Ketika Belanda Masuk Ke Moeara Tebo

Daulat

February 28, 2024

Jon Afrizal

Situs Makam Belanda di Muaro Tebo. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)

SEPERTI banyak wilayah di Provinsi Jambi, tak banyak catatan tertulis dari masyarakat lokal yang dapat digunakan untuk penulisan sejarah. Kecuali, mungkin, cerita-cerita lisan, yang jika tidak teliti, dapat menjebak dalam pemahaman yang bertumpu pada “kira-kiralogi” dan “cocokologi”.

Terdapat dua versi tentang asal usul nama “Tebo” itu sendiri, dan semuanya berasal dari cerita lisan. Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat terhadap budaya bertutur lisan, dibutuhkan penelitian lanjutan untuk memastikannya sesuai keilmuan sejarah, sosiologi dan antropologi dan seterusnya.

Versi pertama, adalah Tebrau, yakni pohon yang batangnya mirip dengan batang Tebu. Para pedagang dari China di era lampau menyebutnya “Tebo”.

Versi kedua, “Kapan Tibo” yang berasal dari pedagang Minangkabau. Kata “Tibo” kemudian berubah menjadi “Tebo”.

Lagi dan lagi, catatan tertulis yang dapat digunakan dan dapat diakurasikan dengan sumber-sumber terkait, adalah dari catatan dan photo pemerintah Belanda, terutama yang dapat diakses dari Universiteit Leiden. Juga, bukti yang kini masih ada, yakni Makam Belanda yang letaknya tak jauh dari Makam Sultan Thaha di pusat kota lama Muaro Tebo. Seperti penanda yang tertulis pada kedua situs sejarah itu.

Catatan tertulis yang dapat dirujuk yakni ketika Kesultanan Djambi “dipaksa” berubah menjadi Keresidenan di bawah pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906. Wilayah Muaro Tebo, dimana sungai Batang Tebo mengalir membelahnya, selanjutnya ditetapkan menjadi afdeeling, yakni pemerintahan setingkat kabupaten saat ini.

Keresidenan Djambi sendiri dibagi menjadi tujuh afdeeling; Jambi, Muara Tembesi, Muara Tebo, Muara Bungo, Bangko, Sarolangun dari Kerinci. Mencuatkan perubahaan penulisan dari kata “muara” menjadi “muaro” dalam dialek lokal, dapat saja “membuat hilang” sebuah afdeeling dalam catatan sejarah.

Dalam penguasaan secara lokal, Belanda, kemudian, menggunakan kaum pribumi dan terpelajar sebagai sebagai Kepala Distrik (Kewedanaan) yang biasa disebut Demang. Sedangkan untuk Onder Distrik (Kecamatan) disebut Assisten Demang.

Selanjutnya, Muara Tebo dibagi menjadi tujuh mergo (marga) atau batin (kelompok). Yakni Petajen Hulu, Petajen Hilir, Tabir Hilir, IX Kota, VII Kota, Sumai dan Jujuhan.

Namun pada tahun 1934 mergo Jujuhan dimasukkan menjadi wilayah administrasi afdeeling Muara Bungo.

Kota lama Muara Tebo, yang berada di Tebo Tengah, masih menyimpan bukti-bukti sejarah penguasaan Belanda. Yakni makam Belanda, kantor pos dan rumah wedana.

Makam belanda itu sendiri terdiri dari belasan makam. Tidak diketahui secara pasti nama-nama yang dimakamkan di sana. Meskipun, kini, telah menjadi cagar budaya.

Tetapi, menjadi penting, mengingat bahwa situs ini adalah bukti otentik dari ibukota sebuah afdeeling : Muara Tebo. Yang dalam perjalanannya pernah menjadi bagian dari Daerah Tingkat II Bungo Tebo, dan selanjutnya menjadi Kabupaten Tebo.

Jika menuju ke arah Kota Jambi, akan bertemu dengan Desa Muaro Ketalo di Kelurahan Sungai Bengkal Kecamatan Tebo Ilir. Yakni desa yang sangat terkait dengan perjuangan rakyat yang terorganisir dalam melawan Belanda : Sarikat Abang.

Jauh sebelum peristiwa pemberontakan Sarikat Abang, Muaro Ketalo juga telah menyimpan sejarah perselisihan dengan Belanda. Pangeran Raden Julut bergelar Seri Maharaja Batu, putra dari Sultan Seri Ingalogo telah mendirikan pemerintahan tandingan di Muaro Ketalo.

