Mengembalikan Titah Sultan Djambi

Budaya & Seni, Daulat

May 2, 2023

Junus Nuh/Kota Jambi

Stempel yang digunakan KesultananDjambi untuk berhubungan dengan Kesultanan Turki Utsmaniyah. (credit tittle : Junus Nuh/amira.co.id)

.

KETIKA aku bertemu dengan Sayid Fuad bin Sayid Baraghbah, adalah pada abad ke-21, tepatnya di penghujung bulan April 2023. Saat dimana seluruh kerajaan-kerajaan di gugusan pulau-pulau di Nusantara telah menyatakan bergabung untuk merdeka dalam sebuah republik bernama Indonesia.

Tidak tepat juga untuk bernostalgia tentang indahnya kehidupan happy ever after a la raja dan ratu seperti di buku-buku fairy tales. Sebab sejarah Kesultanan Djambi semasa Sultan Thaha selalu hiruk pikuk dengan perang melawan pendudukan Belanda, sekitar70 tahun lamanya.

Pertempuran paling sengit dengan pasukan Belanda adalah di Moeara Kompei pada tahun 1858. Sehingga, adalah kehormatan, jika Sultan Thaha Syaifuddin mendapatkan gelar Pahlawan Nasional melalui SK Nomor 079/TK/1977 pada 24 Oktober 1977.

Akibat dari perang terus menerus, maka istana kesultanan pun berpindah dariIstanaTanah Pilih di Kota Jambi, tepatnya, di lokasi Masjid Agung Al Falah saat ini, ke Tanah Garo di Kabupaten Tebo. Ketika itu istana Tanah Pilih, tempat kelahiran Sultan Thaha, dibakar pasukan Belanda. Dan, dari Istana Tanah Garo, yang juga adalah markas pasukan Kesultanan Djambi dan rakyatnya, perang gerilya melawan pasukan Belanda tetap berlanjut.  

Beberapa benda istana kesultanan pun diselamatkan oleh permaisuri Sultan Thaha, yang bernama Ratumas Siti Chalidjah. Benda-benda itu, adalah saksi sejarah bahwa Kesultanan Djambi tidak pernah menyatakan takluk kepada pendudukan Belanda, hingga ajal menjemput Sultan Thaha, pada tahun 1904, akibat penghianatan orang sebangsa bernama Demang Geladak.

Sebab, terdapat tiga stempel yang digunakan Kesultanan Djambi dalam urusan administrasi. Baik itu berhubungan dengan pihak dalam, maupun pihak di luar kesultanan, bahkan hingga ke Turki.

Permaisuri Ratumas Siti Chalidjah pun membawa benda-benda  itu ke kediaman  mereka di wilayah Tandjoeng Pasir, dengan menyeberangi Sungai Batanghari yang berada tak jauh dari Istana Tanah Pilih. Di sanalah benda-benda itu disimpan, dalam waktu lama, dan hampir dilupakan banyak orang.

Berdasarkan Stamboom vanhet Vorsten huis (Kraton) van Djambi atau silsilah Kesultanan Djambi yang yang dituliskan pemerintah Belanda pada tahun 1900, maka, Permaisuri Ratumas Siti Chalidjah memiliki empat orang anak; yakni Pangeran Ratu, Ratumas Intan, Maryam dan Nyunyit.

Sayid Fuad bin Sayid Baraghbah adalah keturunan dari Ratumas Intan.

Sayid Fuad, selanjutnya, tinggal dan hidup cukup lama bersama Maryam. Ia memanggilnya Buyut Maryam. Dari Buyut Maryam ia belajar tentang silsilah keluarga Kesultanan Djambi. Juga mendengarkan berbagai kisah tentang Sultan Thaha itu sendiri.

Stamboom vanhet Vorsten huis (Kraton) van Djambi yang menjelaskan silsilah Kesultanan Djambi. (credit title : Junus Nuh/amira.co.id)

Sultan Thaha memiliki 15 orang isteri. Tetapi, seperti sultan atau raja pada umumnya, permaisuri tetaplah satu, yakni Permaisuri Ratumas Siti Chalidjah.

Sehingga adalah wajar, sebagai permaisuri, ia berusaha menyelamatkan benda-benda kesultanan ketika Istana Tanah Pilih dibakar.

Terkait silsilah Kesultanan Djambi, aku telah menyaksikan dua versi yang juga biasa dilihat publik. Senyatanya, tidak saling menguatkan antara versi pertama dan kedua. Atau, malah membingungkan. Karena terdapat ketidakakuratan terkait nama-nama keturunan kesultanan.

(video melengkapi artikel ini)

Dan, versi Stamboom vanhet Vorsten huis (Kraton) van Djambi ini harus diakui, memiliki akurasi dari nama-nama awal hingga keturunan setelahnya.

