Mencari Cengkeh Sampai Ke Banda

Lingkungan & Krisis Iklim

October 11, 2024

Jon Afrizal

Armada Kora-Kora dari Ternate dan Tidore menuju Ambon, pada tahun 1817. (credits: museum arnhem)

KRETEK adalah produk khas dan asli Indonesia. Selain juga sebagai prototipe industri tembakau nasional.

Pada kretek, mengutip indonesia.go.id, bukan hanya perpaduan beragam tembakau yang diracik menjadi satu saja. Melainkan, tembakau yang diramu dengan cengkeh dan bahan rempah lainnya.

Cengkeh (Syzygium aromaticum) adalah rempah berbentuk kuncup bunga kecil berwarna coklat kemerahan. Memiliki aroma kuat, rasa panas dan menyengat.

Cengkeh adalah tanaman asli Indonesia. Terutama di Maluku Utara. Cengkeh memegang peranan penting dalam jalur perdagangan rempah di masa lalu.

Kepulauan Banda dideskripsikan oleh bangsa Eropa sebagai tempat produksi pala dan fuli. Justru itulah, yang kemudian menumbuhkan kolonialisme Belanda di Banda.

Mengutip jalurrempah, cengkeh Maluku telah melanglang buana ke seluruh penjuru dunia.

Pada 1980-an, misalnya. Arkeolog telah menemukan cengkeh Maluku yang berusia lebih dari 3.500 tahun di kota kuno Suriah. Artefak cengkeh yang telah menjadi arang itu berada di dalam wadah keramik yang tertata rapi di suatu dapur rumah Tuan Puzurun.

Rempah Nusantara, termasuk cengkeh, telah digunakan di Mesir sebagai bahan pengawet jenazah raja-raja sejak 3.000 tahun Sebelum Masehi (SM).

Cengkeh dan Maluku, telah ditulis dalam catatan Tiongkok sejak masa dinasti Song (960-1279 Masehi) dan Yuan (1271-1368 Masehi).

Cengkeh, menurut catatan Tiongkok, adalah sebagai hadiah dan komoditas perdagangan. Rempah ini dibawa oleh pedagang-pedagang dari Champa, Jawa, Sriwijaya, Timur Tengah, Chola dan Butuan.

Dade Nanhai zhi  pada abad ke-14 Masehi menyebutkan bahwa cengkeh terdapat di antara sari obat-obatan yang dibawa dari Guangzhou dalam kapal milik pedagang asing. Meskipun begitu, justru kepulauan Maluku baru muncul lebih belakangan dibandingkan nama cengkeh yang tertulis dalam sumber-sumber catatan Tiongkok. 

Cengkeh begitu berharga. Karena memiliki banyak khasiat.

Cengkeh, mengutip hellosehat, bermanfaat untuk; mengobati sakit gigi, meredakan sakit mag, menjaga kesehatan tulang, menghambat perkembangan bakteri, mencegah kanker, meningkatkan kesehatan liver, membantu mengendalikan gula darah, memelihara daya tahan tubuh, dan mengatasi masalah ejakulasi dini.

Bangsa Eropa, pada awalnya, kesulitan untuk menemukan negeri asal cengkeh. Sebab, mereka mendapatkan cengkeh dari para pedaganga Arab dan Persia. Para pedagang itu pun tidak mengetahui atau tidak memberitahu darimana rempah ini berasal. 

Cengkeh adalah cariofilum dalam bahasa latin. Yang berasal dari kata Calafur, yakni sebutan para pedagang Muslim untuk cengkeh.

Orang India menyebutnya lavanga. Lalu, sekitar abad ke-15 Masehi, para pedagang Portugis dan Spanyol berhasil menemukan tempat asal cengkeh.

Bangsa Spanyol menyebutnya sebagai Gilope karena mereka membawanya dari pulau Gilolo. Sedangkan orang Portugis menyebutnya clou de girofle, karena melihat bentuk cengkeh yang seperti paku clou (paku). Sehingga, dalam bahasa Inggris menjadi Clove.

