Jurnalis Asing Saat Kekisruhan ‘65

Uncategorized

November 25, 2024

Jon Afrizal

Guy Hamilton dan Billy Kwan yang sedang meliput berita dan terlibat dalam keributan, dalam film “The Year of Living Dangerously”. (credits: cinemagia)

“SUKARNO Feed Your People”. Itulah tulisan di spanduk yang dibentangkan Billy Kwan di sisi luar lantai atas Hotel Indonesia.

Soekarno, presiden pertama Indonesia, akan menginap di Hotel Indonesia, malam ini. Hotel ini adalah juga tempat menginap bagi wartawan asing.

Billy Kwan, digambarkan sebagai seorang yang bermoral. Ia sangat peduli dengan kemiskinan yang dilanda rakyat Indonesia kala itu.

Wujud dari moralitas itu, ia, dengan uangnya sendiri, telah memberi makan beberapa orang anak dari seorang yang disebutnya sebagai “Ibu”. Mereka hidup di kawasan kumuh di Jakarta.

Tetapi, selanjutnya, ia mengetahui satu orang dari anak-anak itu meninggal dunia karena kekurangan gizi dan penyakit.

Atas dasar ini, ia marah kepada Sukarno. Sebab, menurutnya, Sukarno telah menghianati revolusi. Padahal, revolusi lah telah memberi Soekarno kekuasaan.

Billy Kwan pun sepertinya ingin membunuh Sukarno.

Setelah membentangkan spanduk, terjadi keributan yang menyebabkan Billy terjatuh ke lantai dasar, di halaman Hotel Indonesia. Ia tewas seketika.

Sangat disayangkan, Sukarno tidak melihat tulisan di spanduk yang dibentang oleh Billy Kwan. Pun, jasad Billy Kwan telah diangkat, tepat sebelum kendaraan yang membawa Sukarno tiba di Hotel Indonesia.

Menurut polisi rahasia, Billy Kwan membawa pistol dan melompat dari jendela setelah membentangkan spanduk.

Teman dari Billy Kwan, Guy Hamilton dan Cookie meragukan hal ini. Mereka tidak ingin Billy Kwan dicap sebagai pembunuh.

Cookie bergegas ke bungalow tempat Billy Kwan menginap. Cookie mengambil berkas-berkas milik Billy Kwan.

Bekas-berkas inilah, yang kemudian, dikisahkan dalam novel ini.

Guy Hamilton sangat mempercayai Billy Kwan. Sebab ia adalah kontak lokalnya.

Begitu juga dengan Billy Kwan, pun mempercayai Guy Hamilton. Dikarenakan Billy Kwan meyakini Hamilton adalah seorang yang bermoral.

Berkat Billy Kwan, reputasi Guy Hamilton sebagai wartawan melambung tinggi.

Narasi ini adalah bagian dari novel “The Year of Living Dangerously” karya Christopher Koch, seorang novelis Australia, yang diterbitkan pada tahun 1978.

Novel dengan background Jakarta, ibukota Indonesia ini, mengisahkan tentang peristiwa-peristiwa yang mengarah pada percobaan kudeta oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 30 September 1965. Meskipun berlatar kejadian nyata, tetapi sebagian kisah dalam novel ini adalah fiksi.

“The Year of Living Dangerously” sempat dilarang beredar di Indonesia selama masa Suharto berkuasa.  Tetapi, larangan itu dicabut oleh pemerintah setelah era reformasi pasca-Suharto, dimulai pada tahun 1998.

Judul novel ini, “The Year of Living Dangerously”, adalah pemaknaan dari pidato Sukarno pada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1964.

Mel Gibson berperan sebagai Guy Hamilton, jurnalis ABS dalam film “The Year of Living Dangerously”. (credits: cinemagia)

Secara bahasa, lebih dekat dengan frasa vivere pericolosamente dalam bahasa Itali. Jika diartikan secara harfiah, adalah: hidup dalam bahaya.

