Pemilu 1955 Dan Pertarungan Ideologi politik

Daulat

May 8, 2023

Junus Nuh

Presiden Soekarno memberikan suara pada 15 Desember 1955, di TPS Kementrian Penernagan nomor 9  Jalan Merdeka Barat, Jakarta. (dok : ANRI)

Sewaktu itu usia kemedekaan Indonesia masih sangat muda. 

Dan dunia sedang berada dalam pertarungan ideologi politik.

INDONESIA pernah berada di sebuah fase demokrasi, dan mengadakan pemilihan umum (pemilu) yang, hingga kini, dianggap banyak orang sebagai pemilu paling demokratis yang pernah diadakan di negara ini, yakni pemilu pada tahun 1955. Pemilu yang dilaksanakan 10 tahun setelah Indonesia terbentuk dan menyatakan merdeka.

Menurut  Museum Kepresidenan, Pemilu 1955 ini dilaksanakan sebanyak dua hari pemungutan suara. Hari pertama adalah pada tanggal  29 September 1955 yang bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR. Dan hari kedua adalah pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante.

Disebut paling demokratis, karena pada pemilu ini diikuti oleh 29 partai politik dan perseorangan sebagai kontestan pemilu. Serta, pemilihan Dewan Konstituante yang bertujuan untuk membentuk UUD yang baru pengganti UUDS 1950.

Saat itu, sebanyak 260 jumlah kursi DPR diperebutkan. Sedangkan untuk Dewan Konstituente adalah sebanyak 520 kursi ditambah 14 wakil dari golongan minoritas yang diangkat langsung oleh pemerintah.

Sebanyak 39 juta mata pilih di indonesia menggunakan hak pilihnya di kedua hari itu.

Sewaktu itu, meskipun kekuasaan tertinggi adalah Presiden, yakni Soekarno, namun menggunakan Perdana Menteri (PM) untuk urusan-urusan di luar urusan kepresidenan.

Pemilu ini dirancang oleh PM Ali Sastroamidjojo. Tetapi, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri pada saat pemilu berlangsung, dan digantikan oleh PM Burhanuddin Harahap.

Masih dikenang banyak orang, lima besar partai politik pemenang pemilu 1955, yakni PNI, Masyumi, NU, PKI dan PSII. Partai-partai ini memiliki ideologi politik seperti nasionalis, kiri, kanan, dan agama.

Sama seperti revolusi fisik kemerdekaan Indonesia, seluruh elemen dan ideologi juga turut berperan. Sehingga adalah hak mereka juga untuk mengikuti pemilu 1955.

Harus diakui, bahwa ini adalah satu-satunya pemilu di masa kepemimpinan Presiden Soekarno, sejak dari tahun 1945 hingga 1965.

Secara garis besar, menurut  idsejarah.net, terdapat tiga poin mengapa Pemilu 1955 diadakan. Yakni perang kemedekaan yang menuntut seluruh potensi bangsa untuk memfokuskan diri pada usaha mempertahankan kemerdekaan. Lalu, terkait dengan konflik internal, baik dalam lembaga politik maupun pemerintah yang  cukup menguras energi dan perhatian. Kemudian, karena belum adanya UU pemilu yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu.

Situasi di ruang pengiriman tanda gambar Pemilu, 23 Juli 1955. (dok: ANRI)

Selain itu, rakyat Indonesia pun terdorongan dan menyadari perlunya menciptakan iklim demokrasi yang sejati.

Undang-Undang pemilu baru disahkan pada tanggal 4 April 1953 yang dirancang dan disahkan oleh PM Wilopo, yang berasalal dari PNI. Sedangkan PM Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi.

Tetapi kemudian, menurut Mestika Zeid dalam buku Ahmad Husein : Perlawanan Sedorang Pejuang, per tanggal 13 September 1960, Presiden Soekarano resmi membubarkan Masyumi. Pembubaran Masyumi, awalnya,  karena  beberapa tokohnya dianggap terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta.

Tetapi, kemudian malah lebih kepada keengganan Soekarno terhadap sistem multi partai. Sebab, menurut Soekarno, tidak perlu terlalu banyak partai, yang malah berakibat membingungkan rakyat.

Pemilu 1955 itu sendiri, berawal pada maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945. Saat itu, pemerintah meminta agar elemen-elemen bangsa, yang terlibat dalam kemerdekaan Indonesia, untuk mendirikan partai politik.

Sistem Pemilu yang digunakan dalam Pemilu 1955 adalah sistem perwakilan proporsional. Dimana terdapat 16 daerah pemilihan di wilayah hukum Indonesia.

Sementara itu, Irian Barat, atau provinsi-provinsi di Pulau Papua saat ini, dimasukkan sebagai daerah pemilihan ke-16. Tetapi, di sana, pemilu 1955 tidak bisa diadakan. Karena waktu itu Irian Barat masih dalam kekuasan Belanda. Irian Barat resmi bergabung  dalam Republik Indonesia pada 1 Mei 1961 melalui Operasi Trikora, sebagai dampak dari Belanda yang melanggar perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB).

Dalam sistem perwakilan proporsional,  setiap daerah pemilihan mendapat sejumlah kursi berdasarkan jumlah penduduknya. Dengan ketentuan bahwa setiap daerah berhak mendapat jatah minimum enam kursi di Dewan Konstituente dan tiga kursi di DPR.

Tetapi, karena begitu banyaknya aliran politik (ideologi) yang ikut pada pemilu, telah menciptakan tidak adanya suara mayoritas. Sehingga “kekuasaan politik” pun terbagi-bagi dalam berbagai kelompok.

Kondisi ini terus berlanjut, Dewan Konstituente tidak berhasil membuat konstitusi baru yang dapat menggantikan UUDS 1950. Akibat yang ditumbulkan adalah krisis ketatanegaraan.

Sehingga, dengan pergolakan itu, Soekarno pun mengeluarkan Dekrit Presiden tertanggal 5 juli 1959. Isinya antara lain adalah kembali ke UUD 1945, dan pembubaran Dewan Konstituente.*

avatar

Redaksi