Internet Dan Matinya Kertas

Resonansi

March 15, 2023

Jon Afrizal

(credits : jacquimurray.net)

SUATU hari di awal tahun ’90-an, kami, para mahasiswa berkumpul di aula gedung perpustakaan Universitas Bung Hatta, di tepi pantai di Kota Padang, yang langsung berhadapan dengan Samudera Indonesia. Hari itu diadakan pameran penggunaan internet oleh sebuah lembaga.

Kami terbelalak dengan alat yang dapat melihat “dunia” lebih luas ini. Seperti kata dosen kami, “world is a small village”.

Tetapi, tak seorang pun dari kami yang bakal mengira sebuah peradaban bernama “kertas” tengah terancam. Never.

Realitanya, sejak saat itu penggunaan internet “begitu massif”, jika menggunakan istilah para aktifis LSM, dengan kepalan tangan kiri di udara. Dan, kita, seperti biasa, hanya mengikut saja.

Maka potensi ekonomi kreatif pun terbuka. Warung internet (warnet) menjamur, meskipun kita membayar jasa mereka dengan harga yang masih cukup mahal. Dan, saat itu, kita masih disibukkan dengan virus di disket. Hahaha.

Lalu, pada 2000-an berbagai orang, termasuk aku, telah melupakan penggunaan faximile sebagai alat berkirim dokumen. Ada sesuatu yang lebih murah dan praktis, namanya “e-mail”.

Yang, tentunya,”tulisannya tidak kabur” dan “tidak mahal bayarnya”. Penggunaan surat elektronik pun mulai memberikan “tanda” yang jelas bagi kami, para jurnalis.

Bahwa peradaban tengah bergerak maju, dan, pasti. Yang terjadi, lihatlah saat ini, banyak media telah mengubah diri menjadi media online.

Surat kabar adalah sesuatu yang old fashioned. Ini tidak hanya terjadi di belahan benua Eropa, dan Amerika saja. Tetapi juga di sini, di sebuah negeri yang masyarakatnya selalu bicara tentang “budaya adi luhung” tanpa pernah mau belajar darinya.

Dari sisi government dan para capital, internet adalah sebuah “keuntungan” yang tak terkira. Dimulailah era “komputerisasi” yang, tentunya, ber-efek pada standar-standar ekonomis.

Semua hal harus “di-sistem-kan” dan “ber-data base”. Itu artinya, “Penggunaan kertas hanyalah sebuah pemborosan, jika kita bisa menggunakan teknologi komputer yang mempunyai anak bernama internet.”

Dan, lagi-lagi, kita tak bisa berbuat apa. Perpanjangantangan dari semua itu adalah: smart phone. Old phone dengan ring tone yang mono mulai membosankan, dan berganti dengan kejernihan suara sejenis mp3.

Jangan salahkan siapapun, kita semua, sama-sama mendukungnya. Jika pun ada yang “tidak smart” meskipun menggunakan “smart phone”, itu, ehm, adalah dianggap biasa. Toh kita terbiasa tersingkir dari peradaban, koq.

Contohnya, banyak dari kita yang tidak mengetahui kegunaan leluhurnya kertas, namanya “daun lontar”. Alat tulis ini hanya kita temui ceritanya di buku-buku sejarah, tanpa kita tahu cara mengolah sepucuk daun menjadi media untuk ditulis, dan bagaimana cara menggunakannya.

Lalu, apa alat sejenis pena yang dapat digunakan untuk menoreh tulisan di daun lontar? Tidak, aku seorang jurnalis, aku tengah bicara tentang ” fakta di lapangan”.

Itulah kondisi yang terjadi. Dan, aku bukan “tukang buat kebijakan”. Itu bukan spesialisasi-ku.

Dan, tulisan ini, adalah warning bagi siapa saja, yang peduli dan tetap ingin menggunakan kertas.

Aku, dan banyak orang, terlahir dalam era kertas. Hingga kini, aku tetap terbiasa membaca buku yang ku beli dari toko buku yang sebenarnya, baik berkunjung langsung maupun membelinya secara online.

Aku juga sering men-download (maaf, aku tidak terbiasa menggunakan kata “unduh”) buku-buku berformat pdf di internet. Teman-teman pun sering memberikan link-nya. Tetapi, ya itu, aku tidak terbiasa.

Aku, ehm, tentunya mencintai bentuk fisik buku. Dengan keindahan cover, baiknya jenis kertas, dan, satu yang tak pernah ku lupa, yakni “bau” kertas.

Lagi, ku coba men-download aplikasi yang, bahkan, seolah bisa membuat lembar-lembar “buku maya” itu bergerak sejenis “buku kertas”. Tetapi, tetap saja, aku tidak terbiasa.

Ini adalah masalah kebiasaan saja, bagi generasi kami yang dibesarkan di era grup band A-ha menguasai tangga lagu di seluruh radio bergelombang AM di kota-kota di Indonesia dengan tembang “Take on me”. Sekarang, lagu itu telah di cover up ke berbagai jenis aliran musik, yang bahkan, kini tengah terancam RUU Permusikan.

Banyak generasi “milenial” yang tak tahu bagaimana original version-nya. “Lho, kan ada YouTube,” kata keponakanku yang masih kuliah di sebuah universitas.

Nah, mau bicara apa lagi? Begitu banyak sisi kehidupan (baca: peradaban) yang hilang jika internetisasi kemudian mewabah. Tetapi, “Ada yang tidak akan berubah, yakni perubahan itu sendiri,” begitu kata seorang anonymous.

Begitulah peradaban, terus bergerak maju. Persoalannya, seperti di sebuah pesta yang diadakan di rumah kita sendiri, kita akan ikut berpesta atau rela menjadi tukang cuci piring. Itu saja. Karena ini adalah GLOBALISASI. *

Tulisan ini pernah pertama kali diterbitkan di AmiraRiau.com

avatar

Redaksi