Novel ini menggunakan tehnik narator, sebagai penyambung dari pengarang. Dan narator mendeskripsikan apa yang dipikirkan oleh Christopher Koch.

Cookie adalah orang yang menarasikan novel ini. Dan, sukar untuk dibantah, bahwa kadang, Cookie adalah Billy Kwan, yang telah meninggal dunia, beberapa tahun sebelumnya.

Cookie adalah seorang reporter kantor berita asing. Cookie digambarkan sebagai seorang pria tua yang berperan sebagai “ayah tempat pengakuan dosa” bagi banyak tokoh dalam novel.

Cookie menarasikan kisah ini beberapa tahun setelah kejadian berlalu. Kisah yang diangkat dari berkas-berkas yang dikumpulkan oleh Guy Hamilton dari bungalo tempat Billy Kwan menginap, tepat beberapa saat setelah kematian Billy.

Secara tema, novel ini mengeksplorasi tentang bagaimana cara orang Australia mulai mengkonseptualisasikan diri mereka sendiri secara berbeda dari orang Eropa di era pasca-Perang Dunia II. Dan juga berbeda dengan cara agama-agama Timur seperti Shintoisme dan Buddhisme.

Sebuah konsep yang menawarkan cara-cara baru untuk melihat masalah-masalah lama.

Meskipun tidak masuk dalam daftar pendek untuk Miles Franklin Award, novel yang dianggap sebagai karya terbaik Christoper Koch ini memenangkan Age Book of the Year Award pada tahun 1978 dan National Book Council Award untuk Sastra Australia pada tahun 1979.

Dengan judul yang sama, novel ini pun diangkat ke layar lebar pada tahun 1982. Peter Weir membeli hak atas novel ini.

Awalnya, film ini didukung oleh South Australian Film Corporation (SAFC) dan Australian Film Commission (AFC), dengan distribusi internasional yang diatur oleh MGM/UA Entertainment Company. Lalu, SAFC kemudian keluar dan agen Weir menyarankan agar MGM menyediakan sendiri seluruh anggaran USD 6 juta untuk merampungkan film ini.

Christopher Koch terlibat sebagai penulis draf awal, lalu Alan Sharp, dan selanjutnya David Williamson.

Film ini direkam di Australia dan Filipina.

Mel Gibson berperan sebagai Guy Hamilton, jurnalis Australian Broadcasting Service (ABS). Lalu, Linda Hunt berperan sebagai Billy Kwan, seorang pria Tionghoa-Australia, yang mengidap dwarfisme.

Billy Kwan adalah kontak fotografer lokal Guy Hamilton. Seorang jurnalis photo yang memiliki banyak “koneksi” untuk menghubungkan dan mewawancarai narasumber tokoh-tokoh politik utama, termasuk juga para simpatisan PKI.

Atas perannya yang memukau, melalui film ini, Linda Hunt memenangkan Academy Award untuk Aktris Pendukung Terbaik pada tahun 1983.

Namun, dalam film, tokoh dan karakteristiknya seolah terkalahkan dengan kisah cinta antara Guy Hamilton dan Jill Bryant yang diperankan oleh Sigourney Weaver.

Jill Bryant adalah seorang diplomat muda kedutaan besar Inggris untuk Indonesia. Ia adalah “smart”, yang merupakan gabungan dari kata “cantik” dan “pintar”.

Guy Hamilton yang matanya terluka ketika meliput berita kerusuhan, kemudian harus  mengambil risiko kehilangan matanya. Ia seharusnya terbang ke London untuk bertugas di kantor ABS di sana.

Tetapi, ia malah menyusul Jill Bryant yang ditugaskan di Singapura.

Kisah ditutup dengan adegan Jill Bryant dan Guy Hamilton yang berada di sebuah pesawat dalam perjalanan ke London.

Senasib dengan novelnya, film ini pun dilarang tayang di Indonesia hingga tahun 2000.*

avatar

Redaksi