Mengingat KLB Kolera Di Jambi
Daulat
July 3, 2023
Junus Nuh/Kota Jambi
Penggunaan jamban di tepi Sungai Batanghari Provinsi Jambi. (credit tittle : Junus Nuh/amira.co.id)
PENYAKIT kolera atau diare akut yang mewabah biasa terjadi di negara berpenduduk miskin. Sebab sejauh ini, belum pernah ditemukan di negara-negara maju, dengan sarana sanitasi dan pola hidup bersih yang baik.
Djambi pernah mengalami mengalami kejadian luar biasa (KLB) wabah kolera di masa pemerintahan kolonial Belanda. Yakni dari tahun 1882 hingga 1911. Wabah itu, tidak hanya menyerang orang dewasa, tapi juga anak-anak.
Pemerintah kolonial, sewaktu itu, menyakini bahwa wabah kolera ini berpusat di Jambi. Dan selanjutnya menyebar ke berbagai daerah di Sumatera.
Surat kabar Het Nieuws Van Den Dag tanggal 15 Oktober 1909 menyebutkan, jumlah korban meninggal dunia akibat kolera pada bulan September 1909 adalah 561 orang. Padahal, pada bulan Juli 1909, terdata sebanyak 65 orang meninggal dunia akibat kolera.
Pada bulan September 1909 wabah kolera di Djambi telah hilang di wilayah pesisir. Tapi tetap belum dapat dihentikan di wilayah tengah dan pedalaman Djambi.
Surat kabar Het Nieuws Van Den Dag tanggal 15 Oktober 1909 menyebutkan jumlah kematian akibat kolera di Djambi menembus angka 2.200 orang.
Djambi, yang sewaktu itu telah menjadi keresidenan, dihuni oleh penduduk mayoritas pemeluk Islam. Dalam bahasa sehari-hari, unsur Islam dan budaya Arab kerap menjadi rujukan.
Sehingga, penyakit yang begitu cepat menyebar dan menjangkiti banyak orang, disebut waba’ (wabah) atau tha’un. Meskipun secara deskriptif kata tha’un berarti penyakit seperti cacar atau bernanah. Tapi, menurut Imam al Khalil, kedua kata memiliki arti yang sama, yakni semua penyakit yang mewabah.
Hingga kini, kata tha’un masih digunakan dalam kasanah bahasa Melayu Djambi. Ta’un, demikian dialek lokal untuk menggambarkan hal-hal yang bersifat buruk atau tidak baik.
Penyakit menular kolera (asiatic cholera) menyerang saluran pencernaan. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri vibrio cholorea. Bakteri berkembangbiak di saluran pencernaan melalui air minum yang tidak sehat, dan telah terkontaminasi oleh bakteri.
Umumnya, juga karena sanitasi yang tidak baik. Serta karena memakan ikan atau kerang yang tidak dimasak dengan benar.
Faktor lingkungan dan gaya hidup masyarakat di Djambi waktu itu, yang jauh dari makna sehat secara modern, terdokumentasikan pada tulisan A.A Hijman di surat kabar Het Nieuws Van Den Dag tanggal 7 Agustus 1909. Sebuah catatan panjang yang memuat bagaimana wabah (epidemi) kolera terjadi di Djambi.
Rumah sakit di Djambi pada masa kolonial Belanda, 1910. (photo courtesy : Leiden Universitet)
Ia mengambil sampel di Muaro Tebo, dimana ia melihat rumah-rumah panggung yang digunakan penduduk untuk bertempat tinggal berada di tepi sungai. Dan kebutuhan air bagi penduduk adalah berasal dari air sungai. Sungai sebagai tempat mengambil air bersih untuk kebutuhan minum dan rumah tangga, untuk mandi dan mencuci.
Kondisi ini, juga termasuk keterbatasan pengetahuan masyarakat terhadap pola hidup sehat, menjadi penyebab kolera terus berjangkit dan sulit untuk ditangani.
Adapun gejala kolera adalah diare, mual dan muntah, perut keram dan dehidrasi. Kematian yang dialami oleh penderita kolera umumnya adalah karena dehidrasi yang sangat cepat. Sebab tubuh mengeluarkan cairan terus menerus melalui buang air besar.
Pada buku Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia oleh direktorat jenderal PP & PL Departemen Kesehatan RI, pemberantasan penyakit menular pada era kolonial Belanda dilakukan tentunya untuk kepentingan kolonial. Ini agar sumber daya manusia pribumi tetap sehat dan dapat mereka gunakan untuk kepentingan kolonialisme.
Maka, pada tahun 1911, vaksin kolera pun mulai dibuat oleh Nyland. Pemberian vaksin secara massal kepada pribumi pun dilakukan, hingga kasus wabah kolera ini pun dinyatakan berakhir pada tahun 1927.
Pada gerakan pemberantasan penyakit kolera, pemerintah kolonial pun membentuk Higiene Commissie pada tahun 1911 di Batavia. Sebelumnya, pola ini telah dirintis dr. W. Th. de Vogel. Badan kesehatan dan kebersihan ini yang kemudian memberikan vaksinasi massal, juga penyediaan air minum, serta propaganda, demikian istilah kolonial Belanda, untuk memasak air atau membubuhi air dengan kaliumpermanganaat yang diberikan kepada pribumi secara gratis.
Selain kolera, dapat juga menjadi catatan beberapa penyakit menular lain yang terjadi di masa kolonial. Selain terjadi di Djambi, juga di banyak wilayah lain di nusantara.
Seperti kusta pada tahun 1770, cacar pada tahun 1804, malaria pada tahun 1882, dan sampar pada 1911. Lalu tuberkulosis pada tahun 1917, frambusia pada tahun 1920, penyakit cacing tambang pada tahun 1924, dan trachoma pada tahun 1926.
Penyakit kolera, terkait dengan sarana dan prasarana air bersih, dan pola hidup sehat. Yang secara umum harganya mahal.
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jambi pada tahun 2019, dari total 3.656.563 jiwa penduduk Provinsi Jambi, sebanyak 995.681 jiwa dikategorikan miskin.
Meskipun wabah diare akut tidak pernah lagi dilaporkan terjadi di Provinsi Jambi, tetapi, potensi itu tetap ada. Ini dengan melihat banyaknya jumlah penduduk miskin, yang terkait dengan kurangnya sarana dan prasarana air bersih dan sanitasi yang baik.
Menurut ecdc.europa.eu, ditemukan sebanyak 74.171 kasus kolera baru, termasuk 309 kematian baru di dunia per tanggal 30 Mei 2023. Kasus-kasus ini terjadi di Afghanistan, Kongo, Mozambik, Suriah, Malawi, Nigeria, Kamerun dan Kenya.
Artinya, hingga saat ini, kolera masih menjadi ancaman bagi dunia.*