Para Pewaris Rojava
Daulat
August 14, 2024
Jon Afrizal
Orang Kurdi berdemonstrasi di Krakow, Polandia, pada Oktober 2019. (credits: Shutterstock)
“Orang Kurdi telah membangun utopia yang benar-benar nyata, dengan komunitas intelektualnya. Sebagai sebuah simbol, yang tidak hanya untuk melawan tirani, tetapi juga untuk membangun tatanan masyarakat baru.” Slavoj Zizek
SEPULUH tahun yang lalu, ketiga wilayah Suriah yang didominasi orang Kurdi mendeklarasikan otonomi mereka, di Kobane, pada tanggal 19 Juli 2012.
Sejak itu, pemerintahan di Rojava yang demokratis dan otonom berupaya menciptakan masyarakat dengan kesetaraan gender dan ekosistem yang ekologis. Mereka memiliki komunal dan dewan perwakilan rakyat yang demokratis, yang mengatur kehidupan bermasyarakat.
Model politik ini telah memantapkan Rojava sebagai oposisi yang tegas terhadap rezim Ba’ath yang lama. Banyak warga terlibat dalam berbagai kegiatan lokal dan sosial, mulai dari komunal dan dewan hingga bekerja di sektor kesehatan, gerakan perempuan atau dalam struktur pertahanan dan keamanan.
Rojava, mengutip rojavainformationcenter, juga identik dengan perang melawan: ISIS (Ad-Daulah al-Islamiyyah fil-Iraq wasy-Syam), pendudukan Turki, kamp pengungsi yang penuh sesak, kekurangan air, gagal panen, dan kemiskinan yang meluas.
Rojava telah bertahan selama sepuluh tahun. Dengan latar belakang perang yang sedang berlangsung, pendudukan, embargo akibat Perang Saudara Suriah, dan situasi kemanusiaan yang genting yang membuat bahan pokok menjadi langka.
Wilayah yang dikelola oleh pemerintahan demokratis Administrasi Otonom Suriah Utara dan Timur (AANES) ini telah berkembang sejak tahun 2012 dan kini mencakup sepertiga wilayah Suriah dan hampir seperlima penduduknya.
Suku Kurdi (Kurd) adalah kelompok etnis terbesar keempat di Timur Tengah; setelah Arab, Turki, dan Persia. Orang Kurdi adalah orang-orang Iran dan berbicara dalam bahasa Kurdi yang merupakan satu cabang dari bahasa-bahasa Iran dari rumpun utama Indo-Eropa.
Dengan jumlah sekitar 30 juta, mayoritas dari mereka tinggal di Asia Barat, atau di suatu wilayah yang mereka sebut sebagai “Kurdistan Raya”. Yakni, suatu wilayah yang berdekatan dengan Iran, Irak, Suriah dan Turki.
Orang Kurdi menjadi kelompok mayoritas di Basur, Rojava, Bakur, Rojhilat, dan juga menjadi kelompok minoritas yang signifikan di negara-negara tetangga seperti Turki, Suriah dan Iran.
Dari sana, gerakan-gerakan nasionalis Kurdi terus berjuang untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas. Dan, mereka telah membentuk komunitas tersendiri. Yang disatukan oleh ras, budaya dan bahasa. Meskipun, senyatanya, mereka tak memiliki dialek bahasa standar diantara mereka.
Agama dan kepercayaan masing-masing dari mereka berbeda. Muslim Sunni adalah mayoritas di sana.
Setelah deklarasi otonomi itu, mereka berada di Suriah Utara dan Timur (NES). Wilayah itu mencakup Rojava yang mayoritas penduduknya Kurdi dan wilayah mayoritas Arab di tepi sungai Eufrat.
Hingga kini, meskipun telah menang melawan ISIS, tujuan untuk mencapai otonomi masih mereka lakukan: dalam menghadapi Turki. Turki, bagi mereka, adalah seteru dalam pencapaian otonomi, hingga hari ini.
Mengutip BBC, setelah Perang Dunia Pertama dan kalahnya kekhalifahan Turki Usmani, melalui Perjanjian Sevres, pada awal abad ke-20, orang Kurdi mulai mempertimbangkan untuk membentuk negara yang disebut sebagai “Kurdistan Raya”.
Namun Perjanjian Lausanne yang menetapkan perbatasan Turki modern, telah menggagalkan rencana mereka. Yang mengakibatkan orang Kurdi menjadi kelompok minoritas di negara-negara yang baru dibentuk.
Selama 80 tahun terakhir, upaya untuk membentuk negara Kurdi merdeka selalu dipatahkan dengan brutal, dari banyak pihak; baik itu oleh ISIS maupun Turki.
Bagi Turki, terdapat “permusuhan tersembunyi” dengan orang Kurdi. Dimana, sekitar 20 persen dari seluruh populasi Turki adalah Kurdi.
Di Turki, keberadaan orang Kurdi tidak pernah diakui. Dan mereka juga diberi julukan: “orang Turki Pegunungan”.
Di tangan otoritas Turki, selama bergenerasi, orang Kurdi harus menerima perlakuan kasar. Nama dan pakaian orang Kurdi dinyatakan terlarang, pun penggunaan bahasa Kurdi juga dibatasi.
Gencatan senjata antara orang Kurdi dan Turki pada tahun 2015 telah gagal, karena sebuah bom bunuh diri telah menewaskan 33 orang aktivis Kurdi di Suruc, dekat perbatasan Suriah. ISIS dituduh bertanggungjawab dalam pemboman itu.
Tetapi Partai Buruh Kurdi (PKK) menuduh pihak berwenang Turki membiarkannya, lalu mereka berbalik menyerang polisi dan tentara Turki.
Selanjutnya, pemerintah Turki membalas dengan melancarkan serangan yang disebut sebagai “perang terpadu melawan “terror” untuk menghadapi PKK dan ISIS.
Ribuan orang tewas dalam konflik di Turki tenggara. Termasuk di antaranya ratusan orang sipil.
Sementara itu, orang Kurdi di Suriah adalah 7 persen hingga 10 persen dari total populasi di sana. Mereka tinggal di Damaskus dan Aleppo serta tiga wilayah yang berdekatan: Kobane, Afrin dan Qamishli.
Mereka pun telah lama ditekan dan tak diberi hak-hak sipil.
Sekitar 300.000 orang tak diakui kewarganegaraannya sejak tahun 1960-an. Tanah orang Kurdi dirampas dan diberikan kepada orang Arab dalam upaya untuk meng-Arab-kan wilayah-wilayah Kurdi.
Sedangkan Kurdi di Irak adalah 15 persen hingga 20 persen dari total populasi. Secara historis mereka lebih menikmati hak mereka. Namun, tetap menghadapi tekanan yang brutal.
Ketika Irak kalah dalam Perang Teluk tahun 1991, perlawanan Kurdi dilakukan oleh Patriotic Union of Kurdistan (PUK) yang dipimpin oleh Jalal Talabani dan Massoud Barzani, anak Mustafa Barzani. Amerika Serikat sempat melakukan zona larangan terbang ketika perlawanan PUK ditindak dengan keras.
Orang Kurdi pun sempat menikmati pemerintahan sendiri di sana ketika itu. KDP dan PUK berbagi kekuasaan, hingga ketegangan dan perang kemudian terjadi antara mereka di tahun 1994.
Pada September 2017, referendum kemerdekaan diadakan di wilayah Kurdistan dan di wilayah yang dikuasai Peshmerga tahun 2014, termasuk Kirkuk. Dari hasil referendum, lebih dari 90 persen suara mendukung pemisahan diri dari Irak.
Referendum ini ditentang dan dianggap ilegal oleh pemerintah Irak.
Bagi penganut demokrasi, Rojava adalah sebagai sebuah pencapaian.
Seperti yang dinyatakan oleh David Graeber (almarhum) pada tahun 2018, “Konfederalisme demokratis di Rojava adalah satu peristiwa terpenting dalam sejarah dunia terkini.”
Setelah berakhirnya perang orang Kurdi melawan ISIS, kepentingan media dan politik Barat terhadap NES menurun secara signifikan. Bagi banyak pengamat, konflik di Suriah sudah tidak relevan lagi, ketimbang peristiwa global lainnya.
Co-Chair Qamishlo, Pervin Yusif menyatakan bahwa, setelah terbentuknya pemerintahan di Rojava, maka seluruh orang Kurdi mendapatkan hak-hak dasar dan menjadi anggota aktif dalam masyarakat.
Namun, otonomi masih sangat muda. Dan ancaman dari banyak pihak tetap masih ada.*