeek, Belanda.

Pemimpin perang ini, sekaligus Raja Sanggul, Datuk Badiuzzaman Surbakti terbukti telah menunjukkan nilai-nilai patriotisme, nasionalisme, dan rasa cinta tanah air. Untuk itu, sudah selayaknya Datuk Badiuzzaman Surbakti diangkat menjadi Pahlawan Nasional.*

avatar

Redaksi