Perang Banjar Dan “Madam” Ke Jambi

Budaya & Seni

May 4, 2024

Junus Nuh/Kota Jambi

Lahan pasang surut di Kabupaten Tanjungjabung Barat, Provinsi Jambi. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)

PERANG Banjar terjadi hampir setengah abad. Perang yang juga disebut Perang Banjar-Barito ini adalah perang antara rakyat dan Kerajaan Banjar, di Provinsi Kalimantan Selatan saat ini, melawan kolonial Belanda sejak tahun 1859, dan efeknya terus berlanjut hingga tahun 1906.

Perang ini terjadi karena monopoli kolonial Belanda dalam pedagangan dan pertambangan, terutama batu bara. Dan juga terlalu ikut campurnya Belanda, dengan politik devide et impera-nya, dalam urusan Kerajaan Banjar.

Akibat dari perang ini, membuat banyak Urang Banjar yang madam (merantau) keluar wilayah kerajaan. Terutama setelah Pangeran Antasari bergelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin mangkat pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang. Waktu itu usianya sekitar 53 tahun. Komando perang dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman.

Beberapa pertempuran yang tercatat, adalah : pertempuran di Benteng Gumung Lawak pada tahun 1859, pertempuran di sungai Malang Amuntai  pada tahun 1862, pertempuran Amuk Hantarukung di Hamawang Kandangan pada tahun 1862, dan pertempuran Gerakan Beratib Beamal di Batang Alai pada tahun 1861.

Mallin Kordt dalam daatrecht van Borneo menyebutkan suku Banjar adalah suatu nama yang diberikan untuk menyebut suku-suku Melayu, terutama yang berasal dari daerah penguasaan Hindu Jawa yang sebagian besar berdiam di pesisir Kalimantan Selatan, Tengah, Timur dan Barat.

Sensus BPS tahun 2010 menyebutkan populasi suku Banjar berjumlah 4.127.124 jiwa. Sebanyak 2.686.627 jiwa berada di Indonesia, terutama di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

Selain itu, sebanyak 227.239 jiwa berada di Riau, 125.707 jiwa di Sumatera Utara, dan 102.237 jiwa berada di Jambi.

Urang Banjar, kemudian, menurut Wahyudin, Dosen IAIN Antasari Banjarmasin dalam Sosok Orang Melayu Banjar di Tanah Leluhur, memilih untuk madam ke daerah Kuala Tungkal di Jambi, Tembilahan di Indragiri Hilir, Deli dan di Langkat Sumatera Utara, dan Semenanjung Malaysia.

Orang Banjar yang berhijrah ke Semenanjung Malaysia terkonsentrasi di tiga negara bagian. Yakni Perak, Selangor, dan Johor.

Merantaunya orang Banjar, juga diikuti oleh sanak saudara dan kerabatnya. Sebab mereka harus melarikan diri dari wilayah Kesultanan Banjar karena telah menjadi musuh kolonial Belanda dan pendukungnya, dan dijatuhi hukuman mati.

Nur Indriyana dari Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jambi dalam Diaspora Suku Banjar Di Tanjungjabung Barat menyebutkan Suku Banjar yang kini bertempattinggal di Sumatera dan Malaysia saat ini adalah anak, cucu, intah dan piat dari etnis Banjar yang datang dalam tiga gelombang migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Yakni pada tahun 1780, 1862, dan 1905.

Pada gelombang migrasi pertama tahun 1780, mereka yang bermigrasi adalah pendukung Pangeran Amir yang menderita kekalahan dalam perang saudara antara sesama bangsawan Kesultanan Banjar, yakni Pangeran Tahmidullah. Selanjutnya, pada gelombang migrasi kedua tahun 1862 adalah para pendukung Pangeran Antasari dalam kemelut perang Banjar.

Pada saat itu, pusat pemerintahan Kesultanan Banjar di Martapura tengah terdesak. Dan pasukan residen Belanda yang menjadi musuh mereka dalam Perang Banjar yang sudah menguasai kota-kota besar di wilayah Kesultanan Banjar.

Sedangkan pada gelombang migrasi ketiga tahun 1905, terjadi karena Sulthan Muhammad Seman yang menjadi raja di Kerajaan Banjar ketika itu dibunuh oleh Belanda.

Adapun wilayah pesisir timur Sumatera yang dipilih sebagai tempat perantauan, juga termasuk Jambi, adalah sama karakteristiknya dengan Kalimantan Selatan. Yakni wilayah yang didominasi oleh rawa dan gambut.

Satu keahlian orang Banjar, adalah mengolah lahan pasang surut menjadi kawasan budi daya pertanian dan permukiman. Mereka membawa keahlian ini dari tempat mereka berasal, Kalimantan Selatan.

Mereka mengelola sistem irigasi dengan cara penggunaan tiga macam kanal. Yakni Anjir (Antasan), Handil (Tatah), dan Saka.

Anjir adalah saluran primer yang menghubungkan antara dua sungai. Anjir berfungsi untuk kepentingan umum dengan titik berat sebagai sistem irigasi pertanian dan sarana transportasi.

Sementara Handil adalah saluran yang muaranya di sungai atau di Anjir. Handil dibuat untuk menyalurkan air ke lahan pertanian daerah daratan. Handil ukurannya lebih kecil dari Anjir dan merupakan milik kelompok atau bubuhan tertentu.

Sedangkan Saka adalah saluran tersier untuk menyalurkan air yang biasanya diambil dari Handil. Saluran ini berukuran lebih kecil dari Handil dan merupakan milik keluarga atau pribadi.

Dengan pola kanalisasi ini, kebiasaan mereka di daerah asli dapat digunakan di pesisir timur Sumatera. Seperti bercocok tanam dan bertani.

Selain juga, wilayah Kuala Tungkal terutama di bagian pinggir pantai banyak mereka tanami dengan pohon kelapa. Sebab pohon kelapa dapat tumbuh di atas tanah yang kurang subur dan sedikit mengandung garam.

Orang Banjar yang merantau ke Jambi terdiri dari beberapa kelompok, dan masing-masing kelompk memiliki keahlian sendiri.

Kelompok Kalua mereka ahli dalam bidang perniagaan. Kelompok Barabai, Nagara, dan Kandangan dikenal mahir bertukang, seperti membuat rumah, jukung (perahu) dan kerajinan besi.

Kelompok Martapura ahli di bidang pertukangan emas dan perak. Sedangkan kelompok Amuntai cenderung menjalankan bertani dan berkebun.

Satu yang harus digarisbawahi mengapa Urang Banjar cepat diterima penduduk lokal, adalah karena kesamaan agama. Orang Banjar memiliki ulama tersohor bernama M. Arsyad Al-Banjari.

Tuan Guru al-Banjari ini, menurut Mulyani Safitri dari Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dalam Madam Dalam Tradisi Adat Orang Banjar, menyebutkan ia merantau ke Mekkah dan Madinah selama 35 tahun.

Ia adalah ulama pertama yang mendirikan lembaga pendidikan Islam (pondok pesantren) serta memperkenalkan gagasan keagamaan baru ke Kalimantan Selatan.

Sehingga, madam bagi Orang Banjar tidak hanya untuk mencari penghidupan baru saja. Melainkan juga berjejaring untuk syiarkan agama Islam. Jejaring syiar agama Islam ini, kini, tetap bertumpu pada ajaran Sabilal Muhtadin karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Dan dapat dilihat pengaruhnya pada tradisi Islam masyarakat tempatan.*

avatar

Redaksi