Siapa Fasis, Siapa Rasis

Daulat, Hak Asasi Manusia

March 20, 2023

Jon Afrizal

Situasi saat Intifada, ketika batu digunakan sebagai senjata oleh rakyat Palestina untuk melawan tank Israel. (credit tittle : pinterest.com)

KONDISI terkini di Palestina, merujuk kepada sejarahnya. Ketika Musa membawa kaumnya berkeliling tahun demi tahun, tiada henti.

Promised Land.

“Tanah yang dijanjikan” telah membawa umat Musa, yang akrab disebut Yahudi, berkeliling ke luar daratan gersang itu. Membawa mereka mencari penghidupan hingga ke Eropa.

Hingga, akhirnya mereka menjadi korban “kamar gas” ciptaan Hitler. Toh, diakui atau tidak, siapa pun yang ingin berkuasa secara politik, akan mencari cara untuk menang.

Hitler memilih Swastika dan ras Arya sebagai pijakan politik. Bahwa mereka yang berada di bawah ras Arya, harus ditumpas.

Sepanjang kekuasaan Hitler dan Nazi, ribuan orang Yahudi yang berada di Eropa, diawasi sangat ketat. Mereka diincar oleh petugas, mereka bersembunyi, berlari, dan tertangkap dan di-kamar gas-kan.

Ada banyak literatur tentang itu. Ada banyak juga literatur yang menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi adalah para pedagang yang handal di Eropa, dan memegang perekonomian.

Tapi, itu kisah Perang Dunia ke-Dua. Dimana Hitler dan Mussolini bertemu. Atas dasar Rasisme dan Fasisme, sebagai pijakan politik untuk berkuasa.

Yang pada akhirnya, kedua paham itu menjadi sesuatu yang harus diberangus.

Kisah Yahudi di masa Hitler, dapat diperbandingkan dengan kisah kaum kulit hitam di benua Amerika. Yang cenderung diceritakan dengan perbudakan. Sehingga menciptakan Civil War.

Antara mereka yang berkegiatan ekonomi dengan perkebunan, dan mereka yang mendukung kemajuan pabrik.

Hingga, Martin Luther King berpidato, “I have a dream.”. Hingga sekat demi sekat antara “white” dan “black” dihilangkan.

Pusaran terus melebar, seiring pengertian yang semakin meluas. Yang pada akhirnya mempertanyakan batas tentang kesetaraan. Bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama. Bahwa ada jenis lain lagi.

Namum, ketertindasan kaum Yahudi di masa lalu seperti berbalik menjadi sikap yang tegar, dan cenderung menguasai.

Berawal dari menyewa tanah, lalu memperluasnya.

Ada banyak desa milik rakyat Palestina, yang kini tidak ada lagi di dalam peta. Nama-namanya pun telah berganti dengan bahasa Ibrani.

Ada banyak cerita tentang kejomplangan kondisi antara kaum Yahudi dan Palestina. Dan, dua jilid perang batu Intifada.

Ketika senjata yang tersedia hanyalah batu. Ketika sejarah mengungkapkan bahwa batu jugalah yang diturunkan burung ababil yang berwarna hitam pekat itu untuk menghancurkan tentara gajah yang menduduki Ka’bah.

Literatur menjelaskan tentang sikap yang tidak menerima takdir, bahwa nabi dan rasul terakhir bukanlah dari kaum mereka. Tentang Ibrahim yang memiliki dua orang istri : Sarah dan Siti Hajar.

Siti Hajar, yang dalam sejarah adalah hamba perempuan Sarah, kemudian melahirkan Ismail. Ismail yang dinamanya tersematkan Idil Qurban.

Gusdur, presiden Indonesia yang ketiga, adalah seorang penganut toleransi. Seorang Nahdiyin yang bahkan berani untuk membuka jalur diplomasi dengan Israel. Meskipun sikap itu ditentang oleh banyak pihak.

Tapi, ia berusaha menempatkan Indonesia sebagai bagian dari politik dunia. Yang bukan hanya batasan agama dan suku saja, melainkan lebih dari itu.

Kerumitan dari fasisme dan rasisme tak lagi bersekat politik antar bangsa. Melainkan sikap diri.

Kita seseorang berusaha memaksa atau mendoktrin orang lain, kita akan berujar, “Fasis!”

Ketika seseorang berbicara tentang kesukuan secara berlebihan, kita akan berucap, “Rasis!”

Mungkin saja, Yahudi lebih unggul, karena mereka selalu mencari. Mencari “Tanah yang dijanjikan”.

Namun, kemudian terpeleset menjadi superior yang menindas inferior.

Sama seperti bangsa perantau, dari belakang Yunan. Yang pada akhirnya mencapai kepulauan Nusantara ini.

Yang artinya, semua adalah seketurunan. Meskipun kini malah sibuk dengan pernyataan sejenis “Penduduk Asli” dan “Putera Daerah”.

Yang dulu dipersatukan dalam sebuah negara, tapi kini malah merujuk kepada kerajaan di masa lalu.

Yang merasa menjadi raja di dalam sebuah negara. Tapi, tidak diluar sana. *

Artikel ini pertama kali diterbitkan di amirariau.com

avatar

Redaksi