Candu Di Sumatra
Hak Asasi Manusia
August 19, 2024
Jon Afrizal
Sungai Batanghari pada Midden Sumatra Expeditie tahun 1877 hingga 1879. (credits: Tropen Museum)
Candu atau madat, di Sumatra pada masa lalu, telah membuat banyak orang ketagihan. Ini terjadi di era penambangan emas di akhir abad ke-17. Wilayah-Wilayah yang tercatat sebagai areal penambangan emas, diantaranya, adalah Pangkalan Jambu, Limun dan Batang Asai yang kini menjadi bagian Provinsi Jambi.
WILLIAM Marsden, dalam History of Sumatra mencatatkan hal-hal yang ia lihat disepanjang perjalannnya, ketika ia menyusuri pesisir barat hingga bagian tengah Sumatera, di abad ke-17.
Pria yang berasal dari Dublin ini adalah pegawai sipil di East India Company (IEC). Pada usia 16 tahun, yakni tahun 1717, ia dikirim ke Bencoolen (Bengkulu), Pulau Sumatra.
Di Bengkulu, ia dipromosikan sebagai sekretaris umum pemerintah. Di sana, ia mendapatkan pengetahuan tentang bahasa Melayu dan adat istiadat setempat.
Berbekal pengetahuan ini, serta catatan selama bertugas, setelah kembali ke Inggris pada tahun 1779, Marsden menulis buku History of Sumatra (1783). Buku ini sendiri dipublikasi pada tahun 1810.
Apapun yang ia catat, harus juga dipahami, adalah sesuai dengan horizon-nya sebagai seorang berlatarbelakang Dublin dan pejabat IEC. Sehingga, pemahamannya terhadap situasi dan kondisi kala itu, juga mengikuti latarbelakang itu.
Menurut pengamatannya, masyarakat Pulau Sumatra, terutama masyarakat Melayu, sama seperti banyak masyarakat timur lainnya, sangat terikat dengan kebiasaan menghisap opium (candu).
Poppy (tumbuhan opium) tidak tumbuh di pulau Sumatra.
Tapi, candu setiap tahun diimpor dari Benggala dalam jumlah besar, dalam peti berisi masing-masing seratus empat puluh pon. (1 pon setara dengan 0,4 kilogram). Opium berbentuk seperti kue seberat lima atau enam pon, dan dikemas dengan daun kering.
Warnanya lebih gelap, dan mungkin, efeknya lebih kecil jika dibanding dengan opium dari Turki.
Dengan kondisi dikemas, maka, opium akan tetap bagus dan dapat dijual selama dua tahun. Namun setelah lewat dari dua tahun, opium akan menjadi keras, dan dan harga jualnya jadi turun drastis.
Sekitar 150 peti candu mendarat setiap tahun di pantai barat Sumatra. Selanjutnya, peti-peti itu dibeli dengan harga rata-rata 300 dollar per peti.
Lalu, dan opium akan dijual lagi dalam jumlah lebih kecil. Satu peti opium, selanjutnya, dibagi menjadi lima atau enam bagian.
Namun, pada saat terjadi kelangkaan yang luar biasa, ia mengetahui, bahwa candu akan dijual seharga berat lempengan perak. Sehingga, satu peti akan dihargai lebih dari 3.000 dollar.
Ia pun mencatat cara orang mengkonsumsi opium kala itu. Senyatanya, di tulisan ini, tidak etis untuk dituliskan.
Namun, yang patut diketahui, adalah, ia mencatat bahwa, penggunaan opium di kalangan orang Sumatra adalah sama seperti penggunaan minuman keras yang memabukkan negara-negara lainnya. Yakni menjadi sejenis kemewahan yang diadopsi oleh semua tingkatan sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka.
Dan, ketika sudah menjadi kebiasaan, hampir mustahil untuk melepaskan diri. Sehingga membuat orang menjadi ketagihan.
Kala itu, tulisnya, bahkan ketika penggunaannya tidak dibatasi, tidak banyak masyarakat kelas ekonomi menengah dan bawah yang menjadi penggunanya. Itu juga, yang terjadi, kala petani lada sedang merayakan panen; dimana para petani tidak menggunakan candu.
Sebagai pegawai pemerintah Inggris yang berkuasa pada saat itu, ia tampaknya mencemaskan dampak yang ditimbulkan dari penggunaan candu oleh masyarakat terhadap hukum yang diterapkan oleh pemerintah Inggris. Meskipun, secara fakta, praktek penggunaan candu pasti merugikan kesehatan pelakunya.
