Kedatangan Orang Turki Ke Jambi

Daulat

March 8, 2024

Jon Afrizal

Kapal Perang Turki yang membantu Atjeh berperang melawan Portugis, tahun 1566 hingga 1567. (credits : Sicupak)

“Dan tatkala mati Tun Telanai, ini Jambi tidak beraja lagi,

Maka turun anak raja Pagaruyung ke Jambi,

Nama Tuan Putri Selara Pinang Masak

Menjadi raja di tanah Jambi yang bernegri di Ujung Jabung,

Nikah dengan Datuk Paduka Berhala, anak raja dari Setambul menjadi raja.”

KEDATANGAN orang Turki ke Jambi, acap muncul pada naskah-naskah lokal dan sejarah lisan masyarakat Jambi. Kisah tentang orang Turki ini tidak hanya terkait dengan penyebaran agama Islam saja. Tetapi, diperkirakan juga menjadi “akar” berdirinya kesultanan Jambi dan silsilah keturunan raja-raja Jambi.

Kisah ini dapat dilihat pada “Ini Sajarah Kerajaan Jambi dari Abad ke-700 Hijrah”  yang merupakan versi lengkap dari “Undang-Undang Piagam Pencacahan Jambi”,  yang ditulis oleh orang yang sama, Ngebih Sutho Dilogo.

Kisah orang Turki dalam sejarah Jambi tercatat pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Diceritakan juga tentang kebesaran Kerajaan Turki (Utsmaniyah). Raja Turki memiliki tiga orang anak, satu diantaranya, Ahmad Barus II, yang terdampar di Pulau Berhala yang pada saat itu berada di bawah kekuasaan Putri Selaras Pinang Masak.

Ali Muzakir, peneliti dari UIN STS Jambi, menyimpulkan bahwa masyarakat Jambi lebih mengenal Ahmad Barus II sebagai Datuk Paduka Berhala. Sebab pada situs makamnya di Pulau Berhala tertulis bahwa Ahmad Barus II atau Datuk Paduka Berhala diduga datang ke Jambi pada tahun 864 Hijriah (1460 Masehi) dan wafat pada tahun 886 Hijriah (1480 Masehi). Datuk Paduka Berhala menikah dengan Putri Selaras Pinang Masak.

Sehingga, berdasarkan naskah itu, Datuk Paduko Berhala adalah penyebar agama Islam di Jambi. Perkawinannya dengan Putri Selaras Pinang Masak dan Datuk Paduka Berhala melahirkan empat orang anak, yakni; Orang Kayo Pingai, Orang kayo Kedataran, Orang Kayo Hitam, dan Orang Kayo Gemuk.

Dari keempat anaknya, Orang Kayo Hitam dipandang sebagai tokoh yang paling berperan dalam penyebaran Islam hingga  ke pedalaman Jambi.

Ini tertulis dalam lirik lagu dengan judul sama, yang digubah oleh Firdaus Khatab, seorang seniman Jambi.

“Ayah bernamo Datuk Berhalo

Turunan suci asal Bagindo

Putri Pinang Masak namo ibunyo

Dari Pagaruyung negeri asalnyo”

Pada saat Islam menyebar dari jazirah Arab ke Nusantara, justru ingatan kolektif masyarakat Jambi lebih banyak mengisahkan tentang peran Orang Turki yang menyebarkan agama Islam di Jambi, sekitar abad ke-18 hingga abad ke-20. Bahkan, selanjutnya menjadi akar dari kesultanan Islam di Jambi.

Terkait “Undang-Undang Piagam Pencacahan Jambi”,  Ngebih Sutho Dilogo mengaku ia adalah keturunan dari Datuk Paduka Berhala melalui Orang Kayo Pingai.

Naskah “Undang-Undang Piagam Pencacahan Jambi”  ini ditulis pada 1 Rabi’ al-Akhir tahun 1317 Hijriah (1900 Masehi). Penulisan ini, menurutnya, atas perintah Sulthan Thaha Saifuddin.

