Menelisik Jejak PRRI Di Jambi
Daulat
March 17, 2023
Jon Afrizal, Jambi
TERSEBUTLAH sebuah gerakan bernama Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang berasal dari Kota Padang dan sekitarnya di dekade ’50-an. Yang berawal dari ketidakpuasan beberapa golongan terhadap penjalanan demokrasi terpimpin Sukarno kala itu.
“Pemberontakan” terjadi, jika mengacu pada label yang diberikan pemerintah, tidak dengan tujuan untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia. Namun ingin menghilangkan sentralisasi dan kesenjangan pembangunan yang terjadi kala itu, antara Jakarta sebagai pusat negara, dan daerah-daerah di luarnya.
Gerakan ini, jika merujuk kepada keterangan dari mereka yang pernah terlibat dalam PRRI kala itu, adalah protes tentang penjalanan kekuasaan yang tidak lagi sejalan dengan UUD ’45. Sehingga harus dikembalikan lagi ke titahnya, yakni UUD ’45.
Selain itu, karena ketimpangan segi pembangunan dan ekonomi di luar Jakarta, maka dilakukan pembentukan daerah otonom. Ini adalah, katakanlah, semangat dari apa yang kita kenal sebagai otonomi daerah saat ini. Dan, Provinsi Jambi adalah salah satunya yang pernah ingin dibentuk kala itu.
Penelusuranku terhadap jejak PRRI sendiri telah membawaku menuju daerah perbukitan di Sungaiyang hingga Lintau, di Provinsi Sumatera Barat (kini). Masih banyak ditemui bekas peluru bersarang di dinding papan rumah-rumah panggung di sana. Yang terjadi pada saat gerakan ini diberantas Jakarta.
Umumnya, para pelaku sejarah ini berada dan menghindar di bagian terdalam Pulau Sumatera. Di daerah perbukitan dan hutan selayak perang gerilya pada umumnya.
Meskipun label “pemberontak” telah disematkan pemerintah kepada setiap individu yang tunduk dengan perintah Kolonel Simbolon ini, tetapi, bagi masyarakat Minang pada umumnya, gerakan ini telah menunjukan bahwa mereka ikut serta di dalam politik praktis semasa itu.
Dan, berusaha melakukan kontrol terhadap pemerintah pusat yang kurang peduli dengan “daerah”. Walaupun, kenyataannya, terjejak nama Amerika yang menjadi penjual senjata ke gerakan ini. Namun, konstalasi politik poros Jakarta – Peking – Moskow yang dilakukan pemerintah kala itu, mengharuskan gerakan ini untuk membelinya ke pihak di luar politik poros tadi.
Adalah Provinsi Sumatera Tengah, atau yang berada di wilayah Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan saat ini. Dan secarik dokumen tentang “Daerah Otonom Tingkat Provinsi” tertanggal 5 Januari 1957 telah menunjukan jejak PRRI di sini.
Dan, nama-nama mereka yang tertulis di secarik dokumen dengan judul “Resolusi” itu, tidak ditemui dalam sejarah Provinsi Jambi yang baku atau populer kini. “Terlupakan”? atau “Sengaja Dilupakan”?
Begitulah sejarah yang terjadi di Provinsi Jambi. Sehingga, rekonstruksi tentang peran dari tokoh, tempat dan waktu pun harus secara bijaksana dilakukan. Jika tergesa-gesa, maka kekacauan akan terjadi.
Bisa saja politik identitas, guguk’isme dan sejenisnya akan terjadi. Saling klaim tentang siapa sebenarnya yang berperan “besar” membuat Provinsi Jambi hingga menjadi seperti saat ini.
Namun kini, di masyarakat Minang sendiri, sedikit demi sedikit mulai berani bersikap tentang pelabelan “pemberontak” itu. Mungkin saja ini semua terjadi karena peristiwa yang biasa disebut “Maso Bagulak” itu memberikan efek kekusahan hidup terkait sosio-ekonomi setelah periode itu berlangsung.
Pelabelan “pemberontak” seolah menyatakan mereka ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia, dan membentuk negara sendiri. Dan, sejak itu pula banyak dari masyarakat Minang yang mengubah nama mereka atau memberi nama anak-anak keturunan mereka dengan nama-nama berbau Jawa. Dengan nama-nama yang berbau Jawa, harapan mereka tentunya agar terlepas dari pelabelan tadi.
Dan, jejak PRRI pun tertoreh di sini, di Dusun Karang Mendapo. Yang telah menjadi penyambung dari tali sejarah yang putus.
Biarlah, sengaja tak ku sebutkan nama kecamatan dan kabupatennya. Sebab, sebelum era otonomi daerah berlangsung, kabupaten ini bernama Sarolangun Bangko (Sarko).
Ini, hanya sebuah cara, agar kita semua kembali pulang ke masa lalu. Agar setiap dari penduduk di Provinsi Jambi tidak lagi berkata, “kalu dak salah” ketika orang dari luar provinsi ini bertanya tentang sejarah negerinya sendiri.*