Bajak Laut, Monopoli dan Koloni Di Samudera Hindia

Hak Asasi Manusia

January 13, 2025

Zachary Jonah

“Seorang Prajurit Inggris Diserang oleh Tiga Perompak Spanyol” karya Willem van de Velde The Younger. Lukisan tahun 1677. (credits: Royal Collection Trust)

PELAUT Eropa pertama kali hadir di jalur perdagangan Samudra Hindia pada tahun 1498. Vasco da Gama (1460 –1524), pelaut Portugis mermimpin misi mengitari titik selatan Afrika dan menjelajah ke lautan baru.

Bangsa Portugis, berkeinginan untuk bergabung dalam perdagangan Samudra Hindia. Ini bukanlah tanpa sebab. Karena permintaan Eropa terhadap barang-barang mewah Asia sangat tinggi.

Namun, Eropa itu, kala tidak punya apa pun untuk diperdagangkan. Orang-orang di sekitar cekungan Samudra Hindia tidak membutuhkan pakaian dari wol atau bulu, panci besi, atau produk-produk unik Eropa lainnya.

Kondisi ini membuat Portugis memasuki perdagangan Samudra Hindia sebagai bajak laut, dan bukan pedagang. Dengan menggunakan kombinasi antara keberanian dan meriam, mereka merebut kota-kota pelabuhan seperti Calicut di pantai barat India dan Makau, di Cina selatan.

Vasco Gama, mengutip internationalaffairsbd, melakukan beberapa tindakan barbar sepanjang ekspedisinya. Diantaranya, adalah tindakan pembajakan terhadap kapal-kapal pengusaha Arab yang tidak bersenjata, dan juga, penembakan meriamnya di kota-kota  di Mozambik.

Portugis, mengutip thoughtco, mulai merampok dan memeras produsen lokal dan kapal-kapal dagang asing. Karena masih terluka oleh penaklukan kekhalifahan Umayyah atas Portugal dan Spanyol (711– 788), Portugis memandang pedagang Muslim sebagai musuh dan mengambil setiap kesempatan untuk menjarah kapal-kapal mereka.

Selanjutnya, muncul kekuatan Eropa yang bahkan lebih kejam dari Portugis di Samudra Hindia: Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC), pada tahun 1602. Alih-alih menyusup ke dalam pola perdagangan yang ada, seperti yang dilakukan Portugis, Belanda malah mencari monopoli total atas rempah-rempah yang menguntungkan seperti; pala dan fuli.

Inggris dengan Perusahaan Hindia Timur Inggris mereka, menantang VOC untuk mengendalikan rute perdagangan pada tahun 1680. Ketika kekuatan Eropa membangun kendali politik atas bagian-bagian penting Asia.

Mereka mengubah Nusantara, India, Malaya, dan sebagian besar Asia Tenggara menjadi koloni, dan perdagangan timbal balik pun bubar. Barang-barang semakin banyak dipindahkan ke Eropa.

Rute kapal-kapal Portugis dan Spanyol di tiga Samudra, abad ke 14 hingga 17 Masehi. (credits: Wiki Commons)

Sementara bekas kerajaan perdagangan Asia menjadi lebih miskin dan runtuh. Dengan itu, jaringan perdagangan Samudra Hindia yang berusia dua ribu tahun pun hancur total.

Jauh sebelum masa orang Eropa menemukan Samudra Hindia, para pedagang dari Arab, Gujarat, dan daerah pesisir lainnya telah menggunakan perahu layar segitiga untuk memanfaatkan angin muson musiman. Domestikasi unta membantu membawa barang dagangan pesisir. Seperti; sutra, porselen, rempah-rempah, dupa, dan gading ke kekaisaran pedalaman.

Selain itu, budak-budak juga diperdagangkan.

Samudra Hindia, atau dalam Bahasa Indonesia disebut Samudra Indonesia, adalah jalur perdagangan internasional yang menghubungkan Asia Tenggara, Asia Timur, India, Arab, dan Afrika Timur. Rute ini dimulai setidaknya sejak abad ketiga Sebelum Masehi (SM).

Samudra Hindia, mengutip Britannica, meliputi sekitar seperlima dari total luas lautan di dunia. Samudera hindia adalah satu dari tiga samudera utama dunia. Dua lainnya adalh Pasifik dan Atlantik.

Diantara ketiganya, Samudra Hindia adalah yang terkecil, termuda secara geologis, dan paling kompleks secara fisik. Samudra Hindia membentang lebih dari 6.200 mil (10.000 km) antara ujung selatan Afrika dan Australia dan, tanpa laut marginalnya, memiliki luas sekitar 27.243.000 mil persegi (70.560.000 km persegi).

