Tionghoa Di Jambi : Menembus Batas “Passen en Wijken Stelsel“

Budaya & Seni

February 14, 2024

Jon Afrizal/Kota Jambi

Klenteng di Jambi. Diperkirakan tahun 1910. (credits : Universiteit Leiden)

GUSTI Asnan dalam “Rempah Sumatera Yang Terabaikan” mencatat, bahwa perjalanan adalah bagian penting dari Sumatera. Sehingga, perdagangan dan produk bisnis di Sumatera juga mempengaruhi transfer di kepulauan dan jaringan global. Sebab Jambi adalah satu dari sekian banyak daerah penghasil rempah di Nusantara pada abad ke-16.

Sejak tahun 1615, terbuka arus perdagangan di India Timur (Nusantara). Dimulai dari bangsa-bangsa penjelajah seperti Portugis, Inggris dan Belanda.

Tidak hanya itu saja, suku bangsa Tionghoa, Melayu, Makassar, dan Jawa juga berpartisipasi dalam perdagangan lada. Mereka berada dalam situasi dimana pelayaran masih bergantung pada sistem angin muson yang berubah arah per enam bulan.

Orang Tionghoa yang terlibat dalam pelayaran perdagangan lada, singgah, dan akhirnya menetap. Ini karena mereka menunggu arah angin dan kapal yang dapat  mengantar mereka kembali ke negerinya. Selain itu, juga karena beberapa diantaranya memilih untuk mencari penghidupan di Jambi.  

Dengan modal yang didapat dari perdagangan lada, mereka yang menetap di Jambi, lalu melakukan transaksi dengan penduduk lokal untuk kepemilikan lahan, dan membuka kebun dan menjadi pemilik pertanian. Yang lainnya berada di sektor industri.

Semakin lama dan semakin bertambahnya populasi Tionghoa, telah menciptakan pembauran dimana warga Tionghoa, dalam beberapa kasus, menikah, baik dengan masyarakat Jambi, dan juga sebaliknya.

Asimilasi budaya pun terjadi. Warga Tionghoa membawa sosial-budaya Tionghoa, dan diterima oleh penduduk lokal. Termasuk juga sisi politik dan ekonomi. Asimilasi dan akulturasi budaya itu hingga kini masih dapat dilihat dan dirasakan.

Desri Yanti Sinurat dan Reka Seprina dalam jurnal ilmiah “Krinok” mengatakan bahwa pembauran budaya itu terjadi tanpa masing-masing kehilangan warisan budayanya. Benda-benda budaya tidak dihadirkan secara terpisah, tetapi selalu berada dalam satu percampuran.

Beberapa komponen dari warga Tionghoa yang berasimilasi di masyakarat Jambi adalah bahasa, sistem pengetahuan, sistem kemasyarakatan sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem ekonomi, dan sistem kebudayaan.

Namun, Belanda dan VOC tidak menginginkan terjadinya pembauran. Tujuannya agar mata rantai ekonomi terputus, dan VOC adalah tetap menjadi pemegang kendali ekonomi di Nusantara.

Lalu, dibuatlah aturan, yakni Staatsblad  nomor 37 tahun 1835. Sebab VOC telah melihat adanya kecenderungan bercampurnya (laten amalgameren) berbagai bangsa; seperti timur, asing, Tionghoa, Bugis dan lain-lain. Pemerintah VOC Belanda tidak suka dan tidak ingin melihat terjadinya percampuran itu. Sebab pemerintah VOC Belanda menginginkan berbagai bangsa itu tetap terpisah dan tidak bercampur.

Mengutip Ong Hok Kam dalam “Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa”  VOC menerapkan kebijakan Passen en Wijken Stelsel . Yakni membatasi mobilitas dan pencampuran etnis Tionghoa dengan golongan lainnya.

Peraturan tersebut digunakan untuk membatasi pergerakan orang Tionghoa di wilayah kekuasaan VOC, dengan tujuan utama untuk mempertahankan monopoli ekonomi dan menghindari persekutuan yang muncul antara orang Tionghoa dengan bumiputera.

Kebijakan Passenstelsel  adalah pembatasan mobilitas masyarakat Tionghoa, dimana mereka diwajibkan memiliki surat izin perjalanan untuk dapat keluar dari kampung mereka. Pada masa sebelum abad ke-19, ada kemungkinan untuk melakukan hubungan yang erat di berbagai bangsa, karena tidak ada pembatasan mobilitas. Namun sesudah masa itu sangat sulit terjadi, karena politik pemisahan golongan.

Sedangkan Wijkenstelsel  adalah pengaturan pemukiman orang Tionghoa, yang hanya boleh bermukim diwilayah tertentu. Sistem ini mengharuskan tiap suku bangsa tinggal di kampung-kampung tersendiri.

Sehingga, tidak ada hubungan di luar hubungan ekonomi, di antara suku bangsa dalam satu kota, walaupun ada kemungkinan terjadi hubungan antara elit-elit suku bangsa dalam satu kota.