Jika mengacu pada tahun 1900, maka naskah ini ditulis atau dilengkapkan sekitar empat tahun sebelum wafatnya Sultan Thaha. Sultan Thaha wafat, berkemungkinan di Sungai Aro, Tebo Ilir sekitar tahun 1904.

Sementara Kesultanan Islam Djambi “dibekukan” oleh pemerintahan Belanda pada tahun 1906. Setelah sultan di-demisioner-kan, Belanda mengubah paksa pemerintahan lokal menjadi residentie, yang artinya adalah bagian dari wilayah pemerintahan Belanda.

Jika mengacu pada “Undang-Undang Piagam Pencacahan Jambi”,  yang terdiri dari tiga babak cerita sejarah; yakni sejak dari masa Dewa Sakarabah  di jaman dahulu kala, lalu Tun Telanai di masa Hindu, dan selanjutnya Puteri Selaras Pinang Masak di era Islam.

Terdapat situs makam di Pulau Berhala, dimana pada makam itu tertera angka 886 Hijriah (1482 Masehi). Jika itu adalah makam Ahmad Barus II atau Datuk Paduka Berhala yang terdampar di Pulau Berhala, maka diperkirakan ia meninggal pada tahun itu.

Teramat ribet  untuk mengaitkan ingatan kolektif dengan catatan sejarah. Tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa Turki Utsmaniyah juga dikenal di kasanah Minangkabu dan Aceh Gayo.

Dan, situasi ekonomi politik dunia kala itu, dimana Turki Utsmaniyah adalah pelindung dunia Timur dan Islam, terutama dari Portugis. Pelindung yang menjamin keberlangsungan perdagangan di jalur-jalur perdagangan laut yang menyebar dari jazirah Arab ke Asia, dan juga sebaliknya.

Hubungan ini, yang kemudian terjadi di era Sultan Thaha memerintah. Ketika perang antara 1857 hingga 1904 terjadi di Jambi, Kesultanan Jambi pun membangun hubungan militer, yang tentunya lebih luas dari hubungan dagang saja, dengan Turki Utsmaniyah.

Keterdesakan Sultan Thaha, yang menyingkir ke pedalaman, membuat ia bersurat kepada Sultan Turki beberapa kali. Agar wilayah Kesultanan Jambi tidak dikuasai Belanda, maka Sultan Thaha meminta agar Jambi dijadikan sebagai negara boneka (vassal state) dari Turki.

Vasal state adalah negara yang sepenuhnya berada di bawah kekuasaan negara lain secara internasional. Jika vasal state berada dalam bahaya dan diserang negara lain, maka negara “pelindung” akan membantu vasal state itu.

Tercatat juga, ia meminta bantuan Turki untuk berperang melawan Belanda. Tetapi, sudah diketahui umum, pada saat itu, bahwa ketika sekelompok kraton Islam terdesak oleh Belanda, maka bantuan akan diminta dari Turki. Ini tentu berhubungan dengan nama besar Utsmaniyah yang disebutkan di atas, dan juga kepercayaan terhadapnya.

Sultan Thaha menggunakan penghubung yang berada di Tumasik (Singapura). Temasek, atau Tumasik kala itu telah menjadi wilayah Inggris.

Namun, terjadi ketidaksinkronan, dimana tidak ada satu bantuan pun yang sampai ke Sultan Thaha. Beberapa kabar menyebutkan bantuan itu telah digunakan untuk kepentingan pribadi (dikorupsi) oleh para penghubung.

Beberapa dari mereka, yang dinyatakan sebagai “orang jahat”, telah pula ditangkap polisi Belanda.  

Ingatan kolektif juga masih mencatat kisah-kisah ini. Meskipun, rekonstruksi  diperlukan. Untuk mempadukan antara; ingatan kolektif dan tradisi bertutur dengan keilmuan sejarah.*

avatar

Redaksi