Keraguan Terhadap Dua Aksara Minangkabau

Budaya & Seni

July 28, 2025

Junus Nuh

Prasasti Kubur Rajo di Tanah Datar. (credits: Public Domain)

“… Putra Adwayawarman, penguasa bumi emas. Dia yang telah menerima hasil dari jasanya, Yang teguh dan penuh dengan belas kasih, yang sabar dan menenangkan, Yang murah hati bagaikan kalpataru yang memenuhi semua keinginan. Adityawarman raja dari keluarga Indra, Reinkarnasi dari Sri Lokeswara, Dewa yang penuh cinta kasih. Prasasti Kubur Rajo

BEBERAPA dekade lalu, pernah terbetik kabar, bahwa ditemukan aksara Minangkabau. Tak tanggung-tanggung, dua aksara sekaligus.

Aksara pertama ditemukan di Nagari Pariangan, Padang Panjang. Aksara kedua ditemukan di Nagari Sulit Air, Kabupaten Solok.

Dua aksara, karena, menurut khabar berita yang tersebar sewaktu itu, jenis huruf dan bentuknya memang dua.

Kita akan bahsa satu persatu.

Ahli adat Minangkabau, alm Kamardi Rais Dt. P. Simulie pernah menulis di Limbago: Majalah Adat dan Kebudayaan Minangkabau No. 5 Tahun 1987, tentang kedua aksara ini.

Pada tahun 1970, ada pihak yang menyatakan bahwa aksara Minangkabau ditemukan dalam “Tambo Alam” milik Datuk Suri Dirajo dan Datuk Bandaro Kayo di Pariangan, Padang Panjang, sekitar abad ke-14 M. Kitab “Tambo Alam” ini berisi, antara lain, Undang-Undang Adat.

“Tambo Alam” itu ditulis dalam aksara Minangkabau. Pernyataan pihak itu, katanya, tidak seperti kitab-kitab tambo yang biasanya ditulis dalam tulisan Arab Melayu (Jawi), “Tambo Alam” menggunakan aksara Minangkabau.

Yang, setelah diteliti, aksara Minangkabau itu berjumlah 15 buah. Yang terdiri dari; a – ba – sa – ta – ga – da – ma – ka – na – wa – ha – pa – la – ra – nga.

Pun, aksara pada “Tambo Alam”, kata ampek (untuk: empat) malah berubah menjadi ampat.

Aksara Minangkabau ini, kata alm Kamardi Rais Dt. P. Simulie, ternyata sangat mirip dengan huruf Lontara. Yakni, huruf asli yang ada di Makassar. Hanya saja, huruf Lontara berjumlah 23 huruf, sedangkan aksara Minangkabau berjumlah 15 huruf.

Huruf Lontara, katanya, diciptakan oleh Daen Pamatta’, Syahbandar Kerajaan Gowa, atas perintah Raja Sombaja pada tahun 1538 M.

Lantas, jika huruf Lontara diciptakan pada abad 16 M, mengapa aksara Minangkabau yang ditemukan di Pariangan ini, yang menurut klaim beberapa pihak diciptakan pada abad 14 M, tidak terdata sama sekali. Sebuah pertanyaan, yang belum dapat dijawab, bahkan hingga hari ini.

Pun ketika Adityawarman menjadi raja di Sumatera, prasasti-prasasti yang terdapat di Kubur Rajo, Limo Kaum, Pagaruyung dan lain-lain tidak ditulis dalam aksara Minangkabau. Melainkan ditulis dalam bahasa Sanskerta dengan style Adityawarman.

Pun, tidak diketahui alasan dan catatan sejarah yang tepat, terkait mengapa Adityawarman menggunakan bahasa Sanskerta, dan tidak menggunakan aksara Minangakabau. Jika memang, aksara Minangkabau telah ada pada jaman itu.

Arca Bhairawa di Dharmasraya. (credits: Public Domain)

Pun, menjadi jelas, mengapa sulit untuk menerima bahwa aksara itu diciptakan dalam masa Adityawarman.

Dalam tulisan ini alm Kamardi Rais Dt. P. Simulie memberi “tanda tanya” pada kata “Minangkabau”, yang kerap disebut sebagai kerajaan Adityawarman. Sehingga, penelitian dan pembuktian terhadap hubungan-hubungan itu, jika memang berhubungan, pun perlu diperjelas.

Semakin hari, kisah aksara ini semakin terlupakan saja, dan dianggap: tidak ilmiah.

Selanjutnya, ditemukan pula aksara Minangkabau yang disebut “Ruweh Buku” di Nagari Sulit Air.

Pernyataan beberapa pihak, Tambo “Ruweh Buku” yang berisi tentang ajaran adat Minangkabau, adalah juga nukilan Datuk Suri Dirajo di Pariangan Padang Panjang. Tetapi, ehm, kitab satu ini tidak diketahui jaman dan tahunnya.

Cukup unik, katanya, “Tambo Ruweh Buku” telah dibawa seseorang ke Sulit Air dan dimiliki oleh Datuk Tumanggung secara turun temurun. Terakhir, katanya, dimiliki oleh Syamsuddin Taim gelar Pakih Sutan yang berusia 75 tahun pada tahun 1980.

