Zomia Di Langit Asia
Hak Asasi Manusia
April 2, 2024
Zachary Jonah
Seorang perempuan dari kawasan Zomia. (credits : zomia.blogspot)
GUIZHOU, dataran tinggi Burma, dan Appalachia adalah daerah dataran tinggi yang melintasi batas-batas Asia Selatan, Timur, dan Tenggara. Kawasan yang sulit untuk diakses ini disebut Zomia, dengan luasan 2,5 juta kilometer persegi dan memiliki populasi penduduk sekitar 100 juta orang.
Zomia, yang berasal dari kasanah bahasa Tibeto-Burman yakni Zomi memiliki arti “orang-orang di perbukitan”. Mungkin saja, nama ini terkesan baru, dan baru saja digunakan untuk hampir seluruh kawasan yang berada di ketinggian, dari dataran tinggi Tengah Vietnam hingga India Timur Laut dan melintasi lima negara Asia Tenggara dan empat provinsi di China.
James C. Scott, seorang ilmuwan politik asal Amerika dalam penelitiannya berjudul The Art of Not Being Governed tahun 2009 menyatakan kawasan Zomia dihuni oleh masyarakat minoritas dengan keragaman etnis dan bahasa yang benar-benar membingungkan. Ini adalah wilayah terbesar yang tersisa di dunia, dimana masyarakatnya belum sepenuhnya dimasukkan ke dalam negara-bangsa.
Mengutip geocurrents.info, kata “Zomia” adalah sebuah istilah yang diciptakan oleh sejarawan Willem van Schendel pada tahun 2002. Selanjutnya, penggunaannnya diperluas oleh James C. Scott.
Kawasan ini, secara historis menolak bergabung dengan negara-negara yang berpusat di cekungan dataran rendah di wilayah yang lebih luas. Dapat pula disebutkan kawasan ini adalah daerah pra-modern tersendiri yang tidak terikat secara spasial.
Menjadi menarik, dimana, Scott menyatakan bahwa identitas Burman, Mon, Khmer, Tai, atau Shan bagi penduduk di wilayah itu, adalah identitas yang dikonstruksi, bukan identitas esensial atau asali.
Identitas, menurutnya, adalah sebuah proyek politik yang dirancang untuk menyatukan beragam masyarakat yang berkumpul di sana. Para budak dari orang-orang kuat yang bersekutu, para budak yang ditangkap dalam peperangan atau penggerebekan, para penggarap dan pedagang yang terpikat oleh peluang-peluang pertanian dan perdagangan. Mereka merupakan populasi yang secara perseorangan memiliki kemampuan untuk berbicara dalam banyak bahasa (polyglot).
Dataran utama yang kemudian menjadi Siam, pada abad ke-13, merupakan campuran kompleks antara populasi Mon, Khmer, dan Tai yang merupakan orang Siam yang “secara etnis sedang dalam proses menjadi”.
Sebagian besar etnis minoritas di pegunungan Asia Tenggara hidup dalam kemiskinan dan terputus dari dunia luar. Tetapi, mereka bukanlah masyarakat primitif yang tidak terpengaruh oleh globalisasi.
Mereka adalah keturunan suku-suku yang mengungsi ke pegunungan untuk menghindari kekuasaan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara. Mereka, secara sadar telah berpaling dari kemajuan sosial negara-negara modern.
Tujuannya adalah untuk mempertahankan otonomi mereka, dengan berdiam di daerah-daerah yang sulit untuk diakses. Mereka termasuk di antara masyarakat terakhir yang tidak memiliki kewarganegaraan di dunia.
Masyarakat Zomia tidak sepenuhnya terisolasi dari dunia luar. Meskipun mereka berhati-hati terhadap dunia luar, dengan tujuan untuk menghindari pengaruh masyarakat lembah selama berabad-abad.
Sebab interaksi dan pertukaran mereka dengan dunia luar selalu bercirikan pragmatisme. Seperti berkembangnya perdagangan opium pada abad ke-19 dan ke-20, misalnya. Dari sisi ini, jelas mereka memperoleh keuntungan.
Kawasan yang disebut Segitiga Emas, satu kawasan penghasil opium terbesar di dunia, misalnya, yang secara demografis tumpang tindih dengan kawasan Zomia.
Namun, permintaan supra-regional meningkat pesat setelah penjajahan Indochina dan Perang Vietnam. Selain itu, masyarakat Zomia juga mengambil bagian dalam berbagai pemberontakan dan perang di wilayah itu. Telebih jika dianggap pemberontakan dan perang itu menguntungkan mereka.
Selama Perang Vietnam, misalnya, dimana intelijen AS merekrut puluhan ribu pemberontak Hmong untuk perang rahasianya di Laos. Menjadikan suku Hmong sebagai suku kawasan Zomia yang paling terkenal saat ini.
Mengutip kapatul-magazin.de, terdapat banyak alasan mengapa mereka melarikan diri ke pegunungan. Terutama karena berbagai kerajaan kuat telah berdiri di tepi kawasan Asia Tenggara selama lebih dari 2.000 tahun hampir terus menerus. Serta dinasti Cina di utara, kerajaan Mughal India di barat, atau kerajaan Thailand di utara. Selatan.
Sehingga nenek moyang warga Zomia saat ini melarikan diri untuk mencari perlindungan dari perbudakan, pajak, penyakit, kerja paksa, dan wajib militer.
Sama seperti cara yang dilakukan oleh suku-suku di Amerika Latin, Afrika, sahara dan pegunungan Atlas.
Tetapi, masyarakat Zomia telah mengembangkan sistem sosial dan ekonomi yang benar-benar baru. Mayoritas masyarakat Zomia mempraktikkan pertanian tebang-bakar, sehingga berbeda dengan tanaman padi di daerah sekitarnya.
Praktek ini dilakukan karena biji-bijian seperti beras mengenal musim panen dan, seperti halnya ternak, dapat dengan mudah dicuri oleh suku lawan atau masyarakat lembah. Sebaliknya, tanaman umbi-umbian dapat tetap berada di dalam tanah untuk jangka waktu yang lama, hanya perlu dipanen bila diperlukan, dan oleh karena itu tidak terlalu menjadi sasaran perampokan atau penyitaan.
Sebagai orang-orang pelarian, sebagian besar anggota suku Zomia buta huruf. Hampir tidak ada bukti tertulis yang bertahan, meskipun sebagian besar dari mereka berasal dari daerah yang sudah lama mengenal komunikasi tertulis.
Temuan Scott tentang Zomia ini, juga menyadarkan kita tentang cara duduk berunding, sebagai bentuk komunikasi demokratis. Toh, senyatanya, kita, di sini, memiliki banyak sekali keberagaman indigenous people dan tribe.*