Cindy Adams, Dan Trik Soekarno
Lifestyle
October 26, 2024
Jon Afrizal
Cindy Adams bersama Soekarno dalam proses penulisan otobiorafi Soekarno. (credits: Cindy Adams)
“Dan begitulah waktu sudah datang. Kalau aku hendak menuliskan kisahku, aku harus melakukannya sekarang. Nanti mungkin aku tidak memiliki kesempatan. Aku tahu, orang ingin mengetahui selama Perang Dunia II apakah Sukarno seorang kolaborator Jepang atau bukan. Kukira hanya Sukarno yang dapat menerangkan periode dari kehidupannya itu dan karena itu dia bersedia menerangkannya.” Soekarno; Penyambung Lidah Rakyat
TAHUN 1960-an, adalah tahun-tahun perseteruan ideologi. Amerika dan sekutunya dengan pola ekonomi kapitalis, dan Rusia dan rekanananya dengan pola ekonomi sosialis.
Menarik untuk melihat bagaimana Indonesia, yang kala itu dipimpin oleh Soekarno, berada ditengah perseteruan itu. Bagaimana Soekarno menempatkan diri; sebagai pribadi pemimpin bangsa, yang merefleksikan bangsa Indonesia dengan kekayaan sumber daya alamnya. Karena, toh, para pemburu mencari sumber daya alam di sini.
Ketika untuk kedua kalinya Duta Besar Amerika di Indonesia, Howard Jones bertanya soal penulisan sejarah hidupnya, maka Soekarno pun mengi-iya-kan. Cindy Adams, seorang jurnalis yang bekerja untuk North American Newspaper Alliance (NANA) pun dipilih sebagai penulis otobiografi Soekarno.
Cindy Adams, atau dengan nama lahir Cynthia I First, datang ke Istana Merdeka, Jakarta, pada tahun 1961. Kala itu, ia berada dalam rombongan kesenian Amerika yang dipimpin oleh suaminya, Joey Adams.
Joey adalah seorang komedian yang ditunjuk oleh Presiden Amerika John F Kennedy untuk memimpin kunjungan kontingen kesenian Amerika berkeliling Asia.
Pada kenyataannya, hingga 1964, ia akan sering ke Istana Merdeka, dan bertemu Soekarno, presiden Indonesia pertama. Dalam project kolaborasi otobiografi berjudul Sukarno – An Autobiography (1965), yang terbit sebulan setelah peristiwa coup de etat G30S/PKI.
Dalam versi bahasa Indonesia, buku ini berjudul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakjat. Buku ini terbit pada tahun 1966, atas izin penguasa orde baru, Soeharto.
Sebuah penulisan otobiografi yang rumit. Karena, Soekarno adalah tokoh Asia Tenggara yang disegani kala itu, dengan New Emerging Force (NEFO).
NEFO terdiri dari Indonesia, Tiongkok, Vietnam dan Korea Utara. Yakni kelompok negara yang non imprealis dan sosialis, dengan tujuan untuk mengimbangi kekuasaan Amerika dan Rusia.
Dan, Soekarno juga ikut membaca naskah bakal otobiografinya, lalu mengeditnya.
Cindy, seperti banyak jurnalis asing lainnya, menginap di Hotel Indonesia. Sebagai tamu negara, Cindy setiap pagi akan pergi ke Istana Merdeka untuk melakukan wawancara dengan Bung Besar.
Cindy Adam. (credits: showtime)
Beberapa catatan menyebutkan, Sukarno kerap sedang menikmati kopi tubruk, dalam setiap sesi wawancara.
Cindy berkebangsaan Amerika, dan bertempat tinggal di New York. Sehingga, banyak pihak yang menghubungkan-hubungkan keberadaan Cindy di Istana Negara dengan Central Intelligence Agency (CIA).
Meskipun, pada akhirnya, Cindy membantah bahwa ia bukan bagian dari CIA.
Bahkan, setelah Soekarno lengser, Cindy jadi takut ke Indonesia. Karena ia dijuluki sebagai Soekarnoist.
Namun, Soekarno, adalah jenius. Ia berani bersikap untuk diwawancarai pihak Amerika. Jika melihat Indonesia dalam poros Jakarta – Pyongyang – Peking kala itu.
Buku Sukarno – An Autobiography (1965), harus diakui sangat netral. Tidak berat sebelah, dan bertumpu pada sejarah dan pemikiran Soekarno.
Sebuah buku yang jujur dan tidak ndelak ndelik saja dalam menampilkan seorang pemimpin besar. Cindy, bahkan menaruh simpati pada Indonesia dan persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Yang, kemudian, karena buku ini pulalah nama Cindy Adams meroket. Ia, kemudian, dikenal sebagai penulis biografi para tokoh dunia.
Meskipun, sejak tahun 1979 hingga kini, Cindy malah dikenal sebagai Ratu Gosip New York, kolumnis gosip di New York Post. Dengan tulisan terkait skandal-skandal para artis.
Hampir dua tahun setelah terbitnya Sukarno – An Autobiography (1965), Cindy pun menerbitkan biografi Soekarno, My Friend the Dictator (1967). Buku ini, kemudian terbit dalam judul dan versi yang berbeda, Sukarno My Friend (1971).
Sebagai jurnalis, Cindy berusaha untuk melengkapi pemahamnnya tentang Soekarno melalui sejarah masa kecilnya. Menjelang Lebaran Idul Fitri tahun 1964, mengutip radarjombang, adalah tahun terakhir perampungan naskah otobiografi Soekarno.
Cindy mendatangi Ploso, Jombang, dan kota-kota lain di Jawa Timur. Ploso adalah sejarah awal Sukarno, tempat Soekarno dilahirkan pada tahun 1902, dan tahun-tahun pertama kehidupan Soekarno, hingga tahun 1907.
Cindy menemui Joyodipo, teman masa kecil Soekarno di Ploso. Juga, Mbok Suwi (Ibu Sosro), pengasuh Soekarno di masa bocah di Ploso.
Kedatangan Cindy di Ploso, dan berphoto bersama itu Mbok Suwi dan Joyodipo dan beberapa orang lainnya di depan sebuah rumah nomor 59. Rumah dengan bentuk atap limasan dari genting yang berada di Gang Buntu, Rejoagung, Ploso, Jombang itu adalah rumah lahirnya Soekarno, pada tanggal 6 Juni 1902.
Rumah yang tidak berapa jauh dari rangkaian gerbong kereta api dan stasiun Ploso.
Photo itu ada di buku selanjutnya, Sukarno My Friend (1971). Soekarno meninggalkan Ploso pada November 1907.
“Buku ini tidak ditulis untuk mendapatkan simpati atau meminta supaya setiap orang suka kepadaku. Harapanku hanyalah agar dapat menambah pengertian yang lebih baik baik tentang Sukarno dan dengan itu menambah pengertian yang lebih baik terhadap Indonesia tercinta.”
Itulah alasan Soekarno menulis otobiorafinya.*