Tujuannya untuk melawan pemerintahan bentukan Belanda dengan Pangeran Cakranegara bergelar Sultan Kyai Gede sebagai raja. Pangeran Cakranegara adalah saudaranya.

Tetapi, pada ingatan kolektif masyarakat lokal, pemberontakan Sarikat Abang tahun 1915 lebih dikenal dengan sebutan Perang Rajo Batu.

Sementara Raden Thaha Ningrat atau dikenal dengan Sultan Thaha Syaifuddin (1816 – 1904) adalah anak dari Raden Muhamad bergelar Sultan Muhamad Fakhruddin (1833 – 1841).

Sultan Thaha memerintah pada tahun 1855 di Kraton Tanah Pilih, yang berada di Kota Jambi saat ini. Dampak dari pertempuran 25 September 1858 dengan Belanda di Moeara Kompei, membuat sultan dan keluarganya keluar dari Kraton Tanah Pilih.

Sultan Thaha beserta pasukannya menghulu menuju ke Muara Tembesi, lalu terus ke arah dalam ke Sungai Aro, dan akhirnya ke Tanah Garo atau Olak Kemang, Muara Tabir, Tebo. Sementara pihak keluarga diselamatkan ke arah seberang Sungai Batanghari, yakni Tanjung Pasir.

Setelah ditinggalkan, Kraton Tanah Pilih dibakar oleh kompeni. Letak Kraton Tanah Pilih itu sendiri adalah di areal yang sekarang menjadi Masjid Agung Al Falah.

Situasi peperangan membuat kewaspadaan ekstra. Sehingga, wajar, jika hingga kini, sultan terakhir Kesultanan Djambi yang tidak pernah mau menyatakan takluk dengan pemerintahan Belanda ini, masih menyimpan banyak teka-teki dalam kehidupan dan perjuangannya.

Makam Sultan Thaha; ditemui di tiga lokasi. Dan semua lokasi saling berhubungan dalam perjuangannya. Yakni di Muara Tebo, Tanah Garo dan Betung Bedarah, Tebo Ilir.

Jika mengacu pada pertempuran Sungai Aro, dimana jejak Sultan Thaha “dihilangkan” oleh orang-orang kepercayaannya, maka daerah yang terdekat adalah Betung Bedarah.   

Atau, dapat disimpulkan bahwa banyaknya makam itu adalah sebagai taktik untuk mengaburkan keberadaan sultan, yang telah diangkat menjadi pahlawan nasional ini. Sebab, sultan adalah lambang dari sebuah pemerintahan.

Hilangnya sultan, adalah sama artinya dengan lenyapnya suatu pemerintahan. dan, ini, tentu tidak boleh terjadi. Terlebih di masa perang melawan Belanda.

Dalam ingatan kolektif masyarakat sejak dari wilayah Muaro Ketalo hingga Tanah Garo, sultan adalah sosok yang dekat dengan rakyat. Terlepas dari klaim soal pewaris, di ingatan kolektif masyarakat Sungai Aro dinyatakan bahwa Sultan Thaha pernah mengadakan perhelatan pernikahan untuk anaknya di sana.

Tetapi, amat sulit, dan sangat minim dan “kabur” untuk menemukan bukti-bukti “benda” dan “wujud” terkait keberadaan sultan di Tebo. Jika itu bangunan, maka sangat besar kemungkinan telah rusak. Sebab bangunan di Jambi pada era lampau umumnya terbuat dari kayu dan dipasak.

Atau, mungkin juga sengaja dirusak untuk mengaburkan jejak sultan yang selalu dicari-cari Belanda. Sebab, pernah tercatat bahwa, yang mengkhianati sultan adalah demang itu sendiri; yang “satu bangsa dan bahasa” dengan sultan. Dengan berbekal pengkhianatan itulah, Belanda mencari sultan di Sungai Aro.

Meskipun, hingga kini ingatan kolektif masih menyimpan kisah-kisah ini. Dan dapat menjadi acuan awal dalam penelusuran langkah jejak sultan.

Sehingga, butuh kajian sesuain keilmuan yang lebih mendalam, untuk mengetahui persoalan ini. Terutama Kraton Tanah PilihMoera Kompei Moeara Tebo.

Demi marwah sebuah daerah dan masyarakatnya, yang bernama : Jambi, atau Djambi atau Djambie atau Tsan Pei atau Moloyo.*

avatar

Redaksi