Pemberontakan “Ikat Kepala Merah” Di Jambi (1)
Daulat
June 23, 2023
Jon Afrizal
Wilayah Sarolangun – Surulangun sebagai basis gerakan Sarikat Abang. (map: Inlandsche School 1909)
Sarikat Abang, adalah sebuah gerakan sosial di Djambi pada masa pendudukan kolonial Belanda. Massa organisasi Sarikat Islam ini, dikenal dengan pola rekrutmen, agitasi, propaganda, dan strategi perlawanan terhadap imprealisme. Hingga, Sarikat Abang menyatakan perang dengan pemerintah kolonial pada tahun 1916. Berikut, adalah, artikel amira.co.id tentang kelompok “ikat kepala merah”, yang terdiri dari dua bagian.
TAHUN antara 1912 hingga 1916 adalah masa-masa sulit bagi rakyat Djambi. Demang yang seharusnya menjadi perantara rakyat ke pemerintah Belanda, ternyata tidak berfungsi, dan “hanya” menjadi perpanjangantangan pemerintah kolonial saja.
Setelah pembentukan Keresidenan Jambi oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1906, sistem baru pun diterapkan secara sepihak oleh pemerintah kolonial. Penetapan kebijakan baru ini diberlakukan tanpa melalui perundingan dengan pihak kesultanan, tetua dusun dan pemuka agama. Dan, meniadakan sistem pemerintahan kesultanan, yang pada akhirnya membuat sistem pemerintahan kesultanan dihapus paksa oleh pemerintah kolonial.
Pada masa itu, pertanian karet telah diberlakukan oleh pemerintah kolonial. Tetapi, penetapan pajak yang ditentukan sepihak oleh pemerintah Belanda telah mencekik rakyat Djambi.
Begitupula dengan penerapan policestate. Serta perubahan sistem ekonomi berorientasi pasar yang mengakibatkan banyak warga lokal tidak lagi bekerja. Juga sistem kerja rodi yang menyiksa banyak orang.
Pada saat yang bersamaan, menurut surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 1 Agustus 1914, telah diadakan rapat pembentukan Sarekat Islam di pasar Kota Djambi pada tanggal 10 Mei 1914. Abdoel Manan, seorang juru tulis yang bekerja di Djambische Volksbank, bertugas untuk membentuk dewan Sarikat Islam wilayah Djambi.
Kegiatan itu diketahui oleh Wakil Presiden Sarikat Islam Pusat, Goenawan. Goenawan adalah juga pemimpin redaksi surat kabar berbahasa Melayu Pentjaran Warta yang terbit di Batavia.
Sosok inilah yang kemudian menginspirasi sebuah gerakan sosial yang berada di tubuh Sarikat Islam di wilayah Djambi, yakni Sarikat Abang. Pada beberapa literasi disebutkan, Goenawan adalah sosok Ratu Adil, juru selamat rakyat Djambi yang tertindas.
Pada kasus ini, tidak juga dapat dipungkiri terkait pemahaman Ratu Adil itu. Sebab, dengan munculnya Goenawan ke Djambi, maka terbentuklah Sarikat Islam. Selanjutnya, pada perkembangannya, dalam tubuh organisasi ini, terdapat pula cluster Sarikat Abang.
Sarikat Abang adalah gerakan kultural religius. Kelompok “tarekat” yang bersinggungan dengan patron kerakyatan. Tidak seperti anggapan umum, Sarikat Abang bukanlah bagian dari dan tidak terkait dengan ajaran komunis. Hanya saja, kelompok ini lebih tegas dalam bersikap terkait kondisi rakyat saat itu.
Seperti yang ditulis A.P.E Korver dalam buku Sarikat Islam, Gerakan Ratu Adil, Sarekat Abang adalah sebuah movement yang unik. Penggabungan antara Islam sebagai agama dan berbaur dengan cara pandang kultural-tradisi yang menempatkan seseorang sebagai penyelamat rakyat.
Anggota Sarikat Abang kerap mengamalkan amalan tertentu, berlatih bela diri, dan bersikap melawan penindasan, hasrat ingin merdeka, menyongsong kedatangan Imam Mahdi, atau dalam konteks lokal adalah Ratu Adil, dan, selalu mengenakan simbol-simbol berwarna merah. Umumnya adalah ikat kepala warna merah (: abang).
Warna merah ini, erat ikatannya budaya lokal – yakni di daerah Rawas hingga ke huluan Djambi, dimana kaum pria memang sejak lama telah menggunakan kain ikat kepala berwarna merah. Atau juga, berhubungan dengan topi Istanbul, yakni sejenis peci dari Turki, yang juga berwarna merah.
Utamanya, anggota Sarikat Abang tunduk kepada pemimpin, dan memberlakukan Perang Sabil kepada pemerintah kolonial. Ini adalah sebuah titik kulminasi dalam kasanah Melayu, dimana ketika berada dalam kondisi nadir dan tertindas, maka amuk (dalam bahasa Inggris : amok) pun berlaku. Amuk atau mengamuk dalam konteks ini, adalah perang melawan pemerintah kolonial.
