Wartawan Yang Bikin Sakit Kepala
Hak Asasi Manusia
June 4, 2025
Jon Afrizal

Clark Kent (: Superman) ketika sedang bertugas sebagai jurnalis Daily Planet. (credits: Warner Bros)
WARTAWAN senior almarhum Sofyan Lubis pernah menyatakan tentang keberadaan “wartawan bodrex”. Yakni sekumpulan wartawan yang mendatangi narasumber secara beramai-ramai, mirip iklan obat sakit kepala merek “Bodrex”.
Penulis buku “Wartawan? Hehehe” ini menyatakan bahwa sepengetahuannya, “wartawan bodrex” mulai muncul sekitar tahun 1980-an. Mereka biasa berkumpul di Hotel Paripurna, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta, yang berseberangan dengan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat di Jalan Gajah Mada.
Ia mengatakan, “wartawan bodrex” pun mengadakan “rapat redaksi” di Hotel Paripurna. Tentunya, untuk menyusun strategi siapa saja calon korban mereka.
“Hebatnya, “wartawan bodrex” banyak yang rajin membaca dan berinvestigasi. Tujuannya agar mereka lebih mudah mendapatkan “korban” dengan memantau berbagai berita kasus,” kata almarhum mengutip Antara.
Jika target sudah didapat, mereka pun mendatangi secara beramai-ramai, sama seperti iklan obat sakit kepala.
Sewaktu menjabat menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) periode 1993 – 1998, Sofyan Lubis kerap memerangi keberadaan “wartawan bodrex”. Tentunya dengan melibatkan pihak keamanan; Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya maupun Komando Daerah Militer (Kodam) Jaya.
Namun, katanya, keberadaan “wartawan bodrex” pasca-reformasi semakin sulit diberantas. Sebab, adalah karena PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi pers, dan sewaktu itu tercatat sekitar 28 organisasi pers nasional.
Selain “wartawan bodrex”, terdapat pula istilah lain. Yakni “wartawan gadungan”. Tapi inti dari kedua istilah itu adalah sama: bikin pusing kepala narasumber.

Ilustrasi perlengkapan jurnalis. (credits: pexels)
Namun, ada banyak faktor yang menyebabkan kemunculan wartawan jenis ini.
Mengutip laman Dewan Pers, dalam pengertian sehari-hari, wartawan adalah orang yang melakukan kerja jurnalistik berdasarkan etika dan ada produk yang dihasilkan secara teratur.
Ini seperti yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang “Pers”, yang menyebiuutka, “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”.
Sehingga, jika ada orang berniat mencuri, merampok, atau membodohi masyarakat dengan bermodal kamera atau seragam wartawan, maka ia bukan wartawan.
Wartawan gadungan suka mendatangi orang yang tidak paham tentang siapa dan apa pekerjaan wartawan. Atau juga, mendatangi orang yang sebenarnya paham jurnalistik dan aspek hukum pers, tetapi karena orang itu bermasalah, maka ikut menjadi bagian dari “operasi” wartawan gadungan.
“Ada aspek saling memanfaatkan. Orang itu dapat menjadi perahan, atau sebaliknya, si wartawan menjadi penyelamatnya,” kata Wikrama Iryans, anggota Dewan Pers pada waktu itu.
Namun, setelah era Reformasi ’98 hingga hari ini, pers seolah-olah masuk ke suatu ruang yang sangat bebas, tanpa orang lain di dalamnya. Sehingga, muncullah persoalan profesionalisme.
Padahal, seseorang yang memiliki profesi bekerja tidak semata-mata karena profesinya. Namun juga memiliki tanggung jawab terhadap karyanya.
Apakah karyanya telah memberi manfaat, misalnya.
Undang-Undang Pers telah menyebutkan tujuan dari kemerdekaan pers, antara lain, adalah; menegakkan demokrasi, mengedepankan prinsip keadilan, dan supremasi hukum.
Berbicara mengenai wartawan gadungan tidak ada relevansinya dengan kemerdekaan pers. Sebab wartawan gadungan bukan wartawan. Sedang profesi wartawan adalah bermartabat dan terhormat.
Sehingga, sangat tidak adil jika wartawan profesional dicampuradukkan dengan wartawan amatiran atau wartawan gadungan. Dan sangat tidak adil juga jika masyarakat, sebagai pemilik kemerdekaan pers, melakukan pembiaran.
Wartawan amatiran tidak dapat diandalkan untuk menegakkan prinsip kemerdekaan pers dan supremasi hukum. Sebab, mereka bermasalah dan cenderung melakukan pelanggaran hukum, seperti; pencemaran nama baik, misalnya.
Sehingga, publik pun harus cerdas dan tegas menyikapi wartawan gadungan. Dan tidak memberikan mereka ruang untuk hidup.
Jika wartawan gadungan memeras, segera saja lapor ke pihak berwajib. *

