Pusaka Peninggalan Tiang Bungkuk

Resonansi

January 23, 2024

Aulia Tasman Gelar Depati Muara Langkap*

Desa Pulau Sangkar Kecamatan Bukit Kerman Kabupaten Kerinci. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)

SEORANG keturunan Tiang Bungkuk yang berasal dari Desa Tarusan – Rupit datang ke Jambi menemui saya tahun 2009 ingin mengetahui lebih jauh tentang keberadaan asal nenek mereka (isteri dari Tiang Bungkuk). Mereka merasa belum mampu menjalankan tanggung jawab secara adat jika asal-usul nenek moyang mereka (isteri Tiang Bungkuk) Nai Meh Kupak anak dari Sigindo Bauk yang bersal dari Tamiai.

Menurut mereka sewaktu Tiang Bungkuk ditawan oleh Raja Melayu Jambi tahun 1526 Masehi, dikirim pesan oleh Tiang Bungkuk untuk mengirim Keris Tubanso milik beliau. Raja Jambi sudah kehilangan akal untuk menghukum mati beliau, segala upaya sudah dicoba namun tidak berhasil.

Namun secara ksatria Tiang Bungkuk menyatakan, bahwa demi mempertahankan wilayah Kerinci (Kerinci Tinggi dan Rendah) dari usaha raja Jambi untuk memaksa masyarakat membayar uang jajah pada hal Alam Kerinci bukan merupakan bagian wilayah dari Kerajaan Melayu Tanah Pilih, maka Tiang Bungkuk mengorganisir petinggi Alam Kerinci untuk tidak tunduk kepada siapa saja yang ingin menjajah negerinya. Akhirnya terjadilah perang selama tiga tahun yaitu sekitar tahun 1523 hingga 1526 masehi, banyak menelan korban, dipihak kerajaan Melayu Jambi meninggal 40 jenang dan banyak pasukan karena begitu kuatnya pertahanan Tiang Bungkuk.

Namun kerajaan Jambi membujuk Tiang Bungkuk gelar Depati Muaro Langkap dan seluruh depati dan pendekar Alam Kerinci untuk berunding secara damai. Ketika perundingan itulah ternyata merupakan jebakan bagi Tiang Bungkuk dan akhirnya dapat ditangkap dan dibawa ke Jambi dengan menggunakan rakit.

Penyiksaan demi penyiksaan dilakukan selama perjalanan menunju Jambi, di azab kadang tidak diberi makanan, diikat di bawah rakit dan lain-lain, namun ternyata Tiang Bungkuk mampu bertahan sampai di Jambi.

Oleh kerajaan Melayu Jambi diminta Tiang Bungkuk untuk mengaku menentang perintah raja Jambi dan mengajak rakyat untuk tidak membayar “uang jajah”. Secara ksatria beliau menyatakan sejak kapan Alam Kerinci menjadi bagian dari Kerajaan Tanah Pilih Melayu Jambi, karena wilayah pemerintahan kerajaan Melayu Jambi hanya sampai di Kuto Buayo, Karang Kiling, sedangkan Alam Kerinci bukan bagian dari wilayah Tanah Pilih. Dalam istilah adatnya “Dekat tidak dikedino jauh tidak diulang”.

Namun mereka tetap menganggap Tiang Bungkuk melanggar perintah raja, maka beliau oleh raja Jambi disebut Tiang Bungkuk Mandugo Rajo. Hukuman setimpal terhadap ketidakpatuhan tersebut adalah hukuman mati. Segala upaya sudah dicoba untuk menghukum pahlawan Alam Kerinci ini, namun tidak satupun senjata yang mampu untuk membunuh beliau.

Kemudian cara terakhir yang ditempuh raja Jambi adalah mengancam keselamatan seluruh keluarganya di Tamiai kalau tidak menyerah agar bisa dieksekusi keputusan raja tersebut. Maka setelah sholat Istikharoh, bertaubat dan berdua kepada Allah yang maha kuasa maka beliau mengambil keputusan berat heroic; “Dari pada hidup berputih mato menyerak kalah kepada rajo Tanah Pilih, yang hanya pandai memungut uang jajah kepada rakyat, tanpa peduli penderitaan rakyat, lebih baik mati berputi tulang diujung keris Tubanso sendiri”.

Begitulah keputusan Tiang Bungkuk, maka dia berpesan kepada kakak perempuannya di Tamiai Kerinci agar pusako Keris Tubanso dikirim ke Jambi (menurut cerita bahwa keris itu adalah mainan beliau sejak kecil, kalau tidak digunakan maka keris itu disimpan di dalam tiang tuo yang tidak lurus (bungkuk) di Tamiai. Nama beliau adalah Raden Serdang kemudian oleh orang Kerinci dikenal dengan panggilan Tiang Bungkuk. Keris Tubanso inilah satu-satunya senjata yang mampu membunuh beliau.

