Kain Belacu Ditukar Lada

Inovasi

August 4, 2023

Zachari Jonah

(: tumblr)

SEPTEMBER 1615, kapal laut the Attendant mendarat di sekitar Jambi, di wilayah timur Pantai Sumatra. Kapal milik kerajaan Inggris ini bertugas untuk mencari lada (rempah) dan emas. Mereka membawa serta tekstil buatan India, yang memang banyak dicari dan diminati.

Cuaca tropis di bagian tengah Pulau Sumatera ini, yang berada di kitaran angka 30° Celcius, membuat kain belacu (calico) nyaman untuk digunakan. Kain yang berbahan kapas ini memiliki kelebihan utama : menyerap keringat.

Para pedagang Inggris, mengutip indonesia.go.id, juga membawa kain wol yang indah dan tebal. Meskipun kain belacu adalah tekstil kelas rendah, tetapi kain jenis ini banyak diminati ketimbang wol. Penduduk lebih memilih kain belacu yang lebih fleksibel dengan cuaca tropis.

Inggris pun kemudian membangun banyak pabrik tekstil di India. Hingga saat ini, kota kecil seperti Samba di Punjab, India masih memiliki kenangan tentang calico. Kota ini disebut Chhintawala Shehar (city of printing).

Terjadilah pertukaran antara belacu dengan lada, dimana Inggris dengan East India Company (EIC) masuk ke Jambi melalui Sungai Batanghari dengan pelabuhan yang berada di Kota Jambi saat ini. Jambi saat itu adalah pusat perkebunan sahang (lada). Lada didatangkan dari dataran tinggi Minangkabau.

Para pekebun lada adalah petani yang berasal dari daratan China, dan juga mewariskan cara berkebun dan juga perkebunan lada kepada keturunannya. Meskipun lada Jambi adalah lada yang tidak bagus dalam hal bentuk, tetapi, adalah juga lada yang dicari oleh bangsa Eropa. Lada hitam (piper nigrum) yang cocok untuk makanan Eropa.

Melalui Sungai Batanghari, pertukaran lada di lakukan. Antara Inggris dan pedagang lokal Jambi.

Tetapi, itu semua tak berlangsung lama. Belanda pun mulai berada di Jambi sejak 1616, dan terjadi persaingan perdagangan lada di Jambi, antara Inggris dan Belanda, dan persaingan ini dimenangkan oleh Belanda. Meskipun dalam perkembangannya, dua bangsa penjelajah ini lebih banyak bersekutu ketimbang berseteru.

Inggris pun hengkang dari Jambi pada tahun 1682, dalam kondisi bankrupt. Persoalan berdagang di Nusantara, bagi Inggris kala itu, sangat kompleks. Mereka harus menghadapi tindak korupsi yang terjadi di tubuh EIC sendiri.

Fiona Kerlogue, antropolog dari Hull University, London dalam Jurnal Textile History, nomor 28 tahun 1997 mengatakan kurangnya modal pun menjadi masalah bagi EIC. Selain juga wabah penyakit pes (sampar) yang menyebabkan terjadinya depresi pada sektor perdagangan Inggris kala itu.

Penyakit pes berasal dari bakteri yersinia pestis. Bakteri ini terdapat pada tikus dan marmut. Pandemi yang biasa disebut black death ini terjadi di Inggris, terutama kota London pada tahun 1665.

Mengutip BBC, pandemi ini mencapai puncaknya pada bulan September 1665. Kala itu sekitar 7.000 orang meninggal dunia setiap pekan karena pandemi ini.

Kondisi di Jambi pada waktu itu, kalahnya Inggris dalam perdagangan menyebabkan gudang milik mereka dibakar, karena perseteruan dengan raja lokal. Laba pun tak kunjung mereka dapat, karena modal mereka telah dihutangkan kepada raja setempat. Mereka tidak mampu untuk menagih, dan hutang pun tidak dibayar.

Selain itu, adalah peran raja-raja lokal sendiri. Sebagai raja, mereka adalah juga pedagang yang lihai dan lincah.

Lihai dan lincah, dalam artian, raja-raja lokal memiliki dua keahlian, yakni sebagai penguasa yang memiliki dan menguasai jaringan perdagangan, dan juga sebagai bajak laut. Sehingga, dengan jaringan mereka, pasar dapat dieksploitasi untuk keuntungan mereka.

Persoalan lain adalah standarisasi belacu itu sendiri. Yang cenderung menggunakan standar rumahan; memiliki warna dan kualitas yang berbeda-beda. Juga jauhnya waktu tempuh dari kapal menuju gudang pun menjadi persoalan.

Iklim tropis dengan alam yang subur juga memberikan resiko kerentanan yang menyebabkan rapuhnya kain. Serangga, rayap, cacing, dan jamur pun dapat mempercepat kerapuhan tekstil.

Kain belacu, menurut kainpusat.com, adalah kapas yang dipintal menjadi benang. Lalu benang ditenun dan menjadi lembaran kain. Kain belacu memiliki karakteristik yang lebih ringan, jika dibandingkan kain wol yang dibawa oleh pedagang EIC.

Karakteristik ini yang menarik banyak peminat di Jambi. Selain harganya yang juga murah.

Kain belacu lebih mudah diubah bentuknya, ditekuk ataupun dijahit untuk menjadi bermacam ragam bentuk.

Bahan kapas, adalah bahan alami, yang ramah lingkungan. Saat kain telah usang, maka kain dapat dibuang dan mudah terurai di alam.

Kenyamanan adalah faktor utama mengapa kain belacu laris manis di pasaran Nusantara, terutama Jambi kala itu. Kain ini terasa adem ketika dipakai. Selain juga tidak menimbulkan alergi di kulit pemakainya pada iklim tropis.

Proses lanjutan dari kain belacu, adalah kain mori. Kain mori adalah kain belacu yang telah mengalami proses bleaching (pemutihan). Dan harganya, tentu lebih mahal dari kain belacu.

Tentunya, kesalahan fatal dari perdagangan EIC adalah lebih mengutamakan menjual kain wol. Kain yang berasal dari bulu domba ini hanya cocok untuk negeri dengan empat musim seperti di belahan Eropa dan Amerika.

Jika saja, EIC berdagang di dataran tinggi Sumatera, adalah mungkin kain wol laku terjual. Sebagai penghilang rasa dingin dan sejuk terhadap hawa pegunungan. Tetapi, secara fakta sejarah, EIC mendatangi pantai timur Sumatera, dengan kapal laut.

Dan, Midden Sumatera Expedition pun baru terjadi pada abad ke-18, atau dua abad setelahnya. Yakni ekspedisi bangsa Eropa untuk membelah bagian tengah Sumatera, yang sewaktu itu masih dilingkupi hutan lebat, dan menyusur hingga ke dataran tinggi.*

avatar

Redaksi