Jalur Sutera Dan Muasal Tusuk Konde Di Nusantara

Lifestyle

May 18, 2024

Jon Afrizal

Tusuk Konde motif bunga teratai. (credits: Etsy)

RAMBUT yang panjang tentu saja harus diurus dengan seksama. Perawatan yang asal-asalan akan membuat rambut menjadi rusak, patah atau bercabang.

Berterimakasihlah dengan adanya Silk Road (jalur sutera). Jika tidak, para perempuan Nusantara kala itu, tidak memiliki pengetahuan dan alat untuk merawat rambutunya yang panjang.

Menurut Xinru Liu dalam The Silk Road in World History, jalur ini dihubungkan oleh pedagang, pengelana, biarawan, prajurit, dan nomaden dengan menggunakan kereta dan kapal laut, semasa Dinasti Han di 206 Sebelum Masehi hingga 220 Masehi.

Jalur ini menghubungkan Chang’a, China dengan Antiokhia, Suriah, Korea dan Jepang. Jalur ini tak hanya dikenal sebagai jalur perdagangan sutera saja, tetapi juga dalam pertukaran budaya, agama, dan ilmu pengetahuan.

Jalur Sutera terbagi menjadi dua, yaitu jalur utara dan selatan. Jalur utara melewati Bulgar -Kipchak ke Eropa Timur dan Semenanjung Crimea. Selanjutnya menuju ke Laut Hitam, Laut Marmara, dan Balkan ke Venezia.

Sedangkan jalur selatan melewati Turkestan – Khorasan menuju Mesopotamia dan Anatolia, kemudian ke Antiokia di Selatan Anatolia menuju ke Laut Tengah atau melewati Levant ke Mesir dan Afrika Utara.

Sementara Nusantara, telah berhubungan dengan China sejak abad pertama masehi. Rute laut dan darat yang sering dilalui oleh pedagang China dan India melintasi Kawasan Nusantara, yakni Selat Malaka.

Tusuk Konde, diperkenalkan pada masa Dinasti Ming pada abad ke 13. Maka, terjadilah hal yang sebelumya tidak pernah terjadi.

Rambut panjang para perempuan dikumpulkan dan membentuk kuncir kuda. Kemundian dililit ke pangkal, setelah itu gelung sisa rambut dengan erat di sekitar gulungan bawah.

Tusuk Konde tidak melulu menjadi alat pengikat gelungan rambut. Tapi juga dapat menjadi hiasan rambut. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)

Supaya rambut tidak tergerai, maka digunakan tusuk rambut (hair stick) atau tusuk konde sebagai pengikatnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Tusuk Konde adalah alat penguat sanggul agar dapat melekat di kepala dan juga sebagai penghias kepala. Arti lain adalah Cocok Sanggul.

Sejauh ini, Nusantara memiliki beberapa nama untuk Tusuk Konde. Yakni Tusuk konde Patri Tiup di Kotagede Jogja, Ocer di bali, Pasek Punjung di Nusa Tenggara Barat (NTB), dan lainnya.

Adapun keuntungan dari menggunakan tusuk konde, adalah; mengurangi kerusakan rambut, mengurangi sakit kepala akibat rambut yang panjang dan berat, berdandan dengan cepat dan penampilan yang anggun dan cantik.

Tusuk konde adalah alat yang berbentuk lurus dan runcing, biasanya panjangnya antara 13 centimeter hingga 23 centimeter. Alat ini, yang juga biasa disebut dengan tusuk rambut, digunakan untuk menahan rambut seseorang pada sanggul rambut atau gaya rambut sejenisnya.

Tusuk Konde telah digunakan selama ribuan tahun. Tusuk Konde juga ditemukan dalam budaya Mesir kuno, Romawi, dan Yunani, India dan Cina.

Beberapa diantaranya adalah barang lux dengan hiasan permata, berlian atau giok.

Meskipun berasal dari China, tetapi budaya yang paling berpengaruh pada tusuk konde adalah budaya Jepang, yakni kanzashi.