Militansi anggota Sarikat Abang menyebabkan Sarikat Islam harus menyatakan kepada pemerintah kolonial pada saat itu bahwa kelompok ini bukanlah underbow Sarikat Islam. Tetapi, pada kenyataaanya, beberapa dari mereka, memang, adalah anggota Sarikat Islam.
Senyatanya, para pendiri Sarikat Abang adalah beberapa anggota Sarikat Islam yang lepas. Meskipun secara organisasi mereka adalah anggota Sarikat Islam, tetapi, secara ideologi mereka menerapkan pola perjuangan yang lebih keras.
Kendati, pada akhirnya, banyak yang menyadari bahwa perjuangan Sarikat Abang ini adalah sebuah gerakan rakyat yang bertujuan agar situasi berubah menjadi lebih baik. Dan, itu bukanlah hal yang dapat disangkal.
Sarikat Abang, menurut si.or.id, muncul setelah pemerintah Belanda yang merasa bahwa Sarikat Islam adalah ancaman, kemudian melarang organisasi ini untuk merekrut anggota baru, pada Juni 1916. Tapi, sesunguhnya, bibit dari gerakan sosial ini telah ada sebelum masa itu.
Sejarah mencatat Perang Kelambit, beberapa saat sebelum Sarikat Abang hadir. Gerakan rakyat yang berada di perbatasan Djambi – Palembang ini juga memberontak terhadap pemerintah kolonial.
Pengajian Sarikat Abang yang memiliki kecendrungan mistik (tarekat) ini berkembang di wilayah Sarolangun – Keresidenan Djambi dan wilayah Surulangun – Keresidenan Palembang. Kedua daerah yang memiliki nama yang hampir sama, dan saling berhubungan satu dengan lainnya dalam perkembangan Sarikat Abang saat itu.
Penduduk antar kedua daerah saling berkunjung, dan saling bergantian menyatakan diri ikut bergabung ke dalam pengajian Sarikat Abang. Secara administratif, kedua daerah, Sarolangun dan Surulangun berada jauh dari pusat keresidenan, yakni kota Djambi dan Palembang.
Mereka menerapkan hakikat ilmu. Dengan amalan-amalan tertentu yang diterapkan oleh anggota Sarikat Abang, maka gerakan fisabilillah, perang melawan pemerintah kolonial secara sadar, pun berani mereka hadapi.
Kam-Kim-Kum-Kapirun adalah sapaan yang digunakan setiap anggota jika saling berpapasan. Seperti kata yang digunakan untuk saling menguatkan dan memberikan semangat secara religi Islam, bahwa kebhatilan harus dikalahkan. Pajak dan rodi, dan kesenjangan lainnya, sebagai bentuk kebathilan, pun harus dilawan.
Sarikat Abang hadir sejak dari perbatasan Sumatera Barat – Kerinci, Djambi, Palembang hingga Lampung. Dengan anggota yang mencapai ribuan orang. Hampir sama dengan Sarikat Islam, pemuka kelompok Sarikat Abang adalah para haji. Yakni orang yang telah lulus ujian keagamaan menuju Makkah; kiblat untuk shalat setiap orang muslim. Secara kultural keagamaan yang berlaku di sini, tentu para haji akan menjadi panutan masyarakat.
Fanatisme lokal ini yang kemudian digunakan Sarikat Abang, bukan untuk tujuan keuntungan pribadi. Melainkan, para pemuka kelompok itu memiliki tujuan, dan menyatukan tujuan kaum-nya untuk memerangi kolonialisme Belanda.
Menurut Heinzpeter Znoj, antropolog dari University of Bern Swiss bahwa massa Sarikat Abang, yang berperang melawan pemerintah Belanda ini, adalah sama kondisinya dengan gerakan rakyat di dataran tinggi Djambi, yakni Kerinci – Pangkalan Djambu – Tembesi – Batang Asai pada tahun 1800-an. Sama-sama menggunakan pola kultural-religi.
Meskipun secara penyebab, berbeda, dimana perang di dataran tinggi Djambi adalah karena monopoli penjualan emas, dan perang Sarikat Abang adalah karena karet telah menjadi komoditas lain bagi pemerintah Belanda beserta pajaknya yang tinggi. Namun, inti dari persoalan adalah sama : dominasi pemerintah kolonial terhadap pribumi.
Gerakan sosial ini, termasuk dalam catatan sejarah perjuangan rakyat, karena penuh dengan agitasi politik anti imprealisme. Mereka memprovokasi masyarakat dengan slogan “Kita tidak lagi harus bayar pajak”. Serta melakukan perdebatan secara terbuka dengan pejabat pemerintah kolonial, termasuk juga dengan pesirah.
Tetapi, anggota Sarikat Abang tidak hanya memprovokasi masyarakat. Sebab, mereka berada di front line dalam perseteruan dengan pemerintah Belanda, dan berperang melawan pemerintah kolonial.* (Bersambung)