Kedalaman rata-rata Samudra Hindia adalah 12.274 kaki (3.741 meter), dan titik terdalamnya, di Sunda Deep dari Palung Jawa di lepas pantai selatan pulau Jawa di Indonesia, adalah 24.442 kaki (7.450 meter).

Samudra Hindia dibatasi oleh Iran, Pakistan, India, dan Bangladesh di sebelah utara; Semenanjung Malaya, Kepulauan Sunda Indonesia, dan Australia di sebelah timur; Samudra Selatan di sebelah selatan; serta Afrika dan Semenanjung Arab di sebelah barat. Di sebelah barat daya, Samudra Hindia menyatu dengan Samudra Atlantik di sebelah selatan ujung selatan Afrika, dan di sebelah timur dan tenggara, perairannya bercampur dengan perairan Samudra Pasifik.

Selama era klasik (abad ke-4 SM – abad ke-3 M), kekaisaran-kekaisaran besar yang terlibat dalam perdagangan Samudra Hindia adalah; Kekaisaran Akhemeniyah di Persia (550–330 SM), Kekaisaran Maurya di India (324 – 185 SM), Dinasti Han di Tiongkok (202 SM–220 M), dan Kekaisaran Romawi (33 SM – 476 M) di Mediterania.

Rombongan Marcopolo di Jalan Sutra. (credits: Wiki Commons)

Sutra dari Tiongkok menghiasi bangsawan Romawi. Koin-koin Romawi bertukar dengan perhiasaan dari India dan Persia yang berkilauan dengan pola Chandragupta Maurya.

Ekspor utama lainnya di sepanjang rute perdagangan klasik Samudra Hindia adalah pemikiran keagamaan. Agama Buddha, Hindu, dan Jainisme menyebar dari India ke Asia Tenggara, dibawa oleh para pedagang dan bukan oleh para misionaris. Agama Islam kemudian menyebar dengan cara yang sama sejak tahun 700-an Masehi.

Selama era abad pertengahan (400 – 1450), perdagangan berkembang pesat di cekungan Samudra Hindia. Kebangkitan kekhalifahan Umayyah (661 – 750) dan Abbasiyah (750 – 1258) di Jazirah Arab menyediakan simpul barat yang kuat untuk rute perdagangan.

Selain itu, Islam sangat menghargai perdagangan yang fair. Dimana Nabi Muhammad sendiri adalah seorang pedagang dan pemimpin kafilah. Dan, kota-kota Muslim yang kaya menciptakan permintaan yang sangat besar untuk barang-barang mewah.

Sementara itu, dinasti Tang (618 – 907) dan Song (960 – 1279) di Tiongkok juga menekankan perdagangan dan industry. Kedua dinasti ini mengembangkan hubungan dagang yang kuat di sepanjang Jalur Sutra berbasis daratan, dan mendorong perdagangan maritim.

Para penguasa Song bahkan menciptakan angkatan laut kekaisaran yang kuat untuk mengendalikan pembajakan di ujung timur rute tersebut. 

Di antara bangsa Arab dan Tiongkok, beberapa kerajaan besar berkembang pesat terutama berdasarkan perdagangan maritim. Kekaisaran Chola (abad ke-3 SM – 1279 M) di India selatan memukau para pelancong dengan kekayaan dan kemewahannya. Para pengunjung dari Tiongkok akan melihat parade gajah yang ditutupi kain emas dan permata berbaris melalui jalanan kota.

Di wilayah Nusantara, yang sekarang menjadi Indonesia, Kekaisaran Sriwijaya (abad ke-7 – 13 M) berkembang pesat hampir seluruhnya berdasarkan pajak atas kapal-kapal dagang yang bergerak melalui Selat Malaka yang sempit. Bahkan peradaban Angkor (800 – 1327), yang berpusat jauh di pedalaman di jantung wilayah Khmer di Kamboja, menggunakan Sungai Mekong sebagai jalan raya yang menghubungkannya ke jaringan perdagangan Samudra Hindia.

Selama berabad-abad, Tiongkok sebagian besar mengizinkan pedagang asing untuk datang ke sana. Bagaimanapun, semua orang menginginkan barang-barang Tiongkok, dan orang asing lebih dari sekadar bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk mengunjungi Tiongkok pesisir guna mendapatkan sutra halus, porselen, dan barang-barang lainnya.

Kaisar Yongle dari Dinasti Ming Tiongkok yang baru, pada tahun 1405 mengirim ekspedisi pertama dari tujuh ekspedisi untuk mengunjungi seluruh mitra dagang utama kekaisaran di sekitar Samudra Hindia.

Kapal-kapal harta karun Ming di bawah Laksamana Zheng He berlayar hingga ke Afrika Timur, membawa kembali utusan dan barang dagangan dari seluruh wilayah.*

avatar

Redaksi