Menurut sumber-sumber awal yang menyatakan, Tambo “Ruweh Buku” sudah ada sejak awal disusunnya peraturan keadatan Minangkabau yang disebutkan sebagai “Kerajaan Buek”.

Tanda tanya pun muncul, tentang apa itu “Kerajaan Buek”. Sebab, Gunung Thap Buek (Phu Thap Buek), berada di Provinsi Loei, Thailand. Dan, sejauh yang diketahui, belum terdengar kisah tentang Kerajaan Buek di Sumatera.

Uniknya lagi, aksara Minangkabau dari “Ruweh Buku” adalah lebih mirip dengan huruf Katakana dari Jepang. Dengan kata demi kata dideretkan ke bawah, jika hendak membentuk kalimat.

Pun lebih lengkap dari aksara “Tambo Alam”, dengan total 21 huruf. Dan, dengan tanda baca, seperti; tanda tanya (?), tanda seru (!), titik (.), koma (,), bagi (:), tambah (+), kali (x), dan kurang (-).

Menurut Syamsuddin Taim gelar Pakih Sutan, Tambo “Ruweh Buku” ditulis di atas lembaran kulit kayu sepanjang 55 centimeter atau setara dengan 1 hasta. Terdapat 48 halaman dan ditulis menggunakan getah kayu yang berwarna hitam.

Lantas, kenapa terdapat dua aksara, jika Minangkabau adalah “satu landscape”? Dan, sungguh unik, jika dua jenis aksara yang berbeda dan berkerabat jauh dalam bentuk dan susunan, ditemukan di satu landscape.

Dalam tulisannya, alm Kamardi Rais Dt. P. Simulie berkesan meragukan kedua aksara ini. Ia pun meminta pihak-pihak berwenang untuk meneliti dan membuktikan kebenarannya.

Seperti kisah pada aksara pertama, maka, aksara kedua pun dengan cepat dilupakan. Karena, lagi-lagi, dianggap: tidak ilmiah.

Ributlah dunia budaya sewaktu itu. Kontroversi, yang bahkan filolog Uli Kozok dari Hawaii University pun meragukan kedua aksara itu. Uli Kozok, adalah peneliti “Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah”, dan menyatakannya sebagai naskah Melayu tertua.

Persoalan keraguan terhadap kedua aksara Minangkabau ini, adalah karena beberapa hal.

Yang utama, adalah, kedua kitab Tambo yang disebut mewakili kedua aksara itu, tidak pernah diperlihatkan. Pun tidak pernah dipublikasikan kepada publik.

Tentu saja, keasliannya diragukan. Sebab, publik hanya diperlihatkan abjad-abjadnya saja, tanpa melihat kitab Tambo-nya.

Lalu, terdapat pula persoalan lingusitik lainnya.

Pada aksara di “Tambo Alam” tidaklah lengkap. Tidak ada “ca, ja, nya, dan ya”. Padalah, bahasa Minangkabau menggunakan fonem-fonem ini.

Dan, tanda baca dalam aksara di Tambo Alam hanyalah lima buah pengubah vokal dasar saja. Padahal, seperti yang diketahui, aksara-aksara di Sumatera juga memiliki sandangan.

Sementara, pada aksara “Ruweh Buku” ditemukan bersistem abjad.

Padahal, semua aksara Nusantara, yang adalah turunan dari Pallawa (Kawi) bersistem “Abugida”. Yakni aksara segmental yang didasarkan pada konsonan dengan notasi vokal yang diwajibkan tetapi bersifat sekunder.

Pun terkait simbol-simbol matematis dalam aksara ini, tentu saja, bertolak belakang dengan keadaan aksara Nusantara pada umumnya, dan “terlalu modern untuk jamannya. Yang, bahkan, sebagian dari aksara Nusantara pun tidak memiliki sistem angka.

Adapun Tambo, berasal dari bahasa Sanskerta, yakni: tambay. Pada tradisi Minangkabau, Tambo adalah prosa warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan.  

Tambo merekam kisah-kisah legenda-legenda (folklore) yang berkaitan dengan asal-usul suku bangsa, negeri, tradisi, dan alam Minangkabau. Dalam kondisi ini, Tambo lebih berkerabat dekat dengan mitologi.

Karen Armstrong dalam bukunya “A Short History of Myth” menyatakan bahwa kandungan sebuah mitologi bukanlah upaya awal dari sejarah. Dan, mitologi pun tidak mengklaim bahwa kisahnya adalah fakta obyektif.

Mitologi menuturkan tentang “sesuatu yang lain” yang hadir bersama dengan dunia dari sebuah komunal, yang, dalam beberapa hal mendukungnya. Sebagai sebuah keyakinan terhadap realitas, yang tidak terlihat tetapi lebih kuat, yakni: dunia para leluhur, dan, mungkin juga, dewa.

Tetapi, akan menjadi persoalan, jika mitologi, kemudian malah dipaksa untuk menjadi sebuah pembenaran dari seluruh runutan peristiwa. Termasuk: dua aksara yang berbeda.*

avatar

Redaksi