Setelah VOC bangkrut dan dibubarkan pada 31 Desember 1799, wilayah kekuasaan VOC diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Untuk melindungi monopoli atas produk ekspor dan monopoli tenaga kerja pertanian, maka peraturan itu terus diberlangsungkan.

Pemerintah Hindia Belanda mulai menjalankan peraturan pembatasan tempat tinggal dan bepergian untuk orang Tionghoa secara lebih ketat lagi pada tahun 1830 sampai awal tahun 1900-an.

Tentu saja kebijakan Belanda ini sangat menyulitkan kehidupan orang Tionghoa yang tinggal di wilayah pedalaman. Mereka hanya diperbolehkan tinggal di wilayah kota-kota yang telah disediakan pemukiman khusus untuk orang Tionghoa.

Pada 1830-an awal diberlakukan kembali kebijakan itu, telah memaksa orang-orang Tionghoa yang tinggal di pedalaman untuk berpindah ke kota dan meninggalkan usaha yang telah dibangun dan rumah yang mereka miliki sebelumnya. Mereka terpaksa pindah dalam kondisi bankrupt.

Kebijakan ini berdampak besar bagi warga Tionghoa, banyak dari mereka yang harus pasrah dengan kemiskinan tanpa dapat berkembang keluar dari kampung mereka.

Untuk melawan kebijakan tersebut mereka melakukan kampanye untuk menghilangkan kebijakan  Passen en Wijken Stelsel   melalui Pers Melayu Tionghoa.  Mereka juga melakukan pergerakan emansipasi menuntut kesetaraan dengan orang-orang Eropa.

Akhirnya, kebijakan  Passenstelsel  dihapuskan pada tahun 1914, walau pada akhirnya diberlakukan lagi karena kepentingan tertentu. Sedangkan kebijakan Wijkenstelsel   benar-benar dihapuskan pada tahun 1918, di Jawa dan Madura untuk pertama kali, dikarenakan pemerintah Belanda menyadari bahwa kebijakan itu merupakan penghinaan.

Namun, target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan  Passenstelsel   dan   Wijkenstelsel   telah menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Pada saat perekonomian dunia beralih ke sektor industri, maka orang-orang Tionghoa adalah yang paling siap dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi.

Adapun kampung Tionghoa yang terbentuk akibat kebijakan kolonial ini hingga kini masih terdapat di Kota Jambi. Seperti di kawasan Pasar Jambi, Tehok, Jelutung, dan Talang Banjar.

Konsentrasi kebijakan kolonial itu yang berpusat di kota, juga telah membuat warga Tionghoa menguasai perekonomian di Jambi pada saat ini. Seperti perdagangan modern, misalnya. Yakni mall dan jasa perhotelan.

Tetapi, akulturasi dan asimilasi budaya memiliki jejak yang panjang, curam dan berliku. Ketika pemerintah Orde Baru menerbitkan Inpres nomor 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat China, maka tembok kembali tercipta. Dan membuat orang Tionghoa takut bersembahyang di kelenteng atau melakukan acara budaya Tionghoa lainnya.

Pada aturan itu, warga Tionghoa di Indonesia tidak diperkenankan melakukan tradisi atau kegiatan peribadatan secara mencolok, dan hanya diperbolehkan di lingkungan keluarga saja.

Adapun Presiden Soeharto beralasan bahwa aturan yang membatasi aktivitas ini, bertujuan agar tidak terjadi hambatan dalam proses asimilasi antar warga Tionghoa dengan penduduk pribumi. Sehingga, warga Tionghoa pun diminta untuk mengganti nama mereka dengan menggunakan nama Indonesia.

Baru pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, Inpres itu dicabut, dan menggantinya dengan Inpres nomor 6 tahun 2000. Sejak itu, agama Konghucu ditetapkan menjadi agama resmi keenam di Indonesia.

Sebelumnya, warga Tionghoa banyak yang dipaksa untuk memilih satu dari lima agama resmi pemerintah. Namun semenjak era Gus Dur, mereka dapat kembali menganut kepercayaannya.

Dan, Menteri Agama Muhammad Tolchah Hasan pada masa itu pun mengeluarkan Keputusan Menteri Agama nomor 13 tahun 2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional fakultatif.

Kebijakan ini diteruskan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dengan menetapkan Imlek sebagai Hari Nasional Baru melalui Keppres nomor 19 tahun 2002.

Vihara dan Klenteng kembali seperti semula. Kesenian  barongsai   kembali dapat dilihat, termasuk juga di Kota Jambi.

Sebab, tanpa kita sadari, ornament naga (liong) telah lama mengisi arsitektur rumah penduduk lokal. Terutama di bagian bubungan  atap rumah.

Sebagai tanda akulturasi dan asimilasi budaya telah ada sejak lama, di sini.*

avatar

Redaksi