Tentang Pemimpin : “Jangan Besandar Di Kayu Lapuk”
Daulat
May 22, 2024
Jon Afrizal
Patung Adityawarman di Museum Siginjai, Kota Jambi. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)
“Batangnyo besak tempat besandar,
Daunnya rimbun tempat belindung ketiko hujan,
Tempat beteduh ketiko panas.
Akarnya besak tempat besilo.
Pegi tempat betanyo,
Balik tempat beberito.”
PILKADA sudah dekat. Pilih lagi, lagi lagi, memilih. Pemimpin jenis apa yang dikehendaki rakyat?
Sejak dari masa lampau, Jambi telah memiliki karakter yang ideal bagi seorang pemimpin. Semua itu tertuang dalam Seloko Adat. Yakni, petuah-petuah orang-orangtua yang kemudian diberlakukan sebagai adat tradisi di lingkup masyarakat Melayu Jambi.
Sebuah tradisi, yang berakar dari kosmologi masyarakat Melayu Jambi. Juga termasuk; alam raya dan perjalanan pahit getirnya sejarah Jambi.
Pemimpin itu, menurut petuah lama, adalah ibarat sebatang pohon. Seperti pada bait-bait pembuka di artikel ini.
Dimana, pohonnya yang besar adalah sebagai tempat bagi banyak orang untuk bersandar. Bersandar di sini, dapat diartikan dengan menggantungkan hidup. Atau lebih tepatnya, terjaminnya mata pencarian dan perekonomian. Sehingga negeri menjadi makmur.
Seperti prasa, “Jangan besandar di kayu lapuk.” Dimana, jika kayu telah lapuk dimakan rayap, maka tidak ada artinya lagi. Jika dipaksa bersandar di sana, maka kayu akan roboh, dan orang yang bersandarpun akan jatuh terjerembab.
Jika dikaitkan dengan perekonomian, maka terjaminnya hak untuk berkegiatan ekonomi. Baik itu melalui keputusan dan kebijakan, dan implementasinya di lapangan.
Selain itu, kanopi daunya yang lebat dan rimbun dapat menjadi tempat untuk berlindung dari air hujan yang turun. Meskipun, senyatanya, semakin tinggi sebuah pohon, maka akan semakin besar peluangnya untuk menjadi incaran petir dan geledek pada saat Climate Change saat ini. Berhati-hatilah.
Kanopi daunnya juga dapat menjadi tempat berteduh ketika cuaca panas dan serangan Heat Stroke menjadi-jadi saat ini. Sama seperti sebuah kota, yang, jika memiliki banyak pohon, maka akan terasa adem bagi sesiapa saja.
Seperti sebuah pohon, semakin besar, maka akarnya akan muncul keluar, dan berada di atas permukaan tanah. Diantara akar-akar yang menyebar ke delapan penjuru mata angin itu, dapat dimanfaatkan orang untuk besilo.
Besilo (: bersila), dapat diartikan sebagai tempat untuk duduk berkumpul, melakukan rapat dan bermufakat. Sehingga, artinya, pemimpin dapat menjadi penengah dalam setiap perselisihan yang terjadi di tengah masyarakat.
Selain itu, besilo, dalam kasanah tua, jika merujuk kepada masa Hindu-Budha yang pernah ada sebelum Islam masuk ke Jambi, adalah kata lain dari duduk bertapa. Seiring waktu berjalan, maka besilo, dapat diartikan sebagai beragama.
Sehingga pemimpin diharap dapat menjamin kebebasan untuk beragama. Meskipun mayoritas penduduk Jambi adalah penganut Islam, tapi dengan adanya agama dan kepercayaan selain Islam, diharap pemimpin dapat memastikan kebebasan menjalankan agama bagi setiap orang, sama seperti jaminan dari negara atas hak dasar itu.
Sebagai pemimpin, maka dapat memberi arahan pada setiap orang yang akan pergi bertugas, atau mencari penghidupan. Ia, pemimpin, harus menceritakan baik dan buruknya tempat tujuan itu, dan mengembalikan pilihannya kepada mereka yang akan pergi.
Dengan arti, seorang pemimpin hanya memberi arahan, dan tidak memaksa seseorang untuk pergi. Semisal, mencari penghidupan lain ke negeri lain. Secara keinginan perseorangan.
Lain hal, jika itu adalah tugas dari negeri. Maka, adalah wajib dijalankan, dan pemimpin harus tegas untuk memberi perintah.
Terdapat hubungan kemasyarakatan antar pemimpin dan rakyat yang dipimpin, di sini.
Maka, setelah tugas itu, terlaksana, yang bertugas pun wajib untuk melaporkan apa yang ia kerjakan. Sejenis cara untuk mengkontrol pelaksanaan tata negeri, dan mengawasi kinerja pejabat-pejabat negeri.
Seloko berasal dari masa lalu, yang dimulai dari masa kerajaan; masa Hindu-Budha, lalu masa Islam. Tetapi tetap dapat diterapkan di alam demokrasi saat ini.
Meskipun Jambi, di masa lalu dipimpin oleh raja dan sultan. Dan kini dipimpin oleh seorang gubernur, yang diteruskan ke walikota atau bupati. Hingga ke pemerintahan tingkat terendah, yakni Rukun Tetangga (RT).
Sebab, segala sesuatu yang telah mengakar, tidak semestinya untuk ditebang. Sesuatu yang baik yang telah ada sejak dulu, sudah semestinya tidak dihilangkan.
Sehingga, bukan kami yang kecik ingin menggurui. Yang tuo tetap kami tuokan. Sepuluh jari disusun, jiko salah mohon dimaafkan.*