Kalingga Di Muara Sungai Kutai  

Daulat

March 13, 2024

Junus Nuh

Liang Karing, Sungai Kutai (Sungai Mahakam) diperkirakan awal abad ke-19. (credits : Universiteit Leiden)

KUTAI, terdata sebagai kerajaan tertua di Nusantara. Kutai dinyatakan “berkerabat” dengan Sriwijaya. Meskipun belum dapat dipahami hubungan yang bagaimana yang terjalin antara Sumatera dan Kalimantan yang dibelah oleh Selat Karimata itu.

Namun kesamaan dalam kasanah bahasa Melayu lama masih terasa sama; di kedua wilayah, yakni kawasan tengah Sumatera dan kawasan timur Kalimantan ini.

Kata “Kedaton”, misalnya, yang digunakan untuk “Keraton” peninggalan Kesultanan Kutai Kertanegara. Kompleks percandian Muara Jambi, yang dibangun pada abad ke-7, dan kerap dinyatakan sebagai universitas bagi Sri Vijaya (Sriwijaya), bahkan memiliki sebuah candi, yang selama ini disebut dengan sebutan “Candi Kedaton”.

Mungkin saja, terlalu simple  untuk mencocokkan kata itu, yang terpisah dengan selat besar. Tetapi, merangkum seluruh pengetahuan tutur lisan  masyarakat lokal dan catatan tertulis untuk menjadi sebuah narasi, tentu lebih bermakna ketimbang  perdebatan tak berujung.

Sebelum terbentuknya negara Indonesia, tentu saja, kerajaan memiliki otonominya. Yang, tentunya berbeda dengan saat ini.

Catatan tertulis yang memulai diketahuinya Kutai, adalah melalui Kakawin Desyawarnana atau yang biasa disebut Kakawin Nagarakretagama karya Mpu Prapanca sekitar tahun 1365 pada masa kerjaan Majapahit.

Sewaktu itu, Jirnnodhara, atau yang biasa dikenal dengan Patih Gajah Mada melakukan ekspedisi Palapa atas perintah Hayam Wuruk. Dengan tujuan untuk menyatukan  gugusan Nusantara berada dibawah kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, atau dengan sebutan lain Wilwatikta.

Tetapi, ekspedisi ini tentunya tidak serta merta, dan tanpa awalan. Kerajaan di Kutai telah ada sejak tahun 350 Masehi. Letak kerajaan ini adalah di muara sungai Mahakam, di Provinsi Kalimantan Timur, saat ini. Dengan bukti temuan tujuh pilar sakral (yupa) di Muara Kaman.

Kerajaan ini bernama Kalingga  yang didirikan oleh Kudungga atau Kundungga atau yang disebut dengan Maharaja Mulawarman.  Tetapi, catatan lain menyebutkan bahwa kerajaan ini disebut juga dengan nama Kutai Martadipura.

Narendra, atau penguasa manusia yang berkuasa di sini, memiliki wilayah kekuasaan, yang mencakup wilayah timur, tengah, selatan dan utara Kalimantan.

Catatan lain menyebutkan, bahwa Hindu dibawa oleh pedagang dari India di sekitar abad ke 2 hingga ke-4 masehi.

Tetapi, banyak ahli sejarah yang memberikan penekanan bahwa Kudungga  bukanlah bahasa yang terkait Hinduisme yang disebarkan ke Kalimantan. Melainkan sebutan untuk seseorang dalam bahasa yang diucapkan oleh penduduk lokal, yakni Dayak.

Sehingga, penekanan ini, akan menjadi otonom, jika tidak menyebutkan kepercayaan dari luar yang masuk ke wilayah ini. Melainkan menyebutnya dengan sebutan Dayak  saja.

Pada naskah Belanda, dengan catatan dan photo yang lebih detail, menyebut sungai tempat kerajaan ini sebagai Sungai Kutai, dengan tambahan dalam kurung, Sungai Mahakam. Dan beberapa photo terkait, menyebutkan tentang Dayak Bahau.

Dengan penekanan pada nama kerajaan, maka otonomi  dalam penuturan sejarah, adalah wajib untuk dihormati.

Tujuh yupa itu dibuat pada masa Kudungga berkuasa. Mungkin, yupa ini berhubungan dengan ritual penaklukan dan perluasan wilayah kekuasaan baginya. Naskah lain menyebut ritual ini dengan nama asvaredjwa. Meskipun, tidak didapat catatan yang akurat terkait nama ini.