Dari Stamboom vanhet Vorsten huis (Kraton) van Djambi ini aku menemukan kejelasan nama-nama yang hilang dari kedua versi yang membingungkan tadi, atau yang memang seharusnya tidak ada. Selain itu, Stamboom vanhet Vorsten huis (Kraton) van Djambi pun telah diteliti sekitar 20 tahun lamanya, oleh peneliti sejarah dari Universitas Jambi, Yusdi Anra. Sehingga dapat dipertanggungjawbkan secara akademik.

Dengan metoda penemuan bukti otentik, seperti stempel yang digunakan Sultan Thaha untuk mengirim surat ke Sultan Turki Utsmaniyah. Tercatat Sultan Thaha pernah berkirim surat ke Sultan Turki Utsmaniyah sebanyak empat kali.

Selanjutnya, upaya mencari keterangan saksi-saksi yang menguatkan bahwa Sayid Fuad adalah benar anak keturunan Ratumas Intan anak dari Permaisuri Ratumas Siti Chalidjah.

Sayid Fuad adalah generasi ke-4 Sultan Djambi, Sultan Thaha. Ratumas Intan menikah dengan Sayid Abas dan memiliki empat orang anak. Satu orang anak bernama Said Abdullah, dan menikah dengan Tengku Kamelia.

Dari pernikahan itu, pasangan ini mendapatkan enam orang anak. Satu orang anak bernama Syarifah Fadlun, dan menikah dengan Said Abdurahman.

Pasangan ini mendapatkan enam orang anak. Sayid Fuad adalah anak nomor tiga.

“Pihak keluarga menyerahkan mandat kepada saya untuk menjadi Sultan. Tetapi bagi saya, Allah yang telah menunjuk saya. Jika bukan karena izin Allah, penabalan atas saya sebagai Sultan tidak akan pernah terjadi,” katanya.

Penabalan atau penobatan pun dilakukan, pada Kamis (28/07) tahun lalu, di Graha Bandara Sultan Thaha Kota Jambi. KDYMM Sayid Fuad Bin Sayid Abdurrahman Baraghbah dinobatkan sebagai Sri Paduka Sultan Jambi Darul Haq Ke-22.

Prosesi penobatan dilakukan oleh Yang Teramat Mulia Tuan Guru Thoriq El Kamal, disaksikan oleh Ketua Umum Dzurriat Radja Sultan Se-Nusantara Kiam Radja Muda Tuan Guru Dr (HC) Fekri Juliansyah, Ph.D, para Sultan Nusantara, dan para kerabat sultan.

Pada prosesi penabalan itu, KDYMM Sayid Fuad Bin Sayid Abdurrahman Baraghbah didampingi Permaisuri KDYMM Paduka Sri Baginda Radja Istri Anak Dina Sakina Bin Almarhum Syech Bin Husin Bachsin. Juga ketiga orang putera mereka.

Sri Paduka Sultan Jambi Sayid Fuad Baraghbah mengatakan bahwa pelantikan ia menjadi Sultan Djambi adalah untuk melestarikan adat tradisi dan budaya, juga menjaga marwah kesultanan dan situs-situs sejarah yang ada.

“Ini tidak berkaitan dengan kekuasaan, yang fungsinya telah dijalankan oleh pemerintah. Sudah final, berdasarkan kesepakatan kerajaaan-kerajaan se-Nusantara untuk bergabung dalam Republik Indonesia,” katanya.

Tetapi, katanya, ia ingin agar ada kesempatan untuk duduk bersama antara Kesultanan Djambi dan pemerintah Provinsi Jambi. Sebab pihaknya pun masih menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan lain. Seperti Turki dan Negeri Sembilan, misalnya, dan juga pewaris kerajaan-kerajaan di Indonesia.

“Jika kita dapat duduk bersama, tentu dapat membicarakan kemajuan Provinsi Jambi saat ini. Apakah itu terkait perdagangan atau yang lainnya,” katanya.

Ini, tentunya adalah warisan dari pendahulunya, Sultan Thaha, tentang upaya untuk memakmurkan rakyatnya, serta tetap menjaga hubungan baik antar kerajaan.

Mungkin, waktu dan tempat tidak lagi sama. Kehidupan di masa Sultan Thaha tentu jauh berbeda dengan kompleksitas kehidupan saat ini.

Tetapi, sendi-sendi kehidupan ketimuran sejak dulu tetaplah sama. Meskipun beberapa orang berusaha untuk melupakannya. Terdapat adat-istiadat yang berhubungan dengan moral dan etika untuk kebaikan kehidupan bermasyarakat. Adat-istiadat, seharusnya tidak dilaksanakan hanya untuk seremonial belaka.

Maka, dengarlah, Sri Paduka Sultan Jambi telah bertitah.*

avatar

Redaksi