Ia acapkali melihat para laskar dari Bugis menggunakan candu secara berlebihan. Akibatnya, tubuh mereka menjadi kurus. Mereka juag seringkali melanggar hukum.
Sementara, para pedagang emas dari Limun dan Batang Asai adalah kelompok orang yang aktif dan pekerja keras. Namun, mereka tetap bebas menggunakan opium.
Sesungguhnya, kelompok masyarakat dari dari Limun dan Batang Asai ini adalah orang-orang yang paling sehat dan paling kuat yang pernah ia temui di Pulau Sumatra.
Konsekwensi dari penggunaan candu yang berlebihan, katanya, berhubungan dengan sifat-sifat destruktif. Atau, efek “kegairahan” dari “kegilaan lain” yang ditimbulkannya. Dan juga, banyak pelancong yang melakukan hal serupa.
Ada banyak alasan, meskipun terlalu dini, untuk meyakini bahwa; pertengkaran, pembunuhan, dan pemberontakan, bermula dari penggunaan candu. Pada awalnya, bagi pemerintah Inggris, alasan ini hanya dianggap sebagai gagasan kosong saja.
Tetapi, ini benar-benar terjadi. Terbukti, bahwa mereka yang mabuk akan sulit diatur hawa-nafsu dan tingkah polahnya.
Juga, seringkali hal ini disebabkan oleh faktor penindasan yang tidak berkeadilan yang mereka alami.
Bahkan, ia juga pernah melihat, seorang lelaki Nias yang menggunakan opium. Ketika pria itu diperlakukan dengan sangat kasar oleh majikannya, seorang perempuan Portugis, maka pria itu mengamok sejadi-jadinya.
Petugas menembakkan peluru ke arahnya, lalu, menyeret pria itu, dengan tubuh penuh luka.
Di pantai barat Sumatra, sekitar 20.000 pon candu dikonsumsi setiap tahunnya. Namun, jumlah tingkat kejahatan tidak sebanyak itu.
Memang benar bahwa orang-orang Melayu, ketika dalam keadaan perang, mereka bertekad melakukan sesuatu yang berani, membentengi diri mereka dengan sedikit penggunaan opium agar mereka tidak takut terhadap bahaya. Seperti juga orang dari negara lain yang menganggap perang adalah sebuah lakon drama.
Sehingga, harus diperhatikan, bahwa, tindakan amok itu bukanlah efek dari kecanduan.
Mereka melakukan tindakan pencegahan yang sama, sebelum akhirnya digiring ke eksekusi. Tetapi, pada saat yang sama, melakukan tindakan negatif tanpa pikir panjang.
Adalah nalar, untuk menyimpulkan bahwa pencapaian-pencapaian optimis yang membuat orang-orang Melayu terkenal dalam sejarah, harus juga dilihat dari sini. Dan, dapat dikaitkan dengan “keganasan alami”, sebagai bagian dari watak orang Melayu.
Atau, juga karena pengaruh antara mereka sendiri. Dan, bukan karena penggunaan opium.
Sementara, para prajurit IEC yang menggunakan opium, umumnya berdalih agar mereka dapat terus berjaga di pos mereka pada malam hari. Meskipun, IEC telah mengatur jadwal mereka untuk tidur yang sesuai dengan kuantitasnya.
James R Rush, profesor sejarah di Arizona State University, dalam Opium To Java menyatakan bahwa bandar-bandar opium, sebagian besar didominasi oleh elit Cina di Jawa terjadi karena konsensi dari pemerintah kolonial Belanda. Dimana, penyeludupan dan pasar gelap adalah unsur pendorong yang penting dalam perdagangan opium kala itu.
Kondisi yang paling berbahaya, tulisnya, adalah ketika satu dari 20 orang di Pulau Jawa adalah pengguna candu.
Di Pulau Jawa, candu telah diketahui hadir pada abad 17. Yakni ketika Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan candu sebagai komoditas perdagangan yang penting untuk dimonopoli serta menjadi objek pajak.
Bahkan, Raja Paku Buwono IV di Surakarta (1788–1820) pernah menuliskan ajaran moral dalam syair panjang Wulang Reh (ajaran berperilaku benar). Satu syairnya adalah penggambaran dari pengguna candu sebagai pemalas dan orang yang bersikap masa bodoh, yang hanya gemar tidur di bale-bale untuk mengisap candu.
“Jauhi madat: madat tidak baik untukmu semua, menghisap madat itu tidak baik.” Demikian artinya, kira-kira.
Sejak penerapan politik etis pada 1880, pemerintah Belanda berangsur-angsur mulai melakukan pengurangan dan akhirnya memberhentikan dan melarang perdagangan dan peredaran candu di Hindia Belanda.*