Meretas Kebebasan Pers Indonesia

Resonansi

June 18, 2025

Farokh Idris

Ilustrasi kebebasan. (credits: pexels)

ALIANSI Jurnalis Independen (AJI) memiliki peran strategis. Yakni sebagai kekuatan transformatif dalam memperjuangkan kebebasan pers dan membangun jurnalisme independen di Indonesia pada tahun 1994 hingga 1999.

Demikian dikatakan Raisye Soleh Haghia, dalam disertasi yang dipertahankannya di Sidang Promosi Doktor Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, pada Selasa (10/6).

Raisye dinyatakan lulus dengan predikat “sangat memuaskan.” Disertasinya berjudul “Meretas Jalan Kebebasan: Peran Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam Mewujudkan Jurnalisme Independen di Indonesia 1994-1999.”

Adapun Dr. Linda Sunarti, S.S., M.Hum mempromotorinya, dan, Prof. Dr. Susanto Zuhdi, S.S., M.Hum sebagai kopromotor.

Pada disertasinya, Raisye menyatakan bahwa kelahiran AJI dapat dipahami dalam konteks struktural Orde Baru. Dimana rezim kala itu melakukan kontrol ketat dan sistematis terhadap ruang publik melalui berbagai mekanisme represif.

Ini termasuk pembatasan kebebasan berekspresi, kooptasi terhadap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Serta, sistem perizinan SIUPP yang menciptakan iklim ketakutan di kalangan jurnalis.

“Kondisi represif ini justru melahirkan resistensi terorganisir yang tidak hanya berhasil menantang struktur dominan, tetapi juga secara aktif membangun sistem alternatif dalam praktik jurnalistik,” katanya.

Raisye menganalisa, bahwa kemunculan AJI adalah hasil dialektika, antara faktor: eksternal dan internal.

Pada tataran global, transformasi pasca Perang Dingin menciptakan kekacauan geopolitik sekaligus membuka ruang bagi penetrasi nilai-nilai demokrasi melalui kemajuan teknologi.

Raisye Soleh Haghia saat disertasi Sidang Promosi Doktor Ilmu Sejarah. (credits: Raisye Soleh Haghi)

Akselerasi arus informasi dan tekanan normatif internasional menjadi katalisator penting bagi tumbuhnya kesadaran kritis di kalangan jurnalis Indonesia.

Sementara itu, pada tataran domestik, munculnya kelas menengah terdidik, terutama dari kalangan jurnalis muda dan mantan aktivis kampus, menciptakan basis sosial yang solid bagi gerakan pembaruan pers.

“Para pendiri AJI memanfaatkan jaringan intelektual dan pengalaman aktivisme mereka untuk membangun pers alternatif sebagai alat perlawanan,” ucap Raisye.

Strategi perlawanan AJI berkembang secara dinamis dari aksi simbolik menuju  pendekatan yang lebih sistematis dan terlembaga. Gerakan ini mengombinasikan empat pilar utama.

Yakni; pembangunan aliansi strategis dengan elemen masyarakat sipil, lalu, pemanfaatan jalur hukum sebagai arena perjuangan ideologis. Kemudaian, perluasan jaringan internasional melalui organisasi seperti IFJ. Dan, pengembangan Pendidikan jurnalistik alternatif dan media alternatif seperti majalah “Suara Independen.”

“Pendekatan multidimensional ini tidak hanya mencerminkan kecanggihan taktis tetapi juga menandai pergeseran paradigmatis dalam gerakan sosial Indonesia,” jelas Raisye.

Menurut Raisye, dampak perjuangan AJI bersifat struktural dan berjangka panjang.

Dalam jangka pendek, gerakan ini berhasil mempertahankan eksistensi pers alternatif di tengah represi negara, meningkatkan kesadaran publik tentang kebebasan pers, serta menciptakan tekanan politik terhadap pemerintahan Orde Baru.

Sedangkan jangka panjang, kontribusi AJI terwujud melalui tiga transformasi mendasar yaitu keterlibatan AJI dalam perumusan UU Pers No. 40/1999, normalisasi nilai-nilai jurnalisme independen, dan penciptaan paradigma baru organisasi pers sebagai aktor strategis demokratisasi.

Menurutnya, secara teoritis, penelitiannya ini memberikan tiga kontribusi utama. Pertama, pengayaan perspektif historiografi pers Indonesia melalui pendekatan history from below yang menempatkan aktor non-Elit sebagai subjek sejarah.

Kedua, pengembangan model analisis gerakan sosial sebagai kerangka teoritis baru dalam kajian sejarah pers. Dan ketiga, penegasan pentingnya pendekatan multidisipliner untuk memahami kompleksitas gerakan sosial seperti AJI.

“Temuan penelitian ini sekaligus mengembangkan teori aksi kolektif Charles Tilly dengan mengidentifikasi varian spesifik gerakan profesional, termasuk peran kapital sosial budaya dalam mengatasi masalah free-rider dan bentuk-bentuk perlawanan hybrid yang khas gerakan sosial,” katanya.

Pada tataran praktis, penelitian ini memiliki relevansi kontemporer yang kuat. Bagi praktisi pers, pengalaman AJI menawarkan perjalanan berharga tentang ketahanan redaksional menghadapi tekanan negara.

“Bagi aktivis demokrasi, gerakan ini memberikan blueprint tentang efektivitas strategi yang mengombinasikan resistensi langsung dengan pembangunan kapasitas jangka panjang,” tututnya.

Prinsip-prinsip kunci seperti konektivitas internal, jejaring aliansi lintas sektor, dan adaptasi teknologi tetap relevan dalam menghadapi tantangan baru di era digital.

Penelitian ini membuka beberapa agenda penting untuk studi lanjutan, termasuk kajian transformasi gerakan pers di era digital, analisis komparatif dengan pengalaman negara transisional lain, eksplorasi jaringan intelektual AJI melalui arsip internasional, serta penelitian tentang transmisi nilai-nilai AJI kepada generasi jurnalis pasca Reformasi.

“Pada akhirnya, warisan terpenting AJI terletak pada pembuktian bahwa jurnalisme independen bukan hanya mungkin diwujudkan dalam sistem yang represif, tetapi juga dapat menjadi pendorong perubahan sosial yang signifikan dalam proses demokratisasi Indonesia,” katanya. *

avatar

Redaksi