Akhirnya keris tersebut dibawa ke Jambi, dimasukkan ke dalam buluh lemang dibawa oleh salah seorang anaknya bersama dengan beberapa orang pendekar dari Tamiai sebagai pendamping dalam perjalanan. Sewaktu mendekati Jambi, maka dibuatlah lemang kemudian keris kecil itu masukkan ke dalam lemang bercampur jagung agar bisa sampai pada Tiang Bungkuk. Walau pemeriksaan ketat dilakukan terhadap barang bawaan dari keluarga yang berasal dari Kerinci, dan akhirnya sampai jugalah keris tersebut pada Tiang Bungkuk.



Demi kesalamatan keluarga dan rakyat Kerinci dan demi harga diri, Tiang Bungkuk selamanya tidak mau menyerah kepada raja Jambi, akhirnya diambil keputusan paling berat dalam hidup beliau bahwa dari pada menyerah lebih baik mati oleh tusukan keris Tubanso sendiri. Maka setelah mendapat restu dari anaknya, tepat pada sepenggal matahari naik dia menikam dadanya dengan keris Tubanso, keris tertusuk ke hulu hati tembus sampai ke jantungnya, darah mengucur keluar dari tubuh Tiang Bungkuk membasahi lantai. “Datang dari Allah kembali kepada Allah”.

Ketika penjaga mengantarkan makanan pagi mereka terkejut bukan kepalang menyaksikan bahwa Tiang Bungkuk telah meninggal, keris kecil tertancap di hulu hatinya, segera kerajaan memerintahkan untuk dikubur secara Islam, bersiaplah hulu balang hendak memandikan jenazahnya secara Islam, tapi “Allah Yang Maha Kuasa punya kehendak lain”.

Sewaktu dilakukan pemandian jenazah, tiba-tiba petir dan Guntur yang sangat kuat menghantam atap penjara, ruang tempat jenazah menjadi gelap oleh asap hitam bagaikan malam hari. Setelah asap itu hilang dari ruang jenazah, suasana terang kembali, namun semua orang terkejut dan heran karena jenazah Tiang Bungkuk tidak ada lagi di tempat terbaring, dan telah raib secara misterius entah kemana tidak seorangpun mengetahui kemana jenazah tersebut.

Sehingga timbul bermacam-macam tahayul tentang kejadian tersebut, sehingga agar tidak menjadi fitnah dalam masyarakat, maka kuburan Tiang Bungkuk dirahasiakan oleh Raja Jambi dan kecemasan raja Jambi yang tidak mampu menjaga tawanan perang secara baik.



Anak beliau dilaporkan tentang kejadian Tiang Bungkuk, kemudian menyerahkan benda-benda pusaka peninggalan beliau kepada keluarganya. (Disarikan dari buku Hukum Adat Sembilan Pucuk – Pucuk Jambi Sembilan Lurah, karangan M.A. Cholif – 2011, halaman 55-62).

Cerita yang ada di Kerinci, hanya sampai pada kematian Tiang Bungkuk tapi tidak pernah menceritakan bagaimana anak, keluarga dan orang-orang yang mendampingi beliau ke Jambi itu berada.

Menurut keluarga H. Hasan dari Desa Tarusan – Rupit, yang datang menemui saya di Jambi, ternyata rombongan pulang ke Kerinci melalui Sarolangun, terus ke Rupit. Itulah sebabnya di sepanjang perjalanan ternyata ada mereka yang menikah di desa yang mereka lalui sampai ke Sarolangun. Itulah sebabnya banyak cerita desa-desa di sepanjang jalan ke Sarolangun mengatakan bahwa nenek mereka berasal dari Kerinci.

Rupanya anak beliau yang bernama Mambang menikah di Dusun Tarusan – Rupit, dan tidak pulang ke Tamiai. Sedangkan rombongan yang lain kembali sampai ke Kerinci. Oleh anak beliau sebagai kenangan dari orang tuanya Tiang Bungkuk, maka Keris Tubanso dipegang oleh anaknya sendiri sedangkan sarungnya dibawa ke Kerinci oleh pendekar dari Siulak Mukai. Sedangkan benda-benda peninggalan beliau tersebar di beberapa tempat.*

*Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di blog pribadi alm. Aulia Tasman. Dan kami terbitkan kembali, sebagai upaya untuk memberikan pemahaman yang utuh terhadap sejarah, budaya dan tradisi Jambi. (Redaksi)

avatar

Redaksi