Perubahan Tidak Datang Dari Satu Tempat Saja
Resonansi
August 28, 2024
Jon Afrizal
Petani dan pekebun se-Provinsi Jambi yang mengorganisir diri pada peringatan Hari Tani Nasional (HTN) tanggal 26 September 2023. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
PERIODE #IndonesiaDarurat adalah sama seperti gerakan-gerakan sebelumnya. Sejak dari riuhnya penolakan RUU Pornografi, Omnibus Law, hingga Demonstrasi Agustus 2024 ini.
Intelektual muda dari kampus, entah siapa yang mengangkat mereka, seolah menjadi komandan dalam setiap gerakan sosial. Sementara rakyat adalah “ikut di dalam barisan”. Rakyat, sepertinya, harus dipimpin oleh orang-orang kampusan; sebagai main character.
Agent of change. Demikian yang termaktub di buku-buku di awal masa perkuliahan.
Rakyat, entah suka atau tidak, harus mengikuti instruksi kaum muda kampusan. Dan, jelas, dengan slogan “Bersama Rakyat”.
Indonesia, dalam catatan sejarah, telah mencoba dua kali, untuk memberikan pentas kepada intelektual muda. Yakni pada periode Tri Tura 1966, dan turunnya Soekarno. Lalu, pada Reformasi 1998, dan turunnya Soeharto.
Periode per 30 tahunan, yang seolah ingin kembali dipentaskan saat ini, entah oleh siapa. Kompleksitas #IndonesiaDarurat, yang bagiku, adalah “bau politik yang menyengat” yang berada di saat yang membingungkan.
Ketika, aku, sewaktu berada di penghujung masa kuliah, terbawa arus Gerakan Reformasi 1998, aku hanyalah seorang kutu buku dengan “teori-teori yang telah saatnya untuk di praktekan.”
Ketika jacket almamater adalah panglima dalam setiap pengambilan keputusan perubahan. Sekaligus penanda status sosial: terdidik dan belum memiliki keahlian dan pekerjaan.
Dengan menyandang gelar Agent of Change Pra Sarjana, aku bersedih jika ada kawan yang terluka, hilang, atau lebih buruk dari itu. Tetapi, euphoria perubahan sosial seolah memberangus alam bawah sadarku, bahwa setiap perubahan butuh pengorbanan.
Bahwa, adalah cerita yang “berbeda”, jika mereka yang menjadi aktor utama yang selalu memegang megaphone di pentas perubahan sosial pada Reformasi 1998 lalu, kini telah menjabat sebagi pejabat publik, misalnya.
Begitu juga setelah Tri Tura 1966 terjadi, dan aktor-aktor terdidik kampus pun menjabat sebagai pejabat publik.
Bersama Rakyat, dan rakyat tetap berada di tempat awal mereka berpijak. Tidak kemana-mana.
Agent of change, menurut Robbins & Coulter, adalah orang yang bertindak sebagai katalisator, yang mempercepat dan mengelola perubahan yang terjadi.
Petani dan pekebun se-Provinsi Jambi pada peringatan Hari Tani Nasional (HTN) tanggal 26 September 2023. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Dan, ternyata, kita hanya mengganti “pemeran” intelektual kampus yang lama dengan yang baru saja. Itu terjadi di dua gerakan sosial; Tri Tura 1966 dan Reformasi 1998.
Di tahun-tahun yang hampir sama dengan Reformasi 1998, sebuah gerakan petani tanpa lahan dari Mexico, Zapatista, menyeruak dari lembah dan gunung menuju laman-laman website di internet, yang waktu itu adalah barang yang lux di Indonesia.
Mereka memberikan pesan lewat puisi dan kata-kata, sebagai kekuatan. Bahwa hingga hari ini mereka masih berjuang, hanyalah masalah waktu untuk menang saja.
Sebuah perubahan yang terorganisir, yang telah menggantikan nama setiap orang di sana menjadi Marcos. Dengan arti: meleburkan keunikan setiap pribadi menjadi satu gerakan sosial yang terarah.
Di sini, pada Demonstrasi Agustus 2024 ini, kegagalan dalam gerakan sosial kembali terjadi. Rakyat, harus mengikuti komando intelektual muda. Entah itu long march, atau terdesak dalam posisi chaos.
Seperti melupakan sisi terdepan dalam setiap perubahan: pemahaman bersama.
Sejak Tolak Omnibus Law 2020, dengan hasil liputan full of mahasiswa yang chaos, aku merasa, bahwa urban tidak lagi menjadi posisi terpenting dalam liputanku terkait perubahan dan gerakan sosial. Urban yang selalu penuh dengan amarah, dan chaos. Dan darah yang muncrat akibat bentrok.
Subjektif, mungkin. Aku kini lebih tertarik untuk meliput gerakan sosial dari para petani dan pekebun di pelosok, hingga ke pinggiran hutan. Mereka yang terpinggirkan dan kerap menjadi korban pembangunanisme.
Dengan tubuh-tubuh mereka yang kekar, lengan yang legam bersimburat sinar matahari, dan jari-jari tangan yang melebar karena selalu memegang cangkul dan golok.
Kondisi fisik mereka, yang menggambarkan “siap dalam situasi apapun”. Namun, jarang sekali mereka gunakan untuk bentrok dengan siapapun. Terkadang, ketika mereka terdesak pun, mereka tidak melakukannya.
Bahkan, mereka cenderung menghindar dari intelektual muda, jika kebetulan berada dalam aksi demonstrasi yang sama. Padahal, mereka tidak pernah membaca Ahimsa dari Gandhi.
Aku melihat tanggungjawab yang berbeda. Ketika periuk nasi yang sebenarnya terusik dan harus dipertahankan, maka, setiap petani dan pekebun akan melebur dalam sebuah ikatan menuju perubahan.
Pada titik ini, gerakan sosial adalah sosial secara keseluruhan. Kelompok-kelompok yang memang terdampak akan berubah menjadi katalisator bagi kelompok mereka masing-masing.
Gerakan sosial, senyatanya, tidak memilih tempat untuk dilahirkan. Sebagai sebuah keniscayaan; perubahan, akan menentukan waktunya sendiri untuk dilahirkan.*