Sumber Air Tawar Di Fort Marlborough

Daulat

September 30, 2024

Jon Afrizal/Kota Bengkulu

Susunan meriam yang menghadap ke laut di Benteng Marlborough. Meriam berukuran besar adalah peninggalan Inggris, dan yang berukuran lebih kecil adalah peninggalan Belanda. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

FORT Marlborough, Ujung Karang, Kota Bengkulu. Ini adalah kunjungan keduaku ke benteng peninggalan East Indies Company (EIC) di Bencoolen, sebutan untuk koloni Inggris di pesisir barat Sumatra ini.

Lima tahun lalu, kala aku berkunjung pertama kali ke benteng ini, aku hanya melihat sebuah “kegersangan” bagi bangunan bersejarah yang pernah dihuni oleh ratusan manusia. Ku akui, karena kurangnya sumber pengetahuanku.

Tapi, hari ini, pertanyaan mendasar tentang bagaimana manusia dapat hidup di pantai yang notabene adalah melulu air asin pun terjawab.

Pada kunjungan kali ini, thanks God, aku bertemu dengan seorang pemerhati sejarah Bengkulu. Andes, demikian namanya. Usianya sekitar 50-an tahun.

Pria itu menemaniku berkeliling benteng yang dibangun antara tahun 1713 hingga 1719 ini. Ia bercerita tentang perdagangan lada dan rempah yang dilakukan oleh IEC dengan rakyat Bengkulu.

Tentang bagaimana perlakukan EIC Inggris, yang terbalik 180 derajat dengan VOC Belanda.

Sama seperti di buku-buku sejarah tentang koloni Inggris di Sumatra yang pernah ku baca, ia juga bercerita tentang wabah penyakit, yang mendera pasukan koloni Inggris di sana.

Hampir 15 menit berkeliling, aku pun bertanya tentang bagaimana orang-orang yang tinggal di benteng yang jaraknya kurang dari 1 kilometer dari garis pantai ini dapat bertahan hidup.

Sebab, satu dari sekian sumber kehidupan, adalah air, dan darimana orang-orang-orang di benteng ini mendapatkan air tawar. Dan, adalah tidak mungkin bagi manusia untuk meminum air asin.

Andes membawaku ke sekelompok keran air, di bagian ujung kanan benteng ini. Ia lalu menunjuk suatu lobang yang telah di semen. Lubang itu, adalah sejenis sumur. Sumur air tawar.

Dan, katanya, sumber air itu telah ada sejak benteng ini ada. Amazing.

Ku buka keran air, dan ku cicipi airnya. Di lidah, terasa tawar. Dan, inilah alasan mengapa sejak dari masa prajurit EIC, lalu VOC hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang pernah menempati benteng ini dapat bertahan dan tidak kehausan, karena, ada sumber air tawar.

Kini, keran air itu, biasa digunakan untuk berwudhu bagi pengunjung. Di sebuah ruangan benteng, telah disiapkan sejenis mushala bagi pengunjung yang ingin melaksanakan sholat.

Sayangnya, setiap pertanyaan, selalu menimbulkan ketidakpuasan. Tentang bagaimana EIC menemukan sumber air itu. Apakah menggunakan magic, atau ilmu pengetahuan, atau bahkan campuran antara magic dan nalar.

Jawabannya, mungkin, akan ku dapati dikujungan berikutnya.

Fort Marlborough, adalah benteng kedua yang dibangun EIC di Bengkulu. Benteng pertama, Fort York, berjarak sekitar 2 kilometer dari Fort Marlborough.

Sumber air tawar di Benteng Marlborough. Sumber air ini telah ada sejak benteng ini dibangun, dan masih dapat digunakan hingga saat ini. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Fort York dibangun sekitar tahun 1618. Pada tahun 1714 kondisi Fort York dinyatakan kritis karena kerusakan. Dan, dibutuhkan bagi EIC untuk membangun benteng baru, yakni Fort Marlborough.

Benteng Marlborough dibangun di masa Gubernur Joseph Callet. Benteng ini tidak dibangun oleh pekerja lokal. Pun tidak ada sejarah perbudakan tentang ini di sini.

Karena, kehadiran Raffles dan Inggris, justru, adalah menghapus perbudakan di Bengkulu. Serta membatasi permainan sabung ayam.

Tak berapa jauh dari benteng, setelah pecinan, akan didapati Kampong India.

Kampung itu dinamai begitu, karena, para pekerja pembuat benteng yang berasal dari India, kemudian bermukim di sana. Kemungkinan mereka berasal dari sekitara Madras. Karena, benteng Marlborough adalah benteng koloni EIC terkuat kedua di Asia, setelah Fort St George di Madras, India.

“Itulah mengapa, kami orang-orang Bengkulu berkulit sawo matang. Karena kami adalah keturuan dari perkawinan campuran antara masyarakat Rejang yang berkulit kuning, dan masyarakat India yang berkulit lebih gelap,” kata Andes menjelaskan.

Benteng Marlborough memiliki sejenis terowong bawah tanah. Terowongan itu, langung mengarah ke kediaman Sir Thomas Stamford Bingley Raffles.

Kini, kediaman Raffles itu, menjadi kantor dan rumah Gubernur Bengkulu, yang beralamat di Jalan Pembangunan nomor 1 Padang Harapan, Kota Bengkulu.

Raffles, pertama kali ke Fort Marlborough pada tanggal 19 Maret 1818. Setelah berlayar di lautan selama lima bulan, dari Tanjung Harapan, Afrika Selatan.

Raffles datang ke Bengkulu bersama dan istri keduanya, Sophia Hull, serta kelima anaknya.

Empat dari lima anaknya, secara berturut-turut meninggal di Bengkulu. Karena wabah penyakit, dan buruknya sanitasi.

Yakni; Leopold Stamford, Stamford Marsden, Charlotte, dan Flora Nightingall. Mereka dimakamkan di Kompleks Pemakaman Inggris, sekitar 1 kilometer dari Benteng Marlborough, yang kini adalah di Jalan Veteran, Jitra, Kota Bengkulu.

Tercatat sebanyak 709 orang Inggris yang meninggal di Bengkulu kala itu. Namun, kompleks pemakaman ini, hanya diisi oleh 53 batu nisan saja.

Satu anaknya yang masih bertahan hidup, yakni Ella Sophia. Ia ikut pindah ke Singapura, bersama Raffles, setelah Anglo–Dutch Treaty (Traktat London) pada tahun 1814.

Bagi Bengkulu, nama Raffles, hadir hingga hari ini. Rafflesia Arnoldi (padma raksasa atau puspa nusa), adalah tumbuhan berbunga, yang langka yang ditemukan pada masa itu, di sini.

Raffles adalah pemberi dana ekspedisi yang dilakukan oleh Dr Joseph Arnold pada tahun 1818. Sehingga bunga itu pun dinamai dengan nama mereka: Rafflesia Arnoldi.

Bunga Rafflesia Arnoldi sepintas akan mirip dengan Rafflesia hasseltii suringar (Cendawan Muka Rimau). Tetapi, jelas berbeda dengan Amorphophallus titanum (Bunga Bangkai).

Rafflesia Arnoldi banyak ditemui di Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan, tempat kali pertama Dr Joseph Arnold menemukannya. Meskipun, juga ditemui di Kabupaten Bengkulu Tengah.

Pertalian sejarah ini, telah menyematkan Bengkulu sebagai Bumi Rafflesia. Dengan kubah anglo saxon di banyak bangunan di kota ini.*

avatar

Redaksi