Harga 1 kilogram cengkeh pada saat itu adalah setara dengan 7 gram emas.

Benteng Nassau di Pulau Neira. (credits: Jalur Rempah)

Orang Maluku sendiri menyebutnya dalam bahasa Melayu, yakni cengkeh. Tumbuhan ini hanya tumbuh di lima pulau kecil di Kepulauan Banda, Maluku. Yakni; Bacan, Makian, Moti, Ternate dan Tidore.

Pohon-pohon Cengkeh Afo, adalah pohon cengkeh yang dianggap tertua yang masih hidup hingga saat ini. Dengan usia 416 tahun, yang berada di Kelurahan Tongole, Kecamatan Ternate Tengah, sekitar 6 km dari pusat Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara.

Afo, dalam bahasa Ternate, memiliki arti: tua. Ada juga yang menyebutkan bahwa kata Afo berasal dari nama sebuah keluarga: Alfalat.

Pohon Cengkeh Afo menghasilkan sekitar 400 kg bunga cengkeh per tahun. Pohon ini memiliki tinggi 36,60 meter, berdiameter 198 meter, dan keliling batang 4,26 meter.

Cengkeh adalah juga saksi munculnya kolonialisme di Kepulauan Maluku. Ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Belanda mulai menginvasi Maluku dengan mendirikan Benteng Nassau pada tahun 1607. Benteng ini, kinni terletak di Desa Nusantara, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah.

Benteng Nassau yang terletak di pesisir pantai sisi selatan Pulau Neira ini, didirikan di lokasi yang sebelumnya telah direncanakan oleh Portugis sebagai benteng.

Adnan Amal dalam buku Kepulauan Rempah-rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, menyebutkan bahwa Belanda akhirnya memonopoli perdagangan cengkeh, pada abad ke-17. Untuk membatasi produksi cengkih, Belanda berunding dengan Sultan Mandar Syah, penguasa Kesultanan Ternate.

Pada tahun 1652, sesuai kesepakan perundingan, pun menebang pohon-pohon cengkeh yang tumbuh di sana.  

Sebagai kompensasi, Sultan Mandar Syah menerima recognitie penningen (pembayaran untuk suatu pelayanan yang pasti) dengan umlah yang besaranya telah disepakati. Selain memperoleh recognitie penningen, Sultan Mandar Syah juga memperoleh bonus berupa bahan pakaian dan perhiasan yang mahal.

Sementara recognitie penningen yang semestinya diterima para bobato (kepala desa) secara tunai, diganti Sultan dan petinggi istana dengan pemberian hadiah. Yakni berupa; pakaian model India, perhiasan dan barang pecah belah lainnya.

Tentu saja, harga hadiah-hadiah ini jauh di bawah jumlah yang semestinya diterima. Padahal, rakyat adalah sebagai pemilik pohon cengkeh yang dieradiksi itu.

Para bobato yang juga adalah pemilik pohon-pohon cengkeh yang selama ini menjual hasilnya sendiri. Mereka ditugaskan berlayar dari pulau ke pulau mengawasi penebangan pohon-pohon cengkeh melaui hongi tochten (pelayaran hongi).

Mereka pun dapat dipersalahkan jika ada pohon cengkeh yang tidak ditebang.

Pendapatan para bobato pun merosot tajam. Mereka lebih banyak bergantung pada sultan dan kerajaan.

Akibat dari kebijakan eradikasi pohon cengkeh yang dilakukan VOC dan disetujui Kesultanan Ternate ini berdampak negatif. Timbul lah apatisme pada rakyat di lima pulau penghasil utama komoditas cengkeh.

Mereka menjadi enggan untuk bertanam cengkeh, karena trauma. Hingga, akhirnya, pelayaran hongi dihentikan pada tahun 1824.*

avatar

Redaksi