Ibadah Haji, Pan Islam Dan Ketakutan Kolonial Belanda Yang Jadi Kenyataan
Hak Asasi Manusia
June 2, 2023
Junus Nuh

Para haji di sebuah masjid di Sarolangun, diperkirakan tahun 1900. (photo courtesy : Universitet Leiden)
ILMU akan membuka wawasan seseorang. Sehingga membuat ia menyadari kondisi di sekelilingnya.
Pernyataan ini cocok untuk disertakan pada sejarah perjalanan haji di Indonesia. Terutama pada masa pendudukan Belanda.
Senyatanya, Islam telah hadir di Indonesia sejak abad ke -7. Tetapi, belum ada catatan lengkap mengenai kapan pelaksanaan perjalanan ibadah haji pertama di Indonesia dilakukan. Besar dugaan, karena perjalanan ibadah haji kala itu dilakukan per individu atau kelompok kecil saja, dengan mengggunakan kapal laut.
Mengutip majalahnabawi.com, Pemerintah kolonial Belanda telah mulai melakukan kebijakan pengetatan keberangkatan jemaah haji sejak tahun 1825, yang bernama Resolusi. Kebijakan resolusi ini, antara lain, adalah Penetepan Ongkos Naik Haji (ONH) sebesar f.110. Biaya ini telah termasuk paspor haji, yang wajib dimiliki tiap jamaah haji.
Menurut nu.or.id, kehadiran Snouck Hurgrounje, seorang sosiolog yang mendalami Islam dan politiknya menyatakan agar Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memisahkan cara pandang, pendekatan dan kebijakan mereka terhadap politik, ritual, spiritual, dan kultural Islam di Indonesia. Pada tahun 1899, Snouck Hurgrounje adalah kepala Kantoor voor Inlandsche Zaken (Kantor untuk Urusan Pribumi).
Ini tentunya tidak dapat dipisahkan dengan gerakan Pan-Islam yang telah hadir di timur tengah saat itu. Pan-Islamisme sebagai gerakan politik muncul pertama kali dalam kebijakan Utsmaniyah dengan Rusia melalui Perjanjian Kucuk Kaynarca pada tahun 1774. Saat itu, Sultan Utsmaniyah mengajukan klaim terhadap yuridiksi agama atas umat Islam di luar wilayahnya, khususnya di Krimea.
berdasarkan britannica.com, beberapa tahun kemudian, teori tersebut dikembangkan dengan tambahan bahwa pada tahun 1517 kekhalifahan Abbasiyah telah dipindahkan ke tangan Sultan Utsmaniyah.
Efek dari gerakan Pan Islam ini tidak saja terjadi di timur tengah. Tetapi juga menjalar ke banyak kawasan dan negara yang memiliki penduduk muslim. Indonesia, yang sewaktu itu berada di bawah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, adalah satu diantaranya.

Dua orang haji di Djambi, diperkirakan tahun 1900. (photo courtesy : Universitet Leiden)
Gerakan ini yang sebenarnya menjadi momok bagi Belanda. Dimana muncul kesadaran bersama, berlandaskan agama, tentang kebebasan, kemerdekaan dan independensi.
Sebuah kewajaran, jika melihat jarak yang cukup jauh yang harus ditempuh warga pribumi untuk sampai ke Tanah Suci. Serta biaya yang juga lumayan besar.
Dengan kedua persoalan itu, maka banyak dari jemaah haji asal Indonesia yang bertahan di Tanah Suci setelah melakukan ibadah haji. Beberapa dari mereka bekerja. Tetapi beberapa yang lainnya juga menuntut ilmu pendidikan.
Ahmad Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah adalah satu diantara. Ia tidak hanya menjalankan ibadah haji saja. Tetapi juga belajar di sana. Sekembalinya dari tanah suci, Ahmad Dahlan kemudian mendirikan lembaga sekolah.
Dengan satu cara yang sama, yakni setiap murid harus seperti bersekolahnya kaum kulit putih. Duduk dengan menggunakan kursi, bersepatu, dan menggunakan papan tulis dan menulis buku di meja.
Dapat dilihat dari film Sang Pencerah (The Enlightener) besutan sutradara Hanung Bramantyo yang mengisahkan tentang kehidupan Ahmad Dahlan.
Tetapi, itu semua ia lakukan dengan tujuan untuk mengangkat harkat pribumi, melalui pendidikan. Sebab, melalui cara itu, pribumi adalah satu derajat, atau sama, dengan kaum kulit putih.
Sama, seperti yang diyakini umat Muslim, setiap manusia adalah diciptakan sama derajatnya. Yang membedakannya adalah keimanan setiap orang.
Masih banyak nama pahlawan nasional yang juga menuntut ilmu setelah menjalankan ibadah haji. Dan, inilah yang ditakutkan Belanda, bahwa mereka yang kembali dari ibadah haji adalah agen of change.
Berdasarkan ilmu pengetahuan dan juga rasa kebersamaan dan senasib sepenanggungan, cepat atau lambat, pribumi pasti akan menyadari hal-hal yang telah dan tengah mereka alami. Seperti kolonialisme dan dampak buruknya bagi pribumi, misalnya.
Ketika Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membaca persoalan ini, terutama setelah mendengar petuah Snouck Hurgrounje, maka kebijakan baru terkait pelaksanan haji pun dimulai.
Dua Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menyadari bahaya politik ini, adalah Herman Willem Daendels dan Thomas Stamford Raffles. Dan, telah pula dimulai Ordonansi Haji pada tahun 1859 yang kemudian diundangkan ke dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie nomor 42 pada tanggal 6 Juli 1859.
Ketetapan ini juga menunjukan politisasi pelaksaan haji di era Hindia Belanda. Atau, gunakan kata yang lain saja, pengetatan, misalnya. Efek dari mereka yang pulang dari menjalankan ibadah haji dapat mengganggu eksistensi kolonial. Sehingga perlu dibuat aturan yang ketat, agar mereka yang menjalankan ibadah haji dan didata. Selain itu juga untuk menghindari penyebaran penyakit menular yang, menurut pemerintah kolonial, berasal dari mereka yang pulang dari menjalankan ibadah haji.
Adapun isi Ordonansi Haji pada tahun 1859 ini, adalah mewajibkan calon jamaah haji memiliki surat keterangan izin dari Bupati, yang menunjukan bahwa ia memiliki cukup biaya baik untuk perjalanannya pulang-pergi, maupun kebutuhan sandang pangan bagi keluarga yang ia tinggalkan. Serta, sepulang dari tanah suci, jamaah haji akan menghadapi ujian dari Bupati, yang dengan dasar itu mereka akan diizinkan menyandang gelar haji dan memakai pakaian haji bergaya Arab.
Identitas politik pun telah terbentuk. Dan dengan demikian, pemerintah kolonial dapat mendata dan mengawasi apa yang dilakukan para haji ini.
Tapi, senyatanya, identitas inilah yang akhirnya menyatukan para haji dan pengikutnya, yakni mereka yang menganut Islam.
Terlebih, dengan dibukanya Terusan Suez pada November 1869, jarak tempuh dari kepulauan-kepulauan di Nusantara ke Tanah Suci semakin dekat. Akibat positifnya, semakin banyak juga penganut Islam di Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.
Tercatat sebanyak 5.193 orang muslim di Indonesia yang berangkat haji pada tahun 1893. Tetapi, yang kembali ke Indonesia hanya berjumlah 1.984 orang saja. Banyak dari mereka yang memilih untuk menetap di jazirah Arab, dan tidak pulang ke Indonesia.
Pada buku Biro Perjalanan Haji di Indonesia Masa Kolonial koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dinyatakan pemerintah kolonial pun tidak dapat memantau apa yang dilakukan oleh jemaah haji yang tidak pulang ke Indonesia.
Tetapi, kondisi selanjutnya juga cukup menegangkan bagi pemerintah kolonial. Sejarah mencatat, munculnya Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh KH Samanhudi pada 16 Oktober 1905, yang selanjutnya berubah menjadi Sarekat Islam (SI).
Dilanjutkan dengan berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912 oleh KH Ahmad Dahlan. Kemudian KH Wahab Chasbullah pun mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Wathon atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916, yang adalah awalan dari gerakan Nahdatul Ulama.
Seluruh haji telah bergerak. Atas nama Pan Islam, yang menyatukan seluruh umat Islam di nusantara. Mereka telah mengumpulkan massa, dan membentuk perkumpulan. Membuat masyakarat luas mengerti akan kondisi mereka saat itu.
Memahami, bahwa seperti yang kemudian dituangkan pada Pembukaan (Preambule) UUD 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.”
Kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda pun terbukti. Sebab ilmu pengetahuan telah membuka mata kaum pribumi.*