Kanzashi adalah hiasan rambut yang digunakan dalam gaya rambut tradisional Jepang. Ini merujuk pada banyak aksesoris, termasuk jepit rambut yang panjang dan kaku, jepit, bunga kain, dan ikat rambut kain.

Kanzashi pertama kali digunakan di Jepang selama periode Jomon. Pada masa itu, penggunaan batang atau tongkat tipis dianggap memiliki kekuatan untuk mengusir roh jahat, dan orang-orang memakainya di rambut mereka untuk tujuan perlindungan.

Mengutip immortalgeisha, Kanzashi mulai digunakan secara luas pada zaman Edo. Ketika itu definsi dari gaya rambut yang anggun adalah gaya rambut yang menjadi lebih besar dan rumit, dan menggunakan lebih banyak ornamen.

Para pengrajin mulai memproduksi hiasan rambut yang lebih baik. Dan juga dapat digunakan sebagai senjata pertahanan.

Di Indonesia sendiri, mengutip romadecade, Tusuk Konde adalah senjata tradisional Betawi yang digunakan oleh para pejuang Wanita pada masa Hindia Belanda. Selain itu tusuk konde memiliki nama lain, seperti tusuk paku dan kembang paku. Penamaan yang berasal dari bentuk kepala tusuk konde yang berbentuk seperti kembang kecil.

Tusuk Konde memiliki bagian ujung yang runcing. Sehingga dapat digunakan untuk menusuk lawan ketika situasi sedang terjepit dan bahkan keadaan tak terduga.

Ujung runcingnya dapat berkamuflase karena bagian kepala dari tusuk konde tidak menampilkan bentuk yang berbahaya. Sebagai senjata, maka Tusuk Konde akan dibuat dengan bahan besi padat.

Pada bagian kepala tusuk konde biasa ditambahkan ukiran kembang dan pakis yang menambah nilai estetikanya. Untuk wanita bangsawan, mereka menggunakan tusuk konde yang terbuat dari perak atau bahkan emas.

Tidak sah rasanya bicara tusuk tapi melupakan konde. Konde, adalah gaya rambut yang digulung, kemudian dilengkapi dengan tusuk konde atau aksesori rambut lainnya. Atau mungkin, juga sanggul.

Konde atau sanggul adalah sama tuanya dengan tusuk konde. Di Nusantara, mengutip tfr.news, dikenal sanggul Timpus dari Sumatera Utara dengan karakteristik daun sirih sebagai hiasannya. Lalu sanggul Pusung Tagel dari Bali yang identik dengan sematan mahkota di bagian atasnya serta berbagai bunga yang mempercantik tampilannya.

Pada beberapa wilayah di Nusantara, konde dan tusuk konde adalah penanda sekaligus benteng bagi perempuan. Mereka yang belum menikah tidka diperbolehkan untuk menggunakan konde dan tusuk konde.

Dan jika ia bercerai dan menjanda, ia pun tidak boleh lagi menggunakan konde dan tusuk konde. Ia diperbolehkan Kembali menggunakan konde dan tusuk konde setelah Kembali menikah.

Ini terjadi pada penggunaan sanggul Pusung Tagel. Konde ini hanya dapat dipakai oleh perempuan yang sudah menikah.

“Konde memiliki filosofi tentang menutup rahasia. Bagaimana zaman dulu perempuan Indonesia menyimpan rahasia di belakangnya (konde). Meskipun berat, namun ia tetap tersenyum di depan,” kata Diah Kusumawardani Wijayanti, Ketua Umum Perempuan Pelestari Budaya.

Konde, katanya, mengajarkan perempuan untuk memiliki integritas. Artinya, jika ada masalah, seperti masalah keluarga, itu cukup ia dan pasangannya saja yang tahu.

Ilmu itu telah ada sejak lama. Dan, berterimakasihlah untuk Jalur Sutra.*

avatar

Redaksi