Membangunkan Bangsa Yang Tidur

Resonansi

March 16, 2023

Jon Afrizal

SUATU ketika, aku pernah bertugas di Rantau Rasau, yang berada di tepi Sungai Berbak. Seorang bapak, yang adalah Suku Melayu, selalu berseloroh menitipkan nasihat jika para pemuda Desa berkumpul di sore hari untuk melihat sungai — sebagai sebuah keniscayaan.

“Hati-hati lah jika duduk di tepian sungai, bisa hanyut terbawa arus”, demikian dia sering berkata dengan senyum di kulum di bibir.

Sang bapak, aku lupa namanya, banyak bercerita tentang Rantau Rasau, baik terkait penduduk, adat istiadat, serta peristiwa per peristiwa yang dianggap penting baginya.

Suatu hari, kala itu di penghujung 1999, penebangan kayu begitu marak di Hutan Berbak. Kisah dari penduduk, seorang pebalok telah mencuri anak seekor harimau.

Apa lacur, selama sepekan ibu harimau berputar-putar di Desa-desa di tepian sungai setiap malamnya. Oh ya, Hutan Berbak berada di seberang Desa. Dan, untuk kali pertama, aku belajar mengerti bahwa harimau bisa berenang. Wah !

Setiap malam, tepat sesaat setelah Magrib, pintu-pintu tertutup rapat. Beberapa penduduk yang berani, mengintip dari celah dinding kayu rumah mereka.

Tak satu pun manusia, jika anda terlahir dan terbesarkan di Jambi, yang berani beradu pandang dengan si penjaga belantara ini. “Terpukau”, begitulah istilahnya.

Serta merta seluruh organ tubuh tidak berfungsi, seolah mengatakan kepada harimau, “makanlah aku.” Tetapi, alam sangatlah selaras berkesuaian. Harimau tidak pernah memangsa manusia, karena baginya itu “sial”.

Namun, jika terpaksa, ia akan memangsa manusia yang “tidak ikut adat” setempat. Sehingga, adalah tabu jika mengucap kata “harimau” ketika berada di hutan. Ia akan muncul secepat ia bersembunyi di ilalang. Begitulah alam menuturkan.

Penggalan kisahku ini tentunya anda anggap tidak semenarik sinema di televisi. Tapi, setidaknya, anda dapat menarik garis antara kisah ini dan judul tulisan di atas.

Suatu ketika, di masa pendudukan Belanda, terjadi ketidaksepahaman antara penduduk dan pemerintah Belanda. Guna menghilangkan gejolak sosial, mereka pun menerapkan sistem “kupon” untuk berjualbeli getah para (baca: karet). Sewaktu itu, memang, Belanda telah mengajarkan cara berkebun karet yang baik.

Hingga hari ini, pohon karet adalah warisan turun-temurun dari bapak ke anak-cucunya. Selayak pohon durian dan duku.

Adalah kisah di Jambi tentang daur kehidupan yang berlangsung setiap tahunnya. Diawali dengan menanam padi setahun, lalu musim buah durian, kemudian musim buah duku. Selanjutnya ditutup ketika air besar atau banjir, yang berarti menangkap ikan. Pola kehidupan yang cenderung statis itu pun hingga kini masih banyak yang menerapkannya.

Seiring perkembangan jaman, gelombang globalisasi menerpa. Siap atau tidak, sambutlah. Maka masa “bebalok” bertukar baju dengan berkebun sawit. Sebuah skema dari IMF untuk “dunia ketiga”.

Untuk mengaburkan makna, maka ditempatkan kata “kelapa” di depan kata “sawit”. Bukalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) dan pahami artinya secara jelas.

Hutan, hutan, dan hutan dibabat dan ditanami tumbuhan asal Afrika itu. Tidak mampu menyaingi pemodal, maka banyak penduduk yang menjadi buruh sawit atau berkerja di pabriknya.

Sehingga lupalah mereka untuk bertanam “padi setahun”. Ada juga yang masih punya lahan, telah menggantinya dengan padi yang dapat dipanen dua atau tiga kali setahun.

Padahal, bulir padi setahun lebih besar dari yang dipanen tiga kali itu. Rasanya pun lebih gurih, dan berbau sangat harum. Sehingga harganya juga lebih mahal. Katakanlah seperti “Bareh Solok”.

Tetapi, adalah “tidak bermalu” atau “sial” jika ada penduduk yang menjual padinya. Sehingga entah bagaimana caranya agar saat ini penduduk kembali bertanam padi jenis ini dan mendapatkan harga yang sesuai.

Perubahan tercipta dengan banyaknya pendatang dari berbagai penjuru. Berbagai suku dan ras hadir saling mengisi dan membangun negeri ini. Pendatang pun membeli tanah dan lahan dari penduduk lokal secara legal, dimana jual beli pun terjadi ketika mereka berada dalam kondisi sadar [sadar : tidak sedang tidur, intrance atau mabok].

Ketersisihan pun mulai terjadi. Tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas manusia. Hanya nyinyir menyebut diri “Putera Daerah” saja, dan tidak pernah membiasakan diri untuk belajar dari sejarah.

Peradaban dunia yang terus berkembang pesat seolah hanyut dibawa arus Sungai Batanghari yang tenang. Lihatlah di sekeliling kita, dan cermati dengan baik, apa yang telah benar-benar berubah dari waktu ke waktu.

Jalanan yang tetap sama luasnya, bangunan bersejarah yang hilang satu persatu. Berganti dengan simbol-simbol hedonisme dan konsumerisme yang berakibat pada meningkatnya pajak dan retribusi yang harus dibayar secara berkala.

Setenang arus Sungai Batanghari. Setenang itulah globalisasi menelingkup negeri ini. Tak satu pun yang berusaha saling mengingatkan. Selalu disibukan dengan politik identitas yang terkesan fasis.

Adalah sebuah ayat di al-Qur’an. Siapapun di negeri ini akan dengan begitu baik melafadzkannya. Tetapi itu tentu berbeda dengan “mengerti” dan “menjalani”.

“Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, terkecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya.”

Begitulah bunyi penggalan ayat itu.*

Essay ini sebelumnya telah diterbitkan di kajanglako.com.

avatar

Redaksi