Catatan Tentang Negeri Rempah

Budaya & Seni

July 16, 2024

Jon Afrizal

Minuman racikan rempah di Galoe Rempah, Kota Jambi. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

PADA masa pandemi lalu, ketika terjadi kepanikan menyeluruh, telah membuat beberapa pihak menyatakan bahwa daun sungkai adalah obat penyembuh untuk Covid19. Meskipun, pada akhirnya, laman Hoax Buster menyatakan itu tidak benar.

Namun, kenyataannya pada waktu itu, banyak juga yang masih mengkonsumsi daun sungkai. Dengan alasan bahwa seduhan daun sungkai menyegarkan bagi tubuh.

Daun sungkai, umumnya, sesuai tradisi lokal, dikeringkan, lalu diseduh menjadi sejenis teh, dan diminum dengan mencampurnya dengan madu alam, dan bukan gula pasir.

Mengutip halodoc, daun sungkai yang banyak terdapat di bagian tengah Pulau Sumatera ini, berfungsi untuk meningkatkan imunitas tubuh, mengatasi sariawan, menyembuhkan flu dan demam, mengatasi malaria, mendukung program kehamilan, dan membersihkan tubuh ibu setelah persalinan.

Penggunaan daun sungkai sebagai obat, adalah satu contoh dari penggunaan rempah-rempah untuk berbagai keluhan kesehatan bagi warga lokal. Sebut saja local wisdom, yang telah lama ada.

Sama seperti penggunaan daun Kembang Sepatu, yang diperas, untuk menyembuhkan demam tinggi pada anak-anak.

Dan, ketika pengobatan modern, dengan kecenderungan penggunaan pil, tablet, injeksi dan sejenisnya digunakan secara umum, ternyata, pengetahuan mengenai rempah masih banyak digunakan di dusun-dusun di banyak tempat.

Sebagai pengobatan alternatif; katakanlah, pengobatan yang dulu pernah digunakan, dan lantas terlupakan, dan kini kembali diingat lagi.

Rempah-rempah adalah bagian tumbuhan yang beraroma atau berasa kuat yang digunakan dalam jumlah kecil di makanan sebagai pengawet atau perisa dalam masakan. Rempah-rempah merupakan barang dagangan paling berharga pada zaman prakolonial dan kolonial.

Lada hitam (: peper nigrum), misalnya, adalah rempah komoditas utama dari Jambi di masa lampau. Lada, pada masa itu, digambarkan sebagai “raja rempah” yang segenggam saja jumlahnya dihargai setara emas dan berlian.

Sementara cengkeh juga menjadi “harta benda” bangsawan Eropa abad 17.

Namun, jamu-jamuan, yang umumnya dari Pulau Jawa, atau rebusan akar Pasak Bumi, adalah rempah-rempah yang masih bertahan dan digunakan hingga saat ini.

Dan, disadari atau tidak, rempah-rempahan menjadi sangat populer untuk digunakan di masa pandemi. Seperti jamu empon-empon, misalnya, yang juga berguna bagi kekebalan tubuh.

Ataupun akar ilalang liar, yang jika diolah dapat menjadi sejenis minuman penyegar dan dapat melancarkan air seni.

Mengutip jalurrempah, selain sebagai bumbu masakan, rempah adalah sumber pengetahuan lokal, terutama dalam soal pengetahuan medis dan pengobatan lokal pada kesehariannya. Sehingga, bagi masyarakat Nusantara pra-modern, rempah bukanlah barang mewah yang sangat berharga seperti emas, misalnya, sebagaimana rempah dinilai oleh para pedagang Eropa. 

Dengan iklim empat musim, maka adalah wajar jika dalam perspektif alam pikir masyarakat Eropa abad 16 sampai 18, rempah digambarkan sebagai produk eksotis dan luxurious. Hingga akhirnya, mereka menjelajah ke sini dan berdagang.

Cara masyarakat Nusantara dalam memaknai rempah sangatlah berbeda dengan masyarakat Eropa pada masanya. Rempah-rempah justru adalah bahan baku yang sehari-hari digunakan masyarakat Nusantara. Dan, rempah-rempah bukanlah barang eksotis yang hanya tersimpan pada lemari kaca. 

Dan, sungguh rumit, jika, kita yang di Nusantara masih saja mengutip karya-karya ilmuwan Barat soal kegunaan rempah-rempah. Sebab, sekali lagi, pemaknaan rempah bagi masyarakat di Nusantara sangat jauh berbeda dengan ilmuwan Barat.

Dan, yang terjadi, jika kita menggunakan kutipan dari ilmuwan Barat, adalah, pada kasus daun sungkai seperti di awal tulisan ini. Sebab, bagaimanapun, keilmuan dan pengetahuan lokal sangat terkait dengan “alam”-nya, dan tidak dapat disandingkan dengan keilmuan barat. Dan, dapat terjadi benturan-benturan.

Masyarakat Nusantara, mengutip jalurrempah, memiliki sistem pengetahuan sendiri yang lahir dari tradisi ribuan tahun. Tradisi ini adalah tradisi hidup berdampingan dengan alam, sebagai sebuah tradisi dinamis yang melihat alam sebagai “ibu” dan bukan sebagai sosok yang harus ditaklukkan untuk dieksploitasi.

Maka, ketika jahe ditumbuk dan direbus untuk menghangatkan badan, itu adalah bagian dari “hidup berdampingan dengan alam”. Begitupula ketika daun ketepeng ditumbuk dan dioleskan ke tubuh yang terkena kadas, misalnya. Atau, buah kemiri yang ditumbuk untuk menumbuhlebatkan kumis dan jenggot.

Dan, tentu saja, budaya berperan menurut alamnya. Tanpa harus dipaksakan.

Direktur Eksekutif Perhimpunan Masyarakat Etnobiologi Indonesia, Wawan Suwarjono, dalam “Sejarah dan Etnobotani Rempah Nusantara” di malahan Mata Jendela mengungkapkan bahwa, dalam catatan Ptolemeus pada awal Masehi hingga Rumphius pada abad ke-17, rempah-rempah merupakan kunci penting untuk memahami dinamika sejarah global yang menghubungkan Nusantara dengan berbagai kawasan di dunia.

Demi rempah-rempah, para petualang dan pedagang dari berbagai penjuru dunia mengembara di lautan menuju Nusantara. Ini juga diperkuat oleh sejarah rempah yang mencatat bahwa rempah-rempah merupakan andalan kemasyhuran Nusantara sebelum abad ke-18 sehingga berdampak pada banyaknya negara yang melakukan pelayaran ke Nusantara.

Dan, menjadi sarana yang penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern sepanjang abad ke-16 hingga ke-17. Seperti kartografi dan observasi kekayaan biodiversitas Nusantara dalam bidang botani.

Namun, di balik spirit eksplorasi ilmu pengetahuan itu, tulisnya, berkembang pula aktivitas eksploitasi alam. Sehingga membuka jalan bagi kekuasaan politik kolonial, yang sekaligus meredupkan kemasyhuran rempah-rempah di Nusantara.

Jadi, tidak ada salahnya, jika kita kembali mengkonsumsi rempah-rempah. Sebagai pewaris budaya adi luhung, yang menyatukan kita dengan alam Nusantara.*

avatar

Redaksi