Sumpah Dan Kutukan Di Masyarakat Melayu

Daulat

February 21, 2024

Junus Nuh

Gelang “Sebelik Sumpah”, budaya Orang Rimba Bukit Duabelas. (photo credits : Zulfa Amira Zaed/amira.co.id)

“Lagi pula, biar semua perbuatannya yang jahat, seperti mengganggu ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja, saramvat, pekasih, dan memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya.

Semoga perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil, dan menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu, biar pula mereka mati kena kutuk.”

(Prasasti Karang Brahi)

SUMPAH dan kutukan telah lama hadir di masyarakat Melayu. Yakni mereka yang secara geografis umumnya berada di Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaka.

Kutipan pembuka di awal tulisan ini berasal dari Prasasti Karang Brahi. Yakni prasasti era Kedatuan Sriwijaya, dengan pertanggalan abad ke 7 Masehi sekitar tahun 680-an.

Prasasti bebahan batu andesit dengan ukuran 90 x 90 x 10 centimeter ini berada di Desa Karang Berahi, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1904 oleh Kontrolir L.M. Berkhout di tepian Batang Merangin pada tahun 1904.

Prasasti ini berbahasa Melayu Kuno ditulis dalam aksara Pallawa berisi tentang kutukan bagi orang yang tidak tunduk atau setia kepada penguasa waktu itu dan orang-orang yang berbuat jahat.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), defenisi sumpah adalah pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci, pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar, dan janji atau ikrar yang teguh

Sedangkan kutukan, yang berasal dari kata “kutuk” memiliki definisi berupa doa atau kata-kata yang dapat mengakibatkan kesusahan atau bencana kepada seseorang, dan kesusahan atau bencana yang menimpa seseorang disebabkan doa atau kata-kata yang diucapkan orang lain.

Kutukan adalah juga laknat dan sumpah.

Sumpah dan kutukan sangat terkait dengan sikap seorang Melayu yang sangat menjaga harkat dan martabatnya. Tetapi, jika, kedua hal itu diganggu oleh orang lain, semisalnya ia dihina dan dicaci, maka selemah-lemahnya perlawanan, ia akan menyumpahi dan mengutuk orang itu.

“Aku bersumpah; keturunanmu juga akan dibenci dan dihina orang!”

Kelompok protomelayu “Orang Rimba” di Taman nasional Bukit Duabelas (TNBD), misalnya. Dengan atmosfir aninisme-dinamisme yang mengakar, mereka sangat percaya dan takut dengan sumpah dan kutukan.

Sehingga mereka punya cara tersendiri untuk menangkal atau menghentikan kerusakan yang ditimbulkan dari sumpah dan kutukan yang dilontarkan orang lain kepadanya.

Mereka menggunakan rantaian gelang atau kalung yang berasal dari biji-bijian hutan sejenis sawo kecik atau sirsat. Setiap rantaian berisi angka genap, seperti enam atau 12 biji, dan kelipatannya.

Gelang atau kalung itu mereka sebut “Sebelik Sumpah”, yang berarti sumpah yang berbalik. Kepercayaan mereka, jika mereka menggunakan “Sebelik Sumpah”, maka mereka tidak terkena sumpah. Tetapi, justru, orang yang menyumpahi mereka yang akan terkena sumpahnya sendiri.

Masyarakat Langkawi, Kedah Darul Aman, Malaysia juga memiliki kisah tentang sumpah. Mengutip mediavariasi, Sultan Mahmud Shah 11 menyumpahi Laksamana Bentan dan keturunannya. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1666.

“Orang-Orang Bentan akan muntah darah jika berkunjung ke bumi Kota Tinggi, selama tujuh keturunan.”

Sumpah itu terucap ketika Laksamana Bentan, yang juga bernama Laksamana Megat Seri Rama, berusaha membunuh sultan karena sultan memerintahkan untuk membunuh isterinya yang sedang hamil, yang bernama Dang Anom.

Sumpah dan kutukan, telah melalui masa yang panjang. Sejak masa Melayu Tua hingga masa Islam masuk.

Sumpah dan kutukan diberlakukan, ketika undang-undang tertulis ala pemerintahan modern belum ada. Yang ada hanyalah petatah petitih yang dipegang teguh oleh masyarakat komunal.

Masyarakat di dusun di Provinsi Jambi, terutama di huluan Jambi, hingga kini masih memberlakukan hukum  sumpah. Yakni bagi mereka yang melanggar adat istiadat setempat.

Penggalan sumpah kerap menggunakan metaphora. Seperti, “Ke bawah idak berakar, ke atas idak bepucuk, di tengah-tengah digerek mumbang.”

Dengan arti siapapun yang melanggar aturan adat istiadat, akan tidak dianggap; terusir dari dusun, dan hidupnya tidak berguna sama sekali.

Terkadang, sumpah dan kutukan juga adalah legenda, yang hidup terus menerus di masyarakat

“Kemano lah adikku ini, apo sudah jadi batu.”

Ini adalah ucapan terkenal dari seorang yang disebut Si Pahit Lidah. Ucapannya yang berwujud sumpah, yang telah menyebabkan Puteri, adiknya, menjadi batu.

Menurut BPCB Jambi, kisah ini melegenda. Legenda ini terhubung dengan arca batu besar megalitik, yang disebut masyarakat lokal sebagai “Batu Beteri” (: batu puteri) yang berada di Desa Tanjung Telang, Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan.

Legenda Si Pahit Lidah sangat akrab dengan masyarakat Sumatera Selatan, Begkulu, dan Lampung.

Malin Kundang  yang dikutuk menjadi batu oleh ibunya sendiri adalah juga termasuk ke dalam bahasan ini. Dan juga banyak kisah lainnya yang tak sempat tercatat dalam mesin tulis peradaban modern, dan hanya menjadi catatan koletif saja.

Sehingga, ada kalanya relasi kuasa hadir; sumpah dan kutukan dapat berupa hukum sosial, ketertundukan terhadap etika, dan sanksi yang diberlakukan kepada pelanggarnya.*

“Tambahan pula, biar mereka yang menghasut orang supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk dan dihukum langsung.”

(Prasasti Karang Brahi)

avatar

Redaksi