Dalam ritual ini, dinyatakan, seekor kuda akan dibiarkan lepas bebas berlari semaunya. Selanjutnya, jejak kaki kuda yang bebas berkeliaran itu menjadi bukti  bahwa tanah yang terjejak itu adalah termasuk atau menjadi wilayah Kutai.

Catatan lain menyebutkan bahwa Dayak adalah komunal-komunal yang otonom. Komunal yang hidup dengan kesetaraan dalam pembagian tugas untuk berkehidupan bersama, tanpa seorang pun yang bersikap bossy, atau yang memerintah orang lain untuk keuntungannya sendiri.

Sikap ini, hingga hari ini, masih dipegang teguh oleh mereka di komunal-komunal Dayak. Dan, telah menjadi penelitian yang menarik bagi keilmuan sosiologi modern sejak beberapa tahun terakhir.

Maka, penaklukan wilayah dengan cara perang yang dilakukan oleh Kudungga terhadap komunal-komunal, seperti kisah di banyak film kolosal pun terjadi.

Kudungga diketahui mempersembahkan emas kepada Tuhan yang disembahnya. Dan sangat besar kemungkinan tujuh yupa ini menjadi persaksian persembahan itu.

Teramat disayangkan, jika catatan tentang itu terputus di sini.

Senyatanya, agak meragukan untuk menyebutkan bahwa Kalingga  adalah bagian dari Sri Vijaya. Sebab, Kedatuan Sriwijaya muncul sekitar abad ke-7, atau lebih muda usianya ketimbang Kalingga.

Dan teramat tidak mungkin, dimana sebuah kerajaan tua, yang telah lebih dulu ada, dan memiliki wilayah yang luas yakni hampir setengah pulau Kalimantan, menyatakan takluk dengan kerajaan yang lebih muda, jika tanpa peperangan. Sayangnya, lagi dan lagi, tidak ada catatan mengenai ini.

Tetapi, sebuah bukti peninggalan berharga dari Kutai, adalah arca Dara Jingga. Dara Jingga, adalah seorang puteri dari Melayu Jambi. Sebut saja Kedatuan Sriwijaya, jika ini terkesan mulai membingungkan.

Arca yang ditemukan di sana, menggambarkan seorang wanita dengan sikap tangan menyembah. Sebagai tanda takluknya sebuah kerajaan, atau mungkin terkait sikap patriarki dan matriarki. Hingga kini belum ditemukan jawabannya.

D Adham, penulis buku Salasilah Kutai  pada tahun 1981, menyebutkan bahwa Salasilah Kutai  merupakan cerita raja-raja Kutai Kertanegara. Dimana cerita ini lebih banyak bersifat legenda, meskipun berbagai kejadian yang ditulis dalam naskah ini mengandung unsur historis.

Sebelumnya, W. Kern yang menulis Commentaar op de Salasilah van Koetei  pada tahun 1956. Kern, bahkan menemukan sebanyak delapan naskah Salasilah Kutai  di Tenggarong dan Samarinda pada penelitiannya.

Sejarah berkemungkinan dicatat oleh seorang pencatat atas anjuran raja. Atau, tuturan lisan yang berkembang ditengah masyarakat dan budayanya. Banyak kemungkinan untuk itu, dan banyak waktu untuk menelitinya.

Awal Islam memasuk ke Kutai adalah melalui para mubaligh yang datang dari Tanah Bugis, yang dikenal sebagai Syekh Yusuf (Tuan Tunggang Parangan) dan Abdul Kadir Chatib (Tuan di Bandang). Meskipun, mengenai tahun tepatnya, hingga kini masih menjadi penelitian. Tetapi, sejak masa itulah berkembangnya Kedaton atau Keraton Kutai dengan nuansa Islam.

Sehingga, Ibu Kota Nusantara (IKN) amat dekat dengan historis. Dengan luasan 2.560 kilometer persegi, yakni di sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur.

Autonomy, yang menurut Merriam-Webster dictionary adalah; the quality or state of being self-governing, self-directing freedom and especially moral independence, dan a self-governing state menjadikan IKN sebagai sebuah wujud otonom dari sebuah bangsa, seperti Kutai, sebagai kerajaan yang tertua dan dituakan di Nusantara.*

